Mohon tunggu...
Nur Wakhiddatun Nisa
Nur Wakhiddatun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik UNSIQ Wonosobo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nikel dan Kebijakan Strategis Indonesia dalam Pembatasan dan Peningkatan Kualitas Ekspor Hasil Tambang

28 Desember 2022   17:34 Diperbarui: 28 Desember 2022   17:39 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal tersebut berisi pernyataan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usah Tambahsan Khusus wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam melaksankan penambangan, pengolahan, dan pemurnian serta pemanfaatan mineral dan batubara. Kemudian dalam aturan tambahannya dijelaskan lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh perusahaan pengelola tambang yang tertera dalam di pasal 103 ayat 1 yakni dengan mensyaratkan perusahaan atau pengelola tambang adanya pengloahan dan pemurnian hasil pertambangan (smelter) di dalam negeri.

Kemudian kedua dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang peningkatan nilai Tambah. Menegaskan pemegang kontrak karya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 170 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Wajib memurnikan hasil tambang dalam negeri. Itu artinya pemerintah melalui Kemeterian ESDM mendorong penuh kebijakan untuk melakukan peningkatan kualitas serta nilai jual komoditi tambang dengan upaya membangun dan mengolah serta melakukan pemurnian hasil pertambangan (smelter) di dalam negeri.

Untuk menunjukkan kedaulatan rakyat Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya, Presiden Jokow melalui Pemerintah dalam hal ini Kemeterian ESDM sekali lagi membuat kebijakan sangat tegas dalam upaya pelarangan ekspor melalui penerbitan PERMEN ESDM No 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteru Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Penerbitan kebijakan tersebut membuat negara-negara yang menggunakan bahan baku mineral dari Indonesi dan perusahaan-perusahaan yang umumnya keberatan dengan kebijakan tersebut karena dianggap menyulitkan dan menaikkan biaya produksi. Buntut dari kebijakan pelarang biji nikel murni maka kemudian Uni Eropa melayangkan gugatan pada WTO terkait kebijakan yang dibuat Indonesia. Mereka percaya bahwa tindakan yang dibuat Indonesia tidak sesuai dengan kewajiban Indonesia berdasarkan perjanjian yang tercakup khususnya:

1.Pasal XI: 1 GATT 1994, karena dengan melarang ekspor bijih nikel, dengan mewajibkan bijih nikel, bijih besi dan kromium serta batubara dan produk batubara menjalani kegiatan pengolahan tertentu sebelum diekspor, dengan mewajibkan jumlah tertentu nikel dan batubara yang dijual di dalam negeri sebelum diekspor dan dengan memberlakukan persyaratan perizinan ekspor tertentu pada bijih nikel, limbah dan skrap logam serta batubara dan kokas, Indonesia memberlakukan tindakan yang membatasi ekspor bahan mentah yang relevan untuk produksi baja tahan karat;

2.Pasal 3.1 b) ASCM, karena skema pembebasan bea masuk khusus yang diperkenalkan oleh Indonesia dalam rangka mendorong pengembangan industri dan investasi dan/atau peningkatan pembangunan ekonomi di wilayah tertentu negara ("Kawasan Pengembangan Industri " atau "WPI"), memberikan periode pembebasan bea tambahan (diperpanjang) yang bergantung pada penggunaan mesin, instalasi, peralatan atau perkakas yang diproduksi secara lokal; 

Di mana dukungan tambahan tersebut merupakan pemberian subsidi dalam arti Pasal 1.1 ASCM dan membuat subsidi itu bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas barang-barang impor, melanggar Pasal 3.1 b) ASCM; dan Pasal X:1 GATT 1994, karena Indonesia tidak segera mengumumkan semua tindakan penerapan umum yang berkaitan dengan pelaksanaan pembatasan ekspor dan penerbitan izin ekspor, sehingga memungkinkan pemerintah dan pedagang menjadi berkenalan dengan mereka.

Dengan nota keberatan tersebut, maka Uni Eropa melayangkan tuntutan pada Indonesia untuk mencabut kebijakan pembatasan tersebut karena dianggap tidak adil dan mengganggu perindustrian baja di negara-negara eropa yang kemudian ditindak lanjuti oleh Panel sengketa WTO dengan dilakukannya sidang secara virtual dengan menghadirkan masing-masing pihak yang bersengketa pada 2021 lalu.  

Dalam gugatannya, UE berpendapat bahwa Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk diantaranya produk nikel mentah yang secara nyata melanggar Pasal XI:1 dari GATT 1994. Kepada WTO indonesia melakukan pembelaan karena kebijakan yang dilakukan Indonesia sudah sesuai dan masih berdasar pada ketentuan WTO tahun 1995. Namun pembelaan yang dilakukan Indonesia gagal dan mengalami kekalahan di sidang panel sengketa WTO.

Mengatasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia tetap kokoh pada pendapat untuk melakukan pembatasan ekspor nikel mentah ke luar negeri, mengingat Indonesiki memiliki kebijakan dan hak otoritatif terhadap komoditi yang akan Indonesia ekspor. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa larangan dan pembatasan tersebut akan terus berjalan sebagai mana yang telah di buat dalam kebijakan sebelumnya  meskipun kalah gugatan di WTO terkait penghentian ekspor biji nikel. Jalan tengah yang bisa Indonesia lakukan untuk menanggapi kecaman UE tersebut adalah dengan menepuh jalur  banding pada WTO sambil lalu terus menjalankan kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah.

Maka kebijakan publik Indonesia dengan luar negeri terkait pembatasan, dan pelarangan ekspor biji nikel mentah sangat tepat. Mengingat Indonesia juga memiliki kedaulatan untuk menentukan dan membuat kebijakan yang dapat menguntungkan Indonesia demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Permasalahan klaim yang dilakukan UE kepada WTO terhadap pemabtasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang dilakukan indonesia hanya persoalan mengenai ketidak adailan karena dianggap merugikan industri baja eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun