Mohon tunggu...
Pendidikan

Madzhab Iqtishaduna terhadap Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer

2 Maret 2019   11:06 Diperbarui: 2 Maret 2019   11:21 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madzhab ini dipelopori oleh Baqir as-Sadr. Dalam bukunya yang terkenal yaitu Iqtishaduna, ia berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah sama dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, sedangkan Islam tetaplah Islam. Keduanya tidak akan pernah bisa disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, dan yang lainnya Islam.

Dengan adanya perbedaan filosofi ini terdapat perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat permasalahan ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, permasalahan ekonomi muncul disebabkan adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia jumlahnya sangat terbatas. Hal ini dibantah oleh Baqir as-Sadr, karena menurutnya sumber daya yang tersedia tidak ada yang terbatas. Seperti dalam firman Allah QS. Al-Qamar 54 ayat 49 yakni :

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."

Dengan demikian, sebenarnya Allah SWT telah memberikan sumber daya yang cukup bagi kehidupan yang ada di dunia, karena semua sudah terukur dengan sempurna. Contohnya saja ketika manusia berhenti minum jika dahaganya sudah hilang, sudah terlihat jika pada kenyataannya keinginan manusia itu memang terbatas.

Baqir as-Sadr berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya distribusi yang tidak adil. Akibatnya sistem ekonomi yang memperbolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Pihak yang kuat memiliki akses sumber daya, sementara pihak yang lemah tidak memiliki akses sumber daya. Hal ini disebabkan karena keserakahan manusia yang tidak terbatas. 

Istilah ekonomi islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif, karena itu istilah ekonomi islami diganti dengan istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yakni iqtishaduna. 

Iqtishaduna bukan hanya ekonomi, Iqtishaduna berasal dari kata bahasa Arab qasd secara bahasa berarti keadaan yang seimbang. Sehingga semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya perl disusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-qur'an dan As-Sunah. (Karim, 2015 : 30-31)

Menurut madzhab ini, permintaan uang hanya ditujukan untuk dua tujuan pokok, yaitu transaksi dan berjaga-jaga. Permintaan uang transaksi merupakan fungsi dari tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka permintaan uang untuk transaksi juga semakin meningkat. 

Sedangkan fungsi permintaan uang untuk motif berjaga-jaga ditentukan oleh besar kecilnya transaksi pembelian barang atau jasa yang tidak dilakukan secara tunai. Zaid Ibnu Ali Zainal Abidin Ibnu Husain Ibnu Ali Ibnu Abi Thalib membolehkan pembayaran harga dengan yang lebih tinggi dari harga tunai dalam perniagaan komoditi secara kredit. 

Apabila harga bayar dikemudian hari meningkat, maka akan mengurangi permintaan uang riil, karena orang akan lebih senang memegang barang yang akan meningkat harganya pada masa mendatang, dibandingkan memegang uang dalam bentuk tunai. Pada masa Rasulullah, permintaan uang hanya untuk transaksi dan berjaga-jaga. Apabila permintaan uang untuk transaksi meningkat, maka permintaan uang untuk berjaga-jaga akan mengalami penurunan. (Yudho, 2010 : 27)

Muhammad Baqir As-Sadr lahir di Khadimiyeh, Baghdad pada tahun 1935. Keturunan dari keluarga sarjana dan intelektual Islam Syi'ah termasyhur. Ia memilih untuk menuntut pengajaran Islam tradisional di sekolah tradisional di Irak. Secara intelektualitas, ia terlihat sangat menonjol sehingga ketika berusia 20 tahun, ia mendapatkan derajat mujtahid mutlaq dan selanjutnya menjadi otoritas tertinggi marja. 

Meskipun memiliki latar belakang tradisional, ia tidak pernah terpisah dari isu-isu kontemporer. Minat intelektualnya yang tajam mendorongnya untuk berfikir secara kritis mempelajari filsafat kontemporer, ekonomi, sosiologi, dan hukum. 

Karyanya, Falsafatuna dan Iqtishaduna memberikan suatu kritik yang komparatif terhadap kapitalisme ataupun sosialisme. Pada waktu yang sama, kedua karya tersebut menggambarkan pandangan dunia Islam dengan garis-garis besar sistem ekonomi Islam.

Usaha yang dituangkannya dalam Iqtishaduna menyuarakan suatu filsafat ekonomi pada koleksi hukum legal dan hal itu mencerminkan kemampuannya dalam memberikan kehidupan pada hukum-hukum yang tampak mubazir. Ditulis pada 1960-an, Iqtishaduna haruslah dipandang sebagai analisis komprehensif dan perbandingan sistem ekonomi dari perspektif Islam, yang masih digunakan hingga sekarang. 

Menurut Baqir as-Sadr, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. 

Dengan demikian, ekonomi Islam adalah sebuah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan sosial. Demikian pula, sistem ekonomi Islam adalah sebuah doktrin karena menurutnya berhubungan dengan pertanyaan "apa yang seharusnya" berdasar pada keyakinan, hukum, sentimen, konsep dan definisi islam yang diambil dari sumber-sumber Islam.

Baqir as-Sadr melihat sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari sistem Islam secara keseluruhan interdisipliner, bersama seluruh anggota masyarakat yang merupakan agen sistem islam itu. Ia menyarankan agar orang memahami dan mempelajari pandangan dunia islam lebih dahulu jika ingin mendapatkan hasil yang memuaskan dalam menganalisis sistem ekonomi islam. 

Pada pemikiran ekonominya, ia membedakan produksi dan distribusi, tetapi ia melihat hubungan keduanya sebagai persoalan sentral dalam ekonomi. Jika produksi merupakan proses yang dinamis, yang berubah seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, distribusi dianggap sebagai bagian dari sistem sosial, yaitu hubungan total antar manusia. 

Menurut Sadr, sistem sosial muncul dari kebutuhan manusia, bukan dari cara-cara produksi. Oleh karena itu, ia menolak pandangan Marxis mengenai masyarakat dan perubahan yang menyatakan bahwa dalam masyarakat tersimpan potensi pertentangan kelas. Doktrin ekonomi islam adalah pondasi terbentuknya hukum-hukum yang berhubungan dengan ekonomi.

Dalam hubungan ini, ia yakin akan adanya suatu sistem ekonomi yang telah terbentuk dengan sempurna meskipun secara eksplisit belum dinyatakan dalam sumber hukum islam (Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijtihad, Ijma' dan Qiyas). Oleh karena itu, ia mengemukakan gagasannya berupa proses penemuan yaitu semua hukum dan aturan ekonomi dan masyarakat, dipelajari bersama dan dipakai untuk menemukan doktrin ekonomi. 

Dengan kata lain, jika hukum-hukum telah dikumpulkan, pondasi doktrin hukum-hukum itu pun akan ditemukan dalam sumber-sumber islam. Maka diperlukan ijtihad yang dipandang oleh Baqir as-Sadr sangat penting untuk mengisi celah antara prinsip-prinsip yang bersifat tetap atau permanen dan hukum-hukum yang bersifat fleksibel, untuk menentukan batas-batas penyelidikan, dan secara teoritis, mengatur hukum dan konsep dalam suatu keseluruhan yang saling bertalian secara logis. Semua itu membentuk wilayah fleksibel dalam ekonomi islam.

Baqir as-Sadr juga tidak percaya pada gagasan "keselarasan kepentingan" yang menjadi dasar penekanan sistem kapitalis atas kebebasan individu. Ia tidak mengakui pandangan yang menyatakan bahwa kesejahteraan publik akan menjadi maksimum jika para individu diberi kebebasan untuk mengejar kepuasan dan kepentingan masing-masing. Sebaliknya, ia melihat hal itu sebagai sumber masalah sosial ekonomi. 

Ia lebih memilih bersandar pada agama untuk menyeimbangkan kesejahteraan individu dan publik, bukan pada pemerintahan. Distribusi menempati sebagian besar pemikiran ekonomi islam Baqir As-Sadr. Ia membagi pembahasannya menjadi dua bagian, yaitu distribusi sebelum produksi dan sesudah produksi. Ia juga menjelaskan secara terperinci hal tersebut didasarkan pada ajaran atau hukum yang berhubungan dengan kepemilikan. (Rianto, 2017 : 109-113)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun