Mohon tunggu...
Nur Wakhiddatun Nisa
Nur Wakhiddatun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Komunikasi dan Sosial Politik UNSIQ Wonosobo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nikel dan Kebijakan Strategis Indonesia dalam Pembatasan dan Peningkatan Kualitas Ekspor Hasil Tambang

28 Desember 2022   17:34 Diperbarui: 28 Desember 2022   17:39 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia merupakan negara produsen beberapa hasil tambang terbesar di dunia. Salah satunya adalah produsen nikel terbesar dunia, dengan produksi mencapai 1 juta metrik ton nikel per tahun 2021. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar dengan persentasi  penguasaan pasar dunia sebesar 37,04%. 

Banyak negara-negara di Eropa yang bergantung dengan ekspor nikel Indonesia, mengingat nikel sendiri adalah bahan dasar dalam pembuatan batu baterai terlebih lagi pada era transisi peralihan energi bahan bakar yang sudah perlahan meninggalkan minyak dan perlahan mulai bertransisi kepada bahan bakar listrik. Nikel sendiri adalah salah satu logam besar yang digunakan dalam pembuatan baterai listrik, lithium-ion yang ibaratnya adalah jantung dari revolusi menuju transis energi. Keberadaan dan eksistensi nikel akan sangat berpengaruh dan menjadi komoditi yang sangat berharga dimasa mendatang searah dengan perkembangan kendaraan listrik.

Karena kebutuhan tersebut, posisi Indonesia menjadi negara yang sangat diuntungkan sebenarnya, karena memiliki cadangan nikel yang diperkirakan totalnya mencapai 21 juta metrik ton yang tersebar di beberapa daerah di indonesia seperti di Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara. Sebuah peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan ekonomi dan nilai dagang hasil tambang pada dunia di tengah isu resesi 2023. Terlebih dengan kebijakan presiden Jokowi yang mengeluarkan aturan pembatasan ekspor hasil tambang yang masih mentah dan mendorong industri tambang dalam negari untuk mengolah terlebih dahulu sebelum kemudian di ekspor ke luar negeri.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) saja surplus perdangangan Indonesia didominasi oleh komoditi mineral besi, baja, dan nikel yang tercatat mulai tumbuh 10,34%. Melihat pertumbuhan tersebut maka tepat rasanya kebijakan yang dibuat oleh Presiden Jokowi terkait pelarangan ekspor biji nikel mentah dan timah sebagai bentuk upaya  pemercepatan transisi energi dan memperbaiki tata kelola tambang di Tanah Air. 

Kebijakan tersebut dimuat dalam Permen ESDM No. 11 Tahun 2019 yang mulai berlaku mulai 1 januari 2020 kemudian diperbarui dalam Permen ESDM No. 17 Tahun 2020 yang secara umum mengatur tentang pelarangan, pembatasan, dan pengenaan bea pada setiap aktivitas ekspor mineral besi, bauksit, dan nikel mentah.  

Kebijakan pemerintah ini dilakukan agar supaya Industri dalam negeri dapat berbenah dan memperbaiki kualitas dengan mengupayakan pembangunan smalter di dalam negeri sehingga komoditi yang diekspor Indonesia mendapatkan surplus berlipat ganda dari pada ekspor mineral mentah. Juga pengupayaan tersebut dalam analisi penulis adalah sebagai upaya memandirikian industri dalam negeri agar tidak hanya menjadi sapi perah oleh negara-negara lain.

Namun upaya pelarangan tersebut tidak berjalan mulus begitu saja. Tentunya juga banyak komentar dan kecaman keras dari beberapa negara luar yang menjadi mitra Indonesia dalam berdangang salah satunya adalah Uni Eropa. Negara-negara yang tergabung dalam persekutuan tersebut melakukan protes melalui delegasi Uni Eropa yang menilai kebijakan yang dikeluarkan Indonesia sangat memberatkan karena dianggap tidak adil dan mengganggu stabilitas perindustrian baja di negara-negara eropa. 

Beberapa pakar juga memberikan komentar menolak dan mengingatkan kembali pemerintah untuk berhati-hati untuk mengantisipasi anjloknya nilai jual nikel di pasar global ketika pemberlakuan kebijakan tersebut. Nota keberatan tersebut disampaikan Uni Eropa dengan mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia pada World Trade Organization (WTO).

Menurut Menteri ESDM, Agus Suparmanto pada realitanya ekspor nikel tetap berlangsung sejauh ini sebagaimana biasanya, namun ada penegasan ulang dalam implementasi di lapangannya terkait transisi perubahan aturan yang dibuat Indonesia. Pencabutan izin ekspor hanya akan dilakukan apabila ada perusahaan yang melanggar aturan dengan tidak melengkapi persyaratan yang telah disepakati dalam aturan. Ini merupakan tidakan tegas yang harus diambil pemerintah untuk meningkatkan kualitas dari industri mineral tambang dalam negeri dan meningkatkan nilai jual pada pasar global sebagai bentuk dukungan Indonesia terhadap upaya transisi energi dan untuk ikut serta mengurangi emisi global.

Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Ekspor Nikel dan Gugatan Uni Eropa pada WTO

Aturan dan larangan ekspor mineral mentah sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam pasal 102. 

Pasal tersebut berisi pernyataan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usah Tambahsan Khusus wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam melaksankan penambangan, pengolahan, dan pemurnian serta pemanfaatan mineral dan batubara. Kemudian dalam aturan tambahannya dijelaskan lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh perusahaan pengelola tambang yang tertera dalam di pasal 103 ayat 1 yakni dengan mensyaratkan perusahaan atau pengelola tambang adanya pengloahan dan pemurnian hasil pertambangan (smelter) di dalam negeri.

