"Waah, banyak amat!"
"Jadi, biasanya saya kerjasama dengan Pak Lurah atau pihak tentara dan Perhutani yang ada di kota itu. Nanti yang mau pijat, kumpul di satu tempat tertentu. Ada yang datang dari daerah Wlingi, Mrican, Ngawi. Satu orang pijatnya nggak lama. Kalau keluhannya ringan, paling 15 menit. Kalau yang sakit agak serius, durasi pijat bisa sampai 1 jam."
***
Walaupun terbilang berasal dari keluarga sederhana, cita-cita Sumirah tidaklah biasa. Sejak kecil, ia sudah menyimpan asa untuk membangun panti asuhan. "Saya terinspirasi oleh orang tua saya, Bapak Atmorejo (alm). Beliau punya jiwa sosial yang amat tinggi, menampung orang sakit, orang gila... intinya Bapak selalu menekankan pada putra-putrinya, kalau dapat rezeki, 50% untuk kita, 50% salurkan untuk membantu orang lain," tutur Sumirah.
"Yang penting kita itu harus gigih dalam bekerja. Punya inisiatif dan semangat tinggi. Kalau di kemudian hari ada tantangan dalam mendidik anak-anak yatim piatu ini, itu urusan kita dengan Allah. Bermohon pada Allah, niscaya bakal ada jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka."
Sumirah pun memutar otak, bagaimana caranya supaya operasional panti tetap berjalan dengan baik.
"Memang beberapa donatur menyedekahkan sejumlah uang untuk keperluan panti, tapi itu sifatnya insidentil. Kami harus mandiri, berusaha untuk mencari rezeki melalui tetesan keringat sendiri," ujarnya.
Berdagang menjadi jawabannya. Sebagaimana sabda Rasul, 9 dari 10 pintu rezeki datangnya dari perniagaan. Maka, Sumirah pun mendidik anak-anak yatim piatu itu untuk menggeluti aktivitas jual beli. Tentu usai jam belajar mereka di sekolah.
"Yang besar-besar sudah saya arahkan untuk berjualan sembako dan sayur. Kami punya stan di Joss Gandoss Rungkut. Kalau yang kecil-kecil, saya ajari untuk membungkus bumbu, dan sembako. Yang nantinya akan dijual kakak-kakak mereka."