Mohon tunggu...
Nurul Wahyuni
Nurul Wahyuni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang individu yang teliti, pekerja keras, dan optimis yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dinamis, dengan pemahaman dan pendekatan yang melihat big picture dari suatu masalah. Memiliki pengetahuan luas dalam bekerja sama dengan orang banyak dan kolaborasi proyek dengan berbagai tim dari latar belakang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Biarkan Intoleransi Menghancurkan Kita

27 Juli 2022   16:20 Diperbarui: 27 Juli 2022   16:23 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa pelaku kriminal di Indonesia seperti koruptor sering mendapatkan hukuman yang ringan atau malah bebas dari jeratan hukum. Hal ini mengakibatkan masyarakat merasa tidak malu melakukan perilaku kriminal yang sama, karena menilai hukuman kepada pelaku tindakan koruptor yang merugikan banyak masyarakat terbilang sangat ringan. Dua hal ini, yaitu disparitas ekonomi yang melebar dan penegakan hukum yang lemah menjadi dua faktor munculnya perilaku radikal (PPIM, 2017). Menurut Ali Fauzi ada enam isu utama yang sering melatari konflik-konflik agama, yang kadang tidak bisa berdiri sendiri dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dan bersifat tumpang-tindih satu sama lain (Fauzi, 2017); Pertama, Isu moral, mencakup antara lain isu-isu di seputar perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi.

Isu-isu moral lainnya seperti antikorupsi juga bisa dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan. Kedua, Isu sektarian, yang melibatkan perseteruan terkait pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok agama. Dalam Islam, misalnya, kelompok Ahmadiyah adalah di antara kelompok kelompok agama yang kerap memicu berbagai insiden konflik. Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.

Ketiga, Isu komunal, yang melibatkan perseteruan di antara komunitas agama yang berbeda, seperti konflik Muslim-Kristen di Poso, Sulawesi Tengah. Isu seperti penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur tentang Nabi Muhammad, masuk ke dalam kategori isu komunal ini. Keempat, Isu terorisme, yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan sasaran kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing.

Contohnya adalah pengeboman di Bali, yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai serangan bom di Jakarta. Kelima, Isu politik-keagamaan, yang melibatkan sikap anti terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya. Termasuk ke dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Syariah Islam atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu.

Dan keenam, Isu lainnya, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 (lima) kategori sebelumnya.

Belajar Toleransi dari Suku Dayak

Banyaknya suku Dayak yang beragama Protestan di Mamahak Teboq tidak serta merta mendominasi para minoritas pendatang. Mereka bahkan menganggap saudara mereka, apapun etnis dan sukunya, apapun agama dan kepercayaannya. Istilah penduduk asli dan pendatang pun seakan tidak ada dan tidak pernah menjadi permasalahan serius. Para pendatang pun merasa kampung tersebut bagaikan kampung halaman sendiri. Meski terdapat beberapa kendala dalam bahasa, karena beberapa tetua kampung tidak dapat berbahasa Indonesia, namun seiring berjalannya waktu hal tersebut tidak menjadi hambatan yang berarti dalam hidup berdampingan.

Sedikitnya ada beberapa fenomena yang dapat dijadikan indikasi toleransi di Mamahak Teboq. Pertama, seluruh warga, baik yang menetap maupun karyawan perusahaan yang tinggal di camp, dilibatkan dalam berbagai upacara-upacara adat. Salah satu upacara yang rutin dilakukan adalah Tarian Hudoq yang diselenggarakan tiap sebelum dan sesudah panen.

Dalam perayaan ini, semua elemen masyarakat dilibatkan, baik sebagai panitia persiapan maupun sebagai peserta. Namun perayaan adat ini masih menghormati kepercayaan kaum Muslim yang tidak memakan babi, meminum buraq (sejenis tuak yang berasal dari fermentasi tape singkong), bermain judi dan sabung ayam. Penduduk setempat yang masih menjalankan berbagai ritual tersebut juga tidak pernah memaksa mereka yang muslim untuk bergabung dengan kegiatan mereka yang dipandang haram dalam agama Islam.

Kedua, pesta pernikahan. Menurut tradisi setempat, pernikahan antar suku Dayak dan non-Dayak tidak pernah dipermasalahkan. Adapun untuk pernikahan di desa ini, pesta digelar selama 7 hari 7 malam dengan berbagai hiburan dan sajian. Di sekeliling tempat pesta juga berdiri sejenis pasar malam yang menjual berbagai macam makanan.

Dalam momen ini, pihak tuan rumah juga mengundang seluruh kalangan untuk dapat hadir dalam pesta. Makanan yang disediakan pun beragam dan terpisah. Bagi tamu yang beragama muslim, mereka menyediakan tempat khusus dan tertutup untuk sajian makan. Makanan yang dihidangkan pun makanan yang halal dikonsumsi oleh muslim, yang dimasak oleh orang muslim dan menggunakan peralatan masak dan makan yang khusus. Mereka menghormati kepercayaan muslim yang tidak mengkonsumsi daging babi. Karena bagi mereka, acara-acara besar seperti ini tidaklah sempurna tanpa adanya daging babi guling, daging babi panggang dan makanan olahan babi lainnya, juga tak lupa dengan buraq berliter-liter.

Ketiga, pembangunan rumah ibadah yang terlepas dari konflik dan sengketa. Penduduk asli di sana tidak mempermasalahkan berdirinya masjid di tengah-tengah kampung mereka, lengkap dengan pengeras suaranya. Meski jumlah muslim yang menunaikan shalat Jum'at hanya sedikit (saat itu penulis menghitung tidak lebih dari 40 pria), penghuni sekitar masjid tidak keberatan dengan suara adzan dan khutbah dengan pengeras suara yang bergema di seluruh desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun