Mohon tunggu...
Nurul Rahmawati
Nurul Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger bukanbocahbiasa.com | IG @bundasidqi | Twitter @nurulrahma

Halo! Saya Ibu dengan anak remaja, sering menulis tentang parenting for teens. Selain itu, sebagai Google Local Guides, saya juga kerap mengulas aneka destinasi dan kuliner maknyus! Utamanya di Surabaya, Jawa Timur. Yuk, main ke blog pribadi saya di www.bukanbocahbiasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Melihat Orang Bahagia

7 Agustus 2019   10:49 Diperbarui: 25 Juni 2021   09:47 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia Melihat Orang Bahagia | Dokpri

Disclaimer: Berikut ini adalah tausiyah Ustadz Heri Latif, Direktur Eksekutif Nurul Hayat Surabaya. Semoga bisa kita jadikan hikmah!

Dalam hubungan dengan orang lain, suasana hati kita tergambarkan dalam empat keadaan. Pertama, ini paling jelek. Yaitu, berbahagia ketika melihat orang lain dalam kesusahan. Ini tingkatan kondisi hati yang paling rendah. Paling parah. Kedua, mereka yang tidak senang melihat orang lain bahagia. 

Tingkatan ini juga jelek. Sama-sama terpapar penyakit dengki. Ketiga, mereka yang sedih melihat orang bersedih. Keempat, mereka yang bergembira melihat orang lain bergembira. Inilah level tertinggi.

Pola "Masak Kalah" Vs Pola "Ikut Bahagia"

Perhatikan dua kalimat ini. Kalimat pertama: "Kamu harus belajar lebih giat lagi agar bisa bersaing dengan teman-temanmu, kalau perlu kamu menjadi yang terbaik diantara mereka." 

Kita sebut saja kalimat di atas dengan kalimat pola "masak kalah".

Baca juga: Ini 3 Tingkatan Orang Bahagia dalam Berbagi

Kalimat kedua: "Kamu harus ikut bersyukur dan senang kalau ada temanmu yang prestasinya lebih baik darimu."

Kita sebut kalimat kedua ini, adalah kalimat dengan pola "ikut bahagia". Yaitu ikut senang dengan kesenangan orang lain. Kalimat yang pertama nampaknya lebih sering dipakai. Yang kedua jarang. Bahkan yang kedua itu agak terdengar basa-basi.

Bagi kita, kalimat seperti yang pertama itu adalah hal biasa. Biasa dipakai untuk memprovokasi diri dan orang lain. Dengan kalimat pola "masak kalah" kita sering menggunakannya untuk memotivasi diri, anak, dan tim kerja kita. Pola "masak kalah" itu memang simpel, lugas, dan memunculkan gairah berkompetisi.

Tapi perlu diketahui. Bahwa kebiasaan itu akan menyusahkan kita manakala hendak serius mengamalkan pesan luhur kenabian. Perhatikan hadits nabi berikut ini. Rasulullah bersabda: "Kalian tidak akan disebut beriman hingga menginginkan untuk saudaranya hal-hal yang dia inginkan untuk dirinya sendiri." (HR Bukhari dan Muslim)

Sudah sering dengar hadits ini bukan? Sejauh mana kita serius merenungkannya? Sampai dibagian mana kita jujur mencocokkan hadits ini dengan perilaku keseharian kita? Dengan lintasan-lintasan hati kita?

Atau kita membacanya dengan sambil lalu. Karena sudah menyerah, mengaku tak sanggup menjalankannya. Bahwa berat kalau kita itu disuruh bahagia terus setiap melihat saudara kita bahagia. Bahwa kalau kita suka punya banyak harta, maka kita harus bahagia kalau orang lain punya harta lebih banyak dari kita. 

Juga soal kedudukan. Kita harus bahagia melihat teman kita dipromosi jabatannya. Juga soal pendidikan. Kita harus bahagia apabila anak teman kita diterima di perguruan tinggi negeri favorit sedang anak kita di perguruan tinggi swasta.

Baca juga: Termasuk Orang Bahagiakah Kita?

Tapi begitulah seharusnya seorang mukmin. Bahagia melihat orang lain mencapai keberhasilannya. Bahagia melihat orang lain bisnisnya tumbuh. Bahagia melihat orang lain memperoleh apa yang diinginkannya. Bahagia melihat mereka bahagia. Meski kita tak memiliki seperti yang mereka miliki.

Ada satu alasan besar mengapa bahagia melihat orang bahagia itu sulit dilakukan. Yaitu disebabkan kita selama ini biasa didorong berkompetisi dan bersaing. Dan jarang dilatih ikut bahagia dengan keberhasilan orang lain. Pola kalimat "masak kalah" lebih banyak mengisi otak kita daripada pola "ikut bahagia".

Padahal sebenarnya, insting berkompetisi tak perlu terlalu diajarkan. Ia sudah menjadi bawaan sejak lahir. Sudah menjadi bawaan manusia, berlomba-lomba ingin menjadi yang terbaik.

Mari berandai-andai. Disebuah reuni sekolah. Kita bertemu dengan teman. Yang dulunya katakanlah bodoh. Miskin. Udik. Lalu di reuni saat ini, ia datang bersama anak istrinya. Rapi dan anggun. Istrinya sangat cantik. Gaun hijabnya berkelas. Anak-anaknya bersih dan lucu. 

Ternyata ia sukses. Jadi bos perusahaan-perusahaan. Sedangkan kita. Yang dulu lebih cerdas di kelas. Sekarang nasibnya rumah masih kontrak. Mobil tak punya. Jujur, bisakah kita tulus ikut bahagia dengan kesuksesan teman kita? atau basa-basi di lisan saja, tapi hati protes kepada Allah 

Kalau kita sepakat bahwa pesan Nabi itu penting. Serius untuk diamalkan. Bahwa tidak dikata iman sampai kita mencintai teman kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Harusnya iman level ini sungguh-sungguh diperjuangkan. Salah satunya, tidak lagi memprovokasi diri, anak, dan tim kita dengan kalimat-kalimat "masak kalah!". Karena ia akan menjauhkan dari standart keimanan yang diinginkan Nabi .

Padahal siapa yang tak ingin memiliki hati mukmin ideal seperti yang digambarkan Nabi . Betapa senangnya, bila setiap melihat orang lain bahagia, kita ikut bahagia. Meluaslah area kebahagiaan kita.

Ini bukan tidak mungkin. Orang-orang beriman merasakan itu. Ketika dunia dilihatnya hal remeh temeh dan senda gurau saja. Ketika akhirat sudah menjadi tujuannya. 

Baca juga: Maukah Menjadi Orang Bahagia?

Maka tak ada beban pada dirinya atas nikmat lebih yang dimiliki oleh orang lain. Tidak ada kesusahan baginya atas apa yang tidak diperolehnya. 

Mereka sangat takut dengan bahaya penyakit hati iri dan dengki. Dimana ia dapat menghapus amal seperti api melalap kayu kering. Karenanya mereka sangat menghindarinya dan mengisi rasa hatinya dengan turut berbahagia ketika melihat orang lain bahagia.

Sedangkan bahagia bagi pribadinya adalah ketika Allah memberikan kemampuan beramal sholeh. Sedihnya adalah ketika ia lalai dari beramal akhirat. 

Mereka telah mencukupkan dirinya dengan itu semua. Allah ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik." (Al-Israa': 19)

Semoga kita termasuk diantara mereka. Wallahu A'lam Bisshowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun