Pernahkah kalian bertandang ke Taman Nasional Baluran yang berada di Situbondo, Jawa Timur? Destinasi yang ditahbiskan sebagai "Africa van Java" ini sungguh memukau! Berada di sana seolah saya sedang melakoni syuting program National Geographic. Bentang alamnya yang demikian luas serta aneka satwa liar yang hidup di TN Baluran... Ini semua memberikan sensasi plesir yang tidak biasa, membuat kita semua makin Bangga Berwisata di Indonesia!
Kawasan TN Baluran ini ekosistemnya masih asli banget, dikelola dengan sistem zonasi. Setelah melalui pintu masuk, mobil melaju mengarungi jalanan makadam. Kami sempat bersua  dengan beberapa hewan liar, di antaranya: burung merak (Pavo muticus), ayam hutan (Gallus sp.), dan berbagai jenis burung lainnya. Salah satu zona yang jadi favorit para pengunjung adalah Savana Bekol, yang merupakan hamparan savana alami terluas di pulau Jawa. Magical experience banget ada di sini! Luas Savana Bekol  sekitar 300 hektar, dengan latar belakang Gunung Baluran. Tentu saja, savana bekol sungguh ciamik jadi sarana mengabadikan memori alias selfie sepuasnya!
Puas eksplorasi Savana Bekol, kami terus melaju menuju zona berikutnya, hingga tibalah kami di destinasi pamungkas TN Baluran. Siapa nyana, di Kawasan "Africa van Java" ini menyimpan kejutan berupa surga vitamin sea. Yap selamat datang di Pantai Bama! Pantai dengan bentang alam super memukau yang masih berada di kawasan TN Baluran. Â
Pantai Bama, ini adalah destinasi yang menyadarkan saya, tentang urgensi sustainable traveling. Sebelum berangkat, kami sudah diwanti-wanti oleh Bapak Nurdin Razak, pemilik/pengelola Baloeran Ecolodge tempat kami menginap.
"Kalau udah nyampai pantai Bama, hati-hati dengan kawanan monyet liar yang ada di sana yah! Jangan sekali-kali menunjukkan kemasan makanan atau tas kresek, karena PASTI bakal direbut oleh monyet-monyet itu!"
Tentu saja, kami pegang teguh saran Bapak Nurdin. Benar saja, ketika sedang parkir, sesebapak di sebelah kami yang sedang membawa bekal makanan dalam tas kresek. Â Tanpa basa-basi, kawanan monyet auto datang dan sruuuttt! Bekal makanan langsung berpindah tangan!
"Waduuuhh, monyet kurang ajaaarr!!" si Bapak teriak spontan, sambil merengut. Putra si Bapak tampak shocked, panik lantaran tingkah monyet yang sat set wat wet merampas bekal mereka.  Tanpa sungkan sedikitpun, si monyet auto mengganyang makanan yang ia rampas barusan.Â
"Dasar Monyet gak ada akhlak!" tukas si BapakÂ
Kami pun ngobrol dengan salah satu pedagang warung makanan di TN Baluran. Usut punya usut, monyet-monyet ini kian agresif gara-gara ulah beberapa pengunjung yang kerap membuang sampah kresek (plastik hitam) berisi sisa makanan. Namapun monyet, mereka kan punya kecerdasan di atas rata-rata, ya. Triingg! Ide brilian pun tertanam di benak para monyet, bahwa kresek identik dengan wadah makanan manusia yang super lezat. Jadi, ketika melihat manusia bawa kresek/ kemasan plastik snack, tanpa ragu-ragu si monyet langsung merampas begitu saja!
Lesson learned: Hai manusia, masih ingat slogan "Buanglah sampah pada tempatnya" kan? Slogan itu ada, untuk diterapkan dalam keseharian. Para monyet berubah jadi beringas, gegara perilaku pengunjung. Masih untung kalau hanya makanan yang tertelan. Bisakah dibayangkan, bagaimana nasib geng monyet, kalau sampah plastik tadi ikut termakan? (jadi pertanyaannya, yang nggak ada akhlak tuh siapa ya? Para monyet? Atau pengunjung yang suka buang sampah sembarangan?)
Budayakan Sustainable and Responsible Traveling
Kenapa kita harus melakoni prinsip sustainable and responsible traveling? Ada banyak alasan yang bisa dipaparkan. Di antaranya, tentu karena setiap manusia kudu berkontribusi untuk melestarikan lingkungan. Kasihan Planet Bumi ini kalau terus-menerus "disiksa" oleh perilaku kita manakala berwisata. Buang sampah sembarangan, emisi gas yang terlalu tinggi, dan banyak hal lainnya. Tidakkah kita ingin memberikan jejak positif pada Bumi yang makin sehat dan nyaman dihuni?
Inilah urgensi sustainable and responsible traveling. Dilansir dari https://thinkconscious.id, Sustainable travel adalah gaya hidup berkelanjutan berupa jalan-jalan ramah lingkungan. Tujuannya menjaga agar pariwisata dapat dipertahankan dalam jangka panjang tanpa merusak lingkungan alam dan budaya. Prinsip sustainable travel ini sekaligus memberikan manfaat ideal untuk lingkungan dan masyarakat yang berada di lokasi wisata, dengan memunculkan semakin banyak peluang pengelolaan sumber daya yang ada. Sehingga tercipta integritas budaya, ekonomi masyarakat, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan.
Di satu sisi, pariwisata adalah sarana super menyenangkan untuk healing dan belajar banyak hal. Akan tetapi, kalau wisatawannya justru memberikan dampak negatif untuk lingkungan, apa kita hanya diam saja? Selain perkara sampah, kegiatan wisata juga menyumbang polusi yang lumayan dahsyat. Diperkirakan bahwa pada tahun 2050, kegiatan wisata akan menyumbang 40 persen emisi karbon di dunia. Sebanyak 72 persen emisi karbon dari pariwisata berasal dari transportasi, 24 persen dari akomodasi, dan sisanya 4 persen dari kegiatan pariwisata. Kondisi ini tentu mengarah kepada masalah lingkungan yang serius dan berujung pada perubahan iklim!
Salah satu cara simpel yang bisa kita lakukan adalah: tidak membawa atau membuang sampah plastik. Seperti yang menimpa kawanan monyet di pantai Bama Situbondo. Apabila tiap pengunjung sadar dan menerapkan sustainable and responsible traveling, maka tidak ada ceritanya monyet itu jadi beringas dan keracunan sampah plastik.
Apa yang Harus Kita Lakukan?Â
Karena itulah, sustainable and responsible traveling harus dimulai dari diri kita sendiri. Kemudian, tularkan semangat ini kepada teman, tetangga, ataupun melalui konten yang kita bagikan di media sosial, blog, atau platform menulis seperti Kompasiana.
Seperti yang sudah saya singgung, prinsip ini kami jalankan, salah satunya setelah menyimak "warning" dari Bapak Nurdin. Maka kami berangkat menuju TN Baluran (termasuk pantai Bama) tanpa membawa tas plastik.
Oh iya, selama ngetrip di Situbondo ini, kami juga memilih untuk tinggal di Baloeran Ecolodge. Ini adalah penginapan yang mengusung konsep ecology (cinta dan peduli lingkungan hidup).Â
Owner dan pengelola ecolodge ini adalah pak Nurdin Razak, international wild-life photographer alias fotografer alam liar skala internasional. Beliau yang "meracuni" kami untuk eksplorasi Taman Nasional Baluran. Menikmati dan menghargai setiap momen, juga berbagi kiat agar bisa meng-capture foto satwa liar secara paripurna. "Kalau mau ketemu hewan liar, upayakan kita berpakaian menyerupai semak-semak. Jangan pakai parfum atau apapun itu, karena hewan liar sangat sensitif dengan aroma," urai Pak Nurdin yang super asyik diajak diskusi soal alam.
Menginap di ecolodge milik warga lokal Situbondo adalah more than just staycation experience! Udara Situbondo emang nggak kalah panas dibandingkan Surabaya, tempat tinggal saya. Namun, dengan penataan ruang plus ornamen batu alam yang tersebar di seluruh ruangan, vibes ecolodge ini sungguh asri dan sangat nyaman. Nggak sumuk blas, padahal tidak ada AC yang terpasang!
Makin takjub lagi, lantaran tidak ada nyamuk yang nyelonong masuk ke kamar! Luar biasa, Ini kombinasi tanaman penghalau serangga plus sirkulasi udara yang demikian terjaga.
Rasa cinta dan kepedulian Pak Nurdin akan wisata alam tak perlu diragukan lagi. Termasuk, bagaimana ia menjalankan ecolodge yang sangat homey ini. Konsep pemberdayaan masyarakat secara ekonomi dijalankan dengan paripurna. Pak Nurdin hanya menyediakan kamar untuk menginap. Sementara, para tamu dipersilakan menikmati sarapan soto ayam lezat, yang dimasak oleh ibu-ibu warga Desa Kendal, Wonorejo, Kec. Banyuputih, Kabupaten Situbondo ini.
"Harus ada multiplier effect untuk pengelolaan wisata yang lebih baik dan sehat. Bagaimana caranya, keberadaan destinasi wisata ataupun tempat akomodasi bisa memberikan dampak positif, salah satunya di bidang ekonomi warga setempat. Ini upaya kami untuk mewujudkan sustainable and responsible travel," urainya.
Membudayakan sustainable and responsible traveling, harus diakui bukan perkara mudah. Karena kita sedang bicara tentang jutaan pelancong, yang datang dari seluruh penjuru bumi. Masing-masing orang datang dengan kebiasaan/habit yang tidak sama. Kalau di rumah biasa buang sampah sembarangan, boleh jadi habit ini terbawa sampai lokasi plesir. Padahal, apapun jejak yang kita tinggalkan di lokasi wisata pastinya berdampak pada lingkungan dan organisme makhluk hidup yang ada di sana.Â
Kalau kita Bangga Berwisata di Indonesia, ya hayuklah tunjukkan kepedulian dan greget untuk melakoni prinsip sustainable and responsible traveling! Mulai dari hal simpel saja, seperti tidak buang sampah sembarangan, juga memilih penginapan milik warga lokal. Hal semacam ini berkontribusi positif untuk pariwisata Di Indonesia Aja yang makin berdaya dan berkelanjutan. Jadi, ayo sama-sama kita tunjukkan Bangga Berwisata di Indonesia! Tentunya dengan menjadi sustainable and responsible traveler!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H