Kemudian kedua dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang peningkatan nilai Tambah. Menegaskan pemegang kontrak karya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 170 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Wajib memurnikan hasil tambang dalam negeri. Itu artinya pemerintah melalui Kemeterian ESDM mendorong penuh kebijakan untuk melakukan peningkatan kualitas serta nilai jual komoditi tambang dengan upaya membangun dan mengolah serta melakukan pemurnian hasil pertambangan (smelter) di dalam negeri.

Untuk menunjukkan kedaulatan rakyat Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya, Presiden Jokow melalui Pemerintah dalam hal ini Kemeterian ESDM sekali lagi membuat kebijakan sangat tegas dalam upaya pelarangan ekspor melalui penerbitan PERMEN ESDM No 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteru Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Penerbitan kebijakan tersebut membuat negara-negara yang menggunakan bahan baku mineral dari Indonesi dan perusahaan-perusahaan yang umumnya keberatan dengan kebijakan tersebut karena dianggap menyulitkan dan menaikkan biaya produksi. Buntut dari kebijakan pelarang biji nikel murni maka kemudian Uni Eropa melayangkan gugatan pada WTO terkait kebijakan yang dibuat Indonesia. Mereka percaya bahwa tindakan yang dibuat Indonesia tidak sesuai dengan kewajiban Indonesia berdasarkan perjanjian yang tercakup khususnya:

1.Pasal XI: 1 GATT 1994, karena dengan melarang ekspor bijih nikel, dengan mewajibkan bijih nikel, bijih besi dan kromium serta batubara dan produk batubara menjalani kegiatan pengolahan tertentu sebelum diekspor, dengan mewajibkan jumlah tertentu nikel dan batubara yang dijual di dalam negeri sebelum diekspor dan dengan memberlakukan persyaratan perizinan ekspor tertentu pada bijih nikel, limbah dan skrap logam serta batubara dan kokas, Indonesia memberlakukan tindakan yang membatasi ekspor bahan mentah yang relevan untuk produksi baja tahan karat;

2.Pasal 3.1 b) ASCM, karena skema pembebasan bea masuk khusus yang diperkenalkan oleh Indonesia dalam rangka mendorong pengembangan industri dan investasi dan/atau peningkatan pembangunan ekonomi di wilayah tertentu negara ("Kawasan Pengembangan Industri " atau "WPI"), memberikan periode pembebasan bea tambahan (diperpanjang) yang bergantung pada penggunaan mesin, instalasi, peralatan atau perkakas yang diproduksi secara lokal; 

Di mana dukungan tambahan tersebut merupakan pemberian subsidi dalam arti Pasal 1.1 ASCM dan membuat subsidi itu bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas barang-barang impor, melanggar Pasal 3.1 b) ASCM; dan Pasal X:1 GATT 1994, karena Indonesia tidak segera mengumumkan semua tindakan penerapan umum yang berkaitan dengan pelaksanaan pembatasan ekspor dan penerbitan izin ekspor, sehingga memungkinkan pemerintah dan pedagang menjadi berkenalan dengan mereka.

Dengan nota keberatan tersebut, maka Uni Eropa melayangkan tuntutan pada Indonesia untuk mencabut kebijakan pembatasan tersebut karena dianggap tidak adil dan mengganggu perindustrian baja di negara-negara eropa yang kemudian ditindak lanjuti oleh Panel sengketa WTO dengan dilakukannya sidang secara virtual dengan menghadirkan masing-masing pihak yang bersengketa pada 2021 lalu.  

Dalam gugatannya, UE berpendapat bahwa Indonesia telah melanggar komitmen anggota WTO untuk memberikan akses seluasnya bagi perdagangan internasional, termasuk diantaranya produk nikel mentah yang secara nyata melanggar Pasal XI:1 dari GATT 1994. Kepada WTO indonesia melakukan pembelaan karena kebijakan yang dilakukan Indonesia sudah sesuai dan masih berdasar pada ketentuan WTO tahun 1995. Namun pembelaan yang dilakukan Indonesia gagal dan mengalami kekalahan di sidang panel sengketa WTO.

Mengatasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia tetap kokoh pada pendapat untuk melakukan pembatasan ekspor nikel mentah ke luar negeri, mengingat Indonesiki memiliki kebijakan dan hak otoritatif terhadap komoditi yang akan Indonesia ekspor. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa larangan dan pembatasan tersebut akan terus berjalan sebagai mana yang telah di buat dalam kebijakan sebelumnya  meskipun kalah gugatan di WTO terkait penghentian ekspor biji nikel. Jalan tengah yang bisa Indonesia lakukan untuk menanggapi kecaman UE tersebut adalah dengan menepuh jalur  banding pada WTO sambil lalu terus menjalankan kebijakan yang telah diterbitkan pemerintah.

Maka kebijakan publik Indonesia dengan luar negeri terkait pembatasan, dan pelarangan ekspor biji nikel mentah sangat tepat. Mengingat Indonesia juga memiliki kedaulatan untuk menentukan dan membuat kebijakan yang dapat menguntungkan Indonesia demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Permasalahan klaim yang dilakukan UE kepada WTO terhadap pemabtasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang dilakukan indonesia hanya persoalan mengenai ketidak adailan karena dianggap merugikan industri baja eropa.

Indonesia meyakini bahwa kebijakan pelarangan ekspor nikel merupakan tujuan yang paling transformatif, karena terkait dengan nilai tambah dan konservasi sumber daya, yang mengacu pada visi jangka panjang pembangunan Indonesia berkelanjutan. Meskipun masing-masing pihak memiliki argumentasi yang sama kuatnya, namun untuk argumentasi Indonesia -- dengan melihat contoh kasus di atas, dapat ditekankan bahwa kebijakan Indonesia adalah pada kepentingan nasional dan prinsip dasar kedaulatan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun