Saya terkekeh, mirip orang setengah depresi. Atau jangan-jangan sudah depresi? Entahlah, yang jelas, saya sudah nggak punya stok air mata untuk diumbar depan dokterku yang sabar tapi kata-katanya laksana terkaman harimau sumatera. Penyakit bertubi-tubi harus dialami oleh bodi ini. Oke... oke.... Ini takdir. Ujian. Cobaan. Tapii, tentu saja, sebagai manusia normal, izinkan saya bertanya, "Kok bisa? Kenapa saya?"
Dokter menyunggingkan senyum simpul. Ia hanya menganjurkan aku untuk jaga kondisi jelang operasi. Sebelum kami sudahi sesi konsultasi, dokter berkata pelan, "Ibu yang ikhlas, ya. Coba untuk memaafkan semua orang. Siapa saja."
Aneka penyakit degeneratif yang saya alami, pemicunya bisa dari banyak hal. Gaya hidup, pola makan yang tidak tepat, dan yang paling penting: rasa marah/ stress/ tidak mau memaafkan, yang selama ini bercokol dalam jiwa. Astaghfirullah.... Kalau Tuhan saja begitu Pemaaf, mengapa saya hamba-Nya justru begitu angkuh, dan tak mau memaafkan Pak Sammy?
Saya pun menjalani operasi, masa pemulihan yang jujur, sangat menyiksa, menguras energi, emosi dan uang, tentu saja. Terus saya hunjamkan dalam dada, "This shall too pass... all is well...." Saya berusaha rileks, mindfull, rajin mengaji, sholat, sesekali meditasi.... Dan suami saya pun dengan sangat berhati-hati, ia berujar, "Nanti kalau sudah enakan, kita ketemu Pak Sammy, ya?"
Masa pemulihan saya gunakan untuk mempersiapkan tubuh. Saya ambil ancang-ancang supaya tatkala ketemu Pak Sammy, kemarahan saya agak tereliminir. Heyy, siapa sih saya ini? Hanya setitik noktah di galaksi yang begitu luasnya..... seonggok kacung kampret, manusia mediokre yang kalaupun saya nggak ada, planet Bumi ini tetap ber-rotasi dan ber-revolusi secara paripurna! Jadii, apa yang patut membuat saya begitu angkuhnya dan ogah memaafkan pak Sammy?
***
Tibalah hari itu. Saya bersama suami datang ke rumah pak Sammy... Kami disambut oleh istri dan anaknya yang begitu riang. Tak ada aura curiga, barangkali mereka selalu merasa bahwa saya sudah betul-betul memaafkan dengan sepenuh jiwa.Â
Terima kasih atas momentum IdulFitri. Saya bisa datang, ngobrol dengan berusaha rileks, dan berucap mantap, "Saya minta maaf atas semua kesalahan yang saya perbuat, baik yang disengaja maupun tidak. Atas izin Allah, saya memaafkan semua kesalahan pak Sammy. Semoga kita dibimbing dan diberi hidayah oleh Allah, untuk menjadi insan yang lebih baik lagi."Â
Plong. Kalimat itu saya ucapkan dengan serius. Tiap diksi saya sematkan "meaning" , I really meant it.Â
Dan, yah.... persis seperti yang dikatakan dokter, bahwa memaafkan adalah salah satu terapi agar kondisi diri bisa menjadi lebih baik lagi. Memaafkan sangat berdampak pada fisik dan psikis.Â
Boleh jadi aneka penyakit yang bersemayam dalam tubuh adalah implikasi dari rasa marah yang tak kunjung sudah. Maka, ketika saya memaafkan... semua dendam/ marah/ kesal menemukan muaranya.Â