Mohon tunggu...
Nury Ajalah
Nury Ajalah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

RUU Pemilu Rasa Orde Baru

12 Januari 2017   05:33 Diperbarui: 12 Januari 2017   05:36 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Inilah.com

Demokrasi sejatinya dimiliki oleh bangsa-bangsa yang peduli pada rakyatnya. Bangsa yang menghargai dan mengedepankan aspirasi rakyat sebagai tuannya.

Di Indonesia sendiri, sejak hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat jelas tergambar bahwa negara ini merupakan negara demokrasi. Namun, sejarah mencatat, demokrasi itu sempat redup saat era kepemimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto, yang juga menerapkan demokrasi, tapi demokrasi semu.

Demokrasi mengalami reinkarnasi pada saat beralihnya era orde baru ke masa era reformasi. Akan tetapi, banyak yang berubah saat era pemerintahan itu silih berganti.  Apalagi di era kepemimpinan Pak Jokowi saat ini. Demokrasi bukan saja semu, tapi sudah terbilang mati.

Matinya demokrasi saat ini, dapat dibuktikan dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Selalu mengedepankan kepentingan kelompok dan partainya sendiri.

Kepentingan kelompok dimaksud adalah, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) baru untuk pemilu 2019 kepada DPR.

Setidaknya, ada dua hal yang mengganjal dalam draft RUU yang diusulkan pemerintah kepada DPR. Pertama, dalam draft RUU tersebut disebutkan, bahwa hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 2014, akan dijadikan acuan bagi parpol yang ingin mengusung kadernya menjadi calon presiden saat Pilpres 2019 mendatang.

Kedua, berada pada pasal 190 yang berisi, bahwa pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol (koalisi) peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada Pileg  sebelumnya.

Usulan ini jelas merupakan bentuk pengkerdilan terhadap demokrasi. Secara tidak langsung, Kemendagri yang notabene merupakan kader PDIP (Partai pemenang Pemilu 2014), perlahan ingin mengekang bahkan membunuh parpol-parpol kecil, termasuk parpol yang baru lahir.

UUD 1945 menjamin, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di negeri ini. Artinya, siapapun yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, pemerintah harus mempersilahkan. Sebab, bangsa ini bukan hanya milik PDIP atau kelompok dan partai politik manapun, tapi bangsa ini milik semua rakyat Indonesia.

Kembali kepada draft RUU usulan pemerintah yang mengganjal tadi. Jika Pilpres 2019 mengacu kepada suara Pileg 2014, maka sudah pasti partai parpol baru tidak bisa mengusung kadernya untuk bertanding di pilpres 2019 nanti, karena parpol baru belum memiliki suara di DPR.

Lantas, apa gunanya diselenggarakan Pileg 2019 jika suaranya tidak bisa dijadikan acuan untuk Pilpres 2019? Apakah hasil Pileg 2019 nanti akan dijadikan acuan kembali di Pilpres selanjutnya, termasuk pada Pilpres 2024?. Jika iya, siapakah yang berani menjamin, namun jika tidak, apa fungsinya Pileg 2019 diselenggarakan?.

Jika Rancangan Undang-undang ini disetujui DPR, maka percayalah, pemilihan legislatif 2019 akan dicatat sejarah, bahwa pemilihan tersebut merupakan pemilihan legislatif yang tercacat dan paling tak berguna sepanjang sejarah.

Selanjutnya, pasal mengenai syarat parpol yang bisa mengusung kadernya untuk menjadi Capres minimal 20% dari jumlah kursi DPR, atau 25% dari suara sah nasional sebenarnya sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tapi entah mengapa Mendagri kembali menyelipkan pasal tersebut dalam draft RUU-nya.

Draft RUU tersebut juga bertentangan dengan Putusan MK 14/PUU-XI-2013 yang menyebutkan bahwa setiap parpol yang sudah lolos verifikasi menjadi peserta pemilu, maka parpol tersebut berhak mengusung kadernya untuk menjadi Capres maupun Cawapres.

Rancangan Undang-undang Pemilu yang diusulkan pemerintah menyiratkan adanya upaya ingin membunuh parpol kecil dan parpol baru. Pemerintah saat ini seakan haus dan lapar. Puasa puluhan tahun pasca orde baru, namun ketika diberi kesempatan seolah lancang manantang ingin terus menguasai negeri ini.

Jangan menjadi parpol pengecut dan pecundang. Merasa dirinya besar tapi takut bertanding dengan yang kecil. Jika pemerintah mau sportif dan fair, persilahkan saja parpol-parpol kecil dan parpol baru untuk bertanding di Pilpres 2019. Buktikan kepada mereka bahwa parpolnya memang besar. Tak usah mengebiri dengan mengusulkan RUU Pemilu baru, yang jelas-jelas merugikan parpol kecil dan parpol baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun