Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Orang Biasa yang setia pada proses.

👉The all about creative industries world 👈 Producer - Writer - Lecturer - Art worker

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila dan Kemerdekaan Kampus Perguruan Tinggi

22 Juni 2016   22:22 Diperbarui: 22 Juni 2016   22:54 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 
Beberapa hari yang lalu teman saya, seorang alumnus Institut Seni Indonesia Yogyakarta dikagetkan oleh berita dari media tentang sebuah gerakan mahasiswa di kampus tersebut. Dalam status Facebooknya, dia tidak habis fikir, sebuah Lembaga Perguruan Tinggi Seni dijadikan basis penyebaran pengaruh dari salah satu ormas yang menginginkan penerapan sistem khilafah di Indonesia.

Gejala seperti ini sebetulnya sudah terlihat sejak tahun 90-an. Namun munculnya di kampus-kampus non seni. Nah, kemunculannya di kampus seni menjadi hal yang "luar biasa". Karena selama ini kampus seni identik dengan "kebebasan" ekspresinya ada di wilayah
karya seni, bukan gerakan politis fundamental yang bercita-cita mencabut akar fondasi bernegara dan berbangsa.

Lembaga Pendidikan, apapun bentuknya, seharusnya bersih dari misi selain ranah pendidikan. Lembaga yang telah mendeklarasikan dirinya di area pendidikan, harus murni bertujuan meningkatkan pengetahuan anak didiknya, mengembangkan wawasan dan keterampilan siswa/mahasiswanya, dan yang lebih penting adalah membangun basic intelektual.

Munculnya lembaga pendidikan sejak jaman Boedi Oetomo (1908) saya yakin, tidak ada misi yang dominan kecuali "pendidikan". Secara substansial tidak ada muatan-muatan lain.
Kampus Perguruan Tinggi di Indonesia seharusnya menjadi institusi garda depan perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik.

Pembangunan lembaga pendidikan di Indonesia tidak bisa dilepas dari fondasinya, yakni Pancasila. Pancasila adalah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Ia sudah menjadi komitmen besar diantara para pendiri bangsa untuk membangun pilar-pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagaimanapun Pancasila tidak bisa dilepaskan dari Budaya Indonesia. Dia lahir dari rahim kolaborasi pemikiran para tokoh bangsa yang di tengah situasi di mana sebuah 'rumah' bernama Indonesia membutuhkan fondasi agar bisa berdiri dengan kokoh. Maka otomatis dunia pendidikan di Indonesia juga menjadikan Pancasila sebagai fondasi pilar-pilar pendidikan di Indonesia.

Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mahakarya para tokoh bangsa, dan merupakan ideologi politik yang luar biasa.
Karena Pancasila bukan merupakan representasi
mainstream pemikiran dunia tertentu (baik kapitalisme, sosialisme, agama tertentu atau yang lainnya), tetapi sebuah ramuan pemikiran besar para pendiri bangsa Indonesia dan telah menjadi komitmen bersama untuk membentuk NKRI.

Pergulatan intelektual yang panjang dan kompleks, yang menampung pemikiran-pemikiran besar dunia saat itu, menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan "rule of the game" (aturan main) dalam berbangsa dan bernegara. Praktis Pancasila menjadi satu-satunya asas dalam berbangsa dan bernegara. Dengan demikian otomatis Pancasila menjadi fondasi Ketahanan Nasional.

Sebagai ideologi bernegara dan berbangsa, Pancasila acap kali menghadapi hantaman badai ideologi, baik yang berhaluan kiri maupun kanan. Namun, Pancasila tetap kokoh berdiri dan dijunjung tinggi sebagai komitmen besar bangsa Indonesia. Meski demikian, kelengahan kita dapat berujung bencana kebangsaan jika tidak diperhatikan secara serius!

Masih akrab di telinga kita sebuah peringatan "Awas bahaya Laten Komunis!" Peringatan ini yang harus tetap menjadi bentuk kewaspadaan kita untuk anak cucu kita, dan jangan sampai mudah dirasuki faham atau ideologi-ideologi di luar nilai-nilai Pancasila sampai kapanpun! Karena Pancasila bukan hanya simbol-simbol bernegara dan berbangsa, namun lebih dari itu, Pancasila menjadi dasar fundamental yang telah menjadi komitmen para pendiri bangsa Indonesia untuk membangun sebuah bangsa besar. Dan kita tahu bahwa Indonesia adalah negara besar dengan ragam etnis, agama, suku dan budaya.

Seharusnya negara-negara Barat bisa mencontoh Indonesia dalam hal kekuatan yang dibangun dari sebuah kebhinekaan, di mana sebuah bangsa dengan nilai toleransi yang relatif baik.

Pola fikir ini bukan meletakkan Pancasila sebagai sebuah "kitab suci" yang diagung-agungkan, namun cukup dipegang sebagai sebuah komitmen bersama. Karena lahirnya Pancasila tak lepas dari pengorbanan para pendiri bangsa yang notabene beragam agama, golongan, etnis dan suku yang ada di Indonesia saat itu. Secara substansial ada rasa "cinta tanah air Indonesia" dalam komitmen tersebut. Tanpa ada itu, mustahil terbentuk NKRI. Maka, keinginan menggeser Pancasila sebagai dasar bernegara, sama dengan membongkar fondasi bangunan besar bernama Indonesia yang jauh lebih kompleks sekarang dibandingkan dulu waktu berdiri.

Satu hal lagi yang perlu dipegang adalah bahwa kampus perguruan tinggi juga perlu "kebebasan" untuk mempelajari semua pemikiran atau paradigma yang muncul di belahan dunia manapun. Baik yang menjadi mainstream atau hanya pemikiran yang termarginalkan karena "tidak laku". Ini semata-mata atas nama pendidikan karakter bangsa. Bukan untuk menggeser fondasi bernegara dan berbangsa Indonesia. Konteksnya adalah edukasi, yang mana segala mainstream paradigma pemikiran dunia akan diuji kehandalannya mengatasi masalah-masalah yang muncul di arena masyarakat yang sangat kompleks. Bukannya ajang basis gerakan yang akan menggerogoti fondasi dasar bernegara dan berbangsa.

Pemerintah dengan rasa phobia terhadap gambar palu arit yang berlebihan pun sepertinya tidak elok dan terkesan dibuat-buat. Munculnya simbol-simbol itu seharusnya menjadi ranah Badan Inteligent yang harus tahu secara komprehensif dari akar, arah gerakan dan kemauannya. Jangan-jangan hanya lelucon saja? Bisa jadi gambar-gambar itu adalah bentuk respons pihak-pihak yang menganggap respons pemerintah berlebihan terhadap gerakan komunis.

Lihat saja di media sosial, sampai muncul lelucon-lelucon yang sungguh bikin geli. Ada ikan louhan ditangkap polisi gara-gara ada gambarnya palu arit di kepalanya. Inilah yang mesti menjadi koreksi dan interospeksi pemerintah, agar tidak terlalu berlebihan merespons sebuah simbol. Di Indonesia saja menjadi lelucon, apalagi jika dibahas di kalangan akademik internasional. Memalukan!

Sebagai bangsa yang sudah berumur tujuh puluh tahun lebih, bangsa Indonesia patut bangga dengan Pancasila. Karena ini menjadi dasar pola toleransi, kebebasan beragama dan pola kehidupan bernegara yang demokratis. Ini telah menjadi ruang yang cukup leluasa untuk berkembang bagi siapa saja dalam konteks toleransi yang baik. Sehingga terwujud bangsa Indonesia yang besar dan dewasa.

Secara simpel bisa saya simpulkan bahwa Pancasila sampai saat ini masih bisa menjadi pegangan pola bernegara dan berbangsa yang toleran, namun dunia akademik harus tetap murni dalam konteks pendidikan tanpa dijadikan basis gerakan ormas atau politik tertentu. Karena lembaga Pendidikan akan menjadi ruang pergulatan pemikiran yang semua akan teruji secara kritis. Biarkan dunia pendidikan menemukan bentuk-bentuk ideal dengan tetap berpegang pada toleransi dan kebebasan berfikir yang teruji!

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun