Jogja sebagai kota wisata sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Di kalangan travel agent pun Jogja ditempatkan menjadi salah satu paket wisata selain Bali, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara.
Tempat wisata biasanya dikenal dengan keindahan alamnya, kemegahannya, kenyamanannya, keindahan alamnya, keunikannya, maupun keramahan masyarakatnya. Maka Jogja harus mempunyai positioning tersendiri jika mau bersaing dengan kota-kota wisata lain, karena Jogja dikenal pula sebagai kota kreatif.
Suatu tempat bisa menjadi destinasi wisata karena dua hal; pertama, ada yang asli alami (bentukan alam); dan kedua, bisa juga terbentuk karena kreatifitas SDM atau pengelolanya. Seperti Pantai Parangtritis, Gunung Merapi, dan tempat wisata alam lainnya, adalah contoh destinasi wisata karena bentukan alam. Sedangkan Taman Pintar, Desa Wisata, wisata religi, wisata adventure dan lain sebagainya, masuk pada wisata yang ada karena kreatifitas SDM atau pengelolanya.
Munculnya desa-desa atau kampung-kampung wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bentuk kreatifitas warganya. Kita patut apresiasi, karena ini bentuk dari andil masyarakat mewujudkan Jogja sebagai kota wisata yang kreatif. Namun perlu dikritisi bahwa munculnya desa (kampung) tersebut apakah telah memenuhi standar kebutuhan pariwisata atau belum. Sebab jika mendeklarasikan desa atau kampung sebagai tempat wisata secara asal-asalan, akan mendatangkan cibiran para pengunjung wisata itu sendiri, atau bahkan akan menjadi bumerang.
Minimal, sebuah konsep tempat wisata bisa menjawab beberapa hal sebagai berikut; Apakah obyek tersebut bisa menghibur? Apakah obyek tersebut bisa membuat nyaman? Apakah obyek tersebut bisa membuat penasaran pengunjung? Di samping itu apakah secara ekonomi bisa memberi manfaat untuk masyarakat sekitarnya? Dari sisi modal, apakah kita cukup mampu membiayai konsep itu?
Nah, jika konsep wisata bisa memenuhi persoalan-persoalan di atas, tidak menutup kemungkinan konsep tersebut diwujudkan. Di sinilah diperlukan kepekaan para pemangku kebijakan (pemerintah), sehingga jika ada desa (kampung) yang berpotensi menjadi obyek wisata, pemerintah hendaknya menerjunkan tim assesment untuk membuat studi kelayakan, dan sekaligus mendorong dan memberikan fasilitas untuk terwujudnya obyek wisata tersebut.
Promosi Wisata
Promosi konvensional baik media cetak ataupun media elektronik tetap menjadi media yang harus dipakai untuk promosi wisata. Menurut hemat saya, perlu kita cermati perkembangan promosi melalui media sosial.
Di era digital ini, promosi wisata sedemikian mudahnya. Karena dengan fasilitas HP (hand phone) semua orang bisa melakukan promosi tempat wisata. Karena seorang pengunjung tempat wisata yg sedang selfi (self photography), dan kemudian mengunggahnya di media sosial, itu sudah mempunyai efek promosi. Aksi ini bisa menjadi viral informasi yang mempunyai efek publisitas yang cukup signifikan.
Maraknya dunia media sosial yang menghilangkan jarak antar personal bisa menjadi nilai plus untuk dunia wisata. Meski demikian, menurut hemat saya, di era ini perlu ada langkah-langkah yang cukup cerdas untuk merespons perkembangan masyarakat yang demikian pesat. Karena efek yang muncul bisa justru sebaliknya, bukannya positif, tapi malah sebaliknya, alias negatif. Karena dengan media sosial, publik bisa berekspresi sesuai dengan respons-nya terhadap suatu obyek. Jika obyek wisata memuaskan publik, mereka tentu akan merespons positif. Tapi jika kurang atau tidak memuaskan, publik akan merespons sebaliknya (negatif).
Wisata Kreatif
Konsep yang saya kemukakan tentang wisata kreatif adalah upaya secara kreatif untuk menciptakan suatu obyek wisata dan sekaligus menciptakan stimulus daya tarik pengunjung wisata.
Upaya ini bisa berbentuk fisik, bisa pula non-fisik, atau kedua-duanya. Upaya fisik adalah respons kreatif terhadap alam atau suatu tempat untuk dijadikan obyek wisata. Misalnya membangun sebuah tempat bermain anak-anak secara kreatif dan cerdas. Atau mengubah suatu kampung atau desa dengan sentuhan seni-budaya. Bahkan menciptakan program menanam padi di sawah pun, meski belepotan lumpur, bagi orang perkotaan bisa menjadi wisata pedesaan yang sangat menarik.
Sedangkan upaya non-fisik lebih kepada suatu program yang menarik untuk diikuti oleh para wisatawan. Misalnya, wisata religi, di mana program ini berbentuk kegiatan-kegiatan bertemakan religius dengan sentuhan seni-budaya.
Saya yakin, Jogja sebagai gudang para seniman dan budayawan yang sangat kreatif bisa menciptakan wisata dengan pola kreatif seperti ini. Dan ini perlu didukung oleh penentu kebijakan (pemerintah), agar kreatifitas ini bisa lebih kuat dari sisi apapun. Jika ini berjalan dengan baik, Jogja Istimewa di bidang wisata Kreatif menjadi pilihan pola wisata yang sangat menarik bagi masyarakat wisatawan. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H