Kisah ini tentang perjuangan siswa-siswiku untuk sampai ke sekolah. Hhhhmmmm... mungkin bisa dimulai dari berita bahagia pada tahun 2010 silam.
Pada tanggal 15 Februari 2010, saya melahirkan putra pertama dan resmi menyandang gelar ibu. Kelahiran putra pertama melengkapi kebahagiaan keluarga kecil kami, seminggu kemudian saya menerima kabar bahwa SK CPNS telah terbit, rupanya yang dinanti-nanti selama ini juga telah datang. Karena masih dalam masa pemulihan dan keterlambatan informasi, akhirnya saya diantar oleh suami mengambil SK tersebut di Pemda Ketapang. Singkat cerita, saya menerima SK tersebut, ketika saya buka.....disitu tertulis tempat tugas di SMPN 2 Jelai Hulu, saya biasa saja tapi....bapak pegawai pemda yang memberikan SK itu nampak senyum-senyum...saya jadi heran kenapa ya....???
Saya keluar menemui suami dan menunjukkan SK tersebut, betapa kaget suami saya....saya bertanya dimanakah tempat tugas saya?seberapa jauh?tapi suami tercinta hanya menjawab “mungkin rizki kita memang ada disana....yakin usaha sampai”. Sesampainya dirumah baru saya paham bahwa tempat tugas saya jauh dipedalaman, orang Ketapang menyebutnya dengan nama daerah Penghuluan. Dimana menurut cerita kondisi jalan rusak, listrik tidak ada, puskesmas jauh, sinyal tidak ada, pokoknya seram-seram cerita yang saya dengar. Namun suami selalu memberi semangat, itulah yang membulatkan tekat saya untuk bertugas disana.
Dengan kondisi saya yang masih dalam proses pemulihan, saya dengan suami pergi ke Jelai Hulu untuk melapor ke sekolah tempat tugas saya. Meninggalkan bayi mungil kami sehari, ah rasanya gimana gitu...sedih, melas bayangkan bayi mungil lapar pengen minum ASI, apalagi belum berumur 2 minggu, namun kami berdua tetap pergi.
Berangkat dari rumah jam 05.30 WIB, dengan berbagai persiapan, plastik pembungkus berkas-berkas, kue, air, dan banyak lagi. Melewati jalan yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya, tanah merah pegunungan, panas berdebu, hujan licin. Kebetulan waktu itu musim hujan, kondisi jalan benar-benar licin yang lebih parah lagi banjir, ditengah jalan banyak terdapat danau (lubang besar penuh air). Kami sangat berhati-hati, pelan-pelan saja seperti kata pepatah biar lambat asal selamat. Tentu saja inilah kalimantan yang saya bayangkan waktu saya sekolah dulu, melewati lebatnya hutan rimba, sepanjang jalan hanya melewati rimba, sesekali kami bertemu dengan kampung kecil. Berjumpa dengan hewan-hewan liar atau mungkin ada yang memelihara sayapun tidak tahu. Benar-benar hutan...ya inilah hutan Kalimantan, banyak sekali pertanyaan dalam hati yang mau saya tanyakan pada suami, namun beliau sedang konsentrasi memperhatikan jalan, jadi saya hanya sesekali saja bertanya, kami juga berhenti untuk singgah ditepi jalan sekedar untuk minum dan makan kue, sebagai pengganjal lapar.
Sekitar pukul 14.00 WIB kami sampai di Jelai Hulu, sungguh ngeri ketika kami harus melewati jembatan gantung, seumur hidup baru pertama kali menyeberang pake jembatan gantung. Disini kami ditemui salah satu guru, karena Kepseknya ternyata sedang ada keperluan di Ketapang. Setelah istirahat sebentar, akhirnya kami pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang sayapun sibuk bertanya, betapa heran saya, ternyata saya bisa merasakan Kalimantan yang masih original. Tentu saja sambil berpikir, kapan ketemu rumah, dari tadi yang dilewati hanya hutan, apalagi udah malam, Cuma sorot lampu motor kami saja sebagai penerang jalan, serasa tidak ada ujungnya jalan yang kami lewati. Menahan rasa sakit di perut dan dada, karena seharian si bayi mungil tidak minum ASI. Dalam hati berdoa semoga semua baik-baik saja, bisa sampai dirumah dengan selamat dan bertemu si mungil. Dan alhamdulillah sekitar pukul 20.00 WIB kami sampai dirumah dengan selamat, meski badan rasanya remuk dan motor Cuma terlihat warna kuning lumpur.
Akhirnya saya bertugas di SMPN 2 Jelai Hulu, dan anehnya berangkat yang kedua kalinya kami kesasar di dalam perkebunan sawit, mutar-mutar, pokoknya sampai bekal makanan ludes hehe...
Di sekolah ini hanya ada 3 orang PNS yaitu Kepala Sekolah, guru Bahasa Inggris dan tebak yang ketiga siapa???? Ya...guru matematika yaitu saya. Siswa-siswa di sekolah kami berasal dari berbagai desa di sekitar sekolah. Bukannya dekat jarak antara satu desa dengan desa lainnya, bahkan ada yang lebih dari 15 KM jarak antara desa dengan sekolah. Oleh karena itu banyak siswa yang menumpang tinggal dirumah warga yang dekat dengan sekolah.
Ada sebagian siswa yang memilih tetap pulang kerumahnya, dengan alasan harus membantu orang tua, meskipun jaraknya begitu jauh. Jika musim panas, meskipun debu bertebaran namun masih bisa dilewati menggunakan sepeda atau motor, namun ketika musim hujan, kondisi jalan licin, kadang banjir, kadang jembatan putus, dan tentu saja dengan kondisi jalan seperti itu, siswa-siswa tidak bisa berangkat ke sekolah menggunakan sepeda atau motor. Mau tidak mau mereka harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki, benar-benar penuh resiko.
Suatu ketika saya bertanya kepada seorang siswa, pukul berapa berangkat dari rumah karena jam 06.00 WIB sudah sampai di sekolah? Dengan santai siswa itu menjawab kalau turun dari rumah pukul 04.00 WIB. Saya benar-benar kaget...mungkin sebagian orang ada yang belum bangun, tapi siswa-siswaku sudah siap ke sekolah. Dengan berjalan kaki menembus gelapnya hutan rimba dengan bantuan senter sebagai penerang. Menempuh jarak berpuluh kilometer untuk menimba ilmu, semangat yang begitu mengagumkan. Apakah mereka tidak takut ataupun khawatir jika tiba-tiba dalam gelapnya perjalanan mereka bertemu binatang buas, ular berbisa ataupun binatang malam lainnya??? Mereka yakin saja tidak akan bertemu dengan binatang-binatang itu...
Betapa hebatnya semangat mereka untuk mencari ilmu, untuk menggapai asa dan cita-cita. Meski jurang terjal menghadang tetap dilalui dengan senyuman.
Jadi ingat masa kecil di tanah kelahiran, waktu itu sebagian rumah belum ada listrik....dan sekarang saya sudah menjadi seorang pendidik, namun masih ada yang senasib seperti masa kecil saya, hidup tanpa listrik. Padahal sudah berapa puluh tahun negara kita Indonesia merdeka, namun masih ada yang belum menikmati terangnya listrik. Di desa sekolah kami berada listrik hidup pukul 17.00 dan padam pukul 06.00, itu menurut peraturan, namun kenyataannya listrik hidup cuma sekali saja dalam seminggu. Tapi itu masih alhamdulillah....dari pada desa-desa tempat tinggal siswa-siswa kami, disana memang benar-benar tidak ada listrik. Bagi yang kehidupannya mampu, dapat me mbeli genset namun yang kehidupannya biasa-biasa saja hanya menggunakan pelita, bahkan mendapatkan minyak tanah saja susah, jadi terkadang minyak tanah diganti dengan solar. Sedih tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Namun ketika saya memberi PR, hhhhhmmmm....tetap dikerjakan meski cuma pelita sebagai penerang. Semangat belajar yang patut dicontoh, dengan keterbatasan sarana dan prasarana tidak menjadikan mereka menjadi malas mengerjakan tugas.
Semoga dengan semangat juang yang tinggi, semua asa dan cita-cita kalian tercapai. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kalian semua.
Bagi calon guru atau bapak/ibu guru jangan pernah khawatir ataupun takut untuk ditugaskan di daerah terpencil, meskipun sarana dan prasarana belum memadai, namun ada rasa bangga ketika kita bisa memberikan ilmu yang kita miliki kepada anak-anak yang penuh semangat menanti kedatangan kita di kelas. Menanti dengan sungguh-sungguh untuk belajar bersama kita.
Bersambung.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H