Mbah Narto tak berani menjawab. Dia terdiam, kemudian bergumam sambil mengusap air matanya; "Sengsara sekali hidupku..."
Sipir pun pergi meninggalkan ruang penjara.
Selang beberapa saat, Sipir itu menghampiri Mbah Narto dan memberikan sepiring nasi serta sepotong tempe di atasnya.
"Ini, makan dulu!", kata Sipir penjara sedikit membentak, sambil menaruh piring di atas lantai penjara.
Mbah Narto terdiam, dan tak ada nafsu untuk makan nasi yang telah diberikan Sipir.
Mbah Narto memandangi nasi yang ada di piring itu, dan berkata dalam hatinya; "Duh Gusti, gara-gara pingin nyambung hidup, ambil beras untuk makan kok ya jadi masalah seperti ini... Gustiii...ampunilah aku."
Kehidupan Mbah Narto di penjara ia lalui dengan sedih.
Seminggu kemudian, dua orang Sipir membawa seorang  Tahanan baru berompi orange. Seorang paruh baya berbadan tinggi besar dan berkulit bersih.
Dengan lemah, lembut dan sopan, Sipir penjara membawa Tahanan baru itu masuk ke dalam sel bersama Mbah Narto. Dia diikuti seorang perempuan dan seorang polisi.
Di depan sel, mereka berhenti sejenak. Tahanan itu berbisik pada Sipir  beberapa saat, kemudian masuk ke dalam sel yang ditempati Mbah Narto. Entah apa yang ia bisikkan.