Pola fikir ini bukan meletakkan Pancasila sebagai sebuah "kitab suci" yang diagung-agungkan, namun cukup dipegang sebagai sebuah komitmen bersama. Karena lahirnya Pancasila tak lepas dari pengorbanan para pendiri bangsa yang notabene beragam agama, golongan, etnis dan suku yang ada di Indonesia saat itu. Secara substansial ada rasa "cinta tanah air Indonesia" dalam komitmen tersebut. Tanpa ada itu, mustahil terbentuk NKRI. Maka, keinginan menggeser Pancasila sebagai dasar bernegara, sama dengan membongkar fondasi bangunan besar bernama Indonesia yang jauh lebih kompleks sekarang dibandingkan dulu waktu berdiri.
Satu hal lagi yang perlu dipegang adalah bahwa kampus perguruan tinggi juga perlu "kebebasan" untuk mempelajari semua pemikiran atau paradigma yang muncul di belahan dunia manapun. Baik yang menjadi mainstream atau hanya pemikiran yang termarginalkan karena "tidak laku". Ini semata-mata atas nama pendidikan karakter bangsa. Bukan untuk menggeser fondasi bernegara dan berbangsa Indonesia. Konteksnya adalah edukasi, yang mana segala mainstream paradigma pemikiran dunia akan diuji kehandalannya mengatasi masalah-masalah yang muncul di arena masyarakat yang sangat kompleks. Bukannya ajang basis gerakan yang akan menggerogoti fondasi dasar bernegara dan berbangsa.
Pemerintah dengan rasa phobia terhadap gambar palu arit yang berlebihan pun sepertinya tidak elok dan terkesan dibuat-buat. Munculnya simbol-simbol itu seharusnya menjadi ranah Badan Inteligent yang harus tahu secara komprehensif dari akar, arah gerakan dan kemauannya. Jangan-jangan hanya lelucon saja? Bisa jadi gambar-gambar itu adalah bentuk respons pihak-pihak yang menganggap respons pemerintah berlebihan terhadap gerakan komunis.
Lihat saja di media sosial, sampai muncul lelucon-lelucon yang sungguh bikin geli. Ada ikan louhan ditangkap polisi gara-gara ada gambarnya palu arit di kepalanya. Inilah yang mesti menjadi koreksi dan interospeksi pemerintah, agar tidak terlalu berlebihan merespons sebuah simbol. Di Indonesia saja menjadi lelucon, apalagi jika dibahas di kalangan akademik internasional. Memalukan!
Sebagai bangsa yang sudah berumur tujuh puluh tahun lebih, bangsa Indonesia patut bangga dengan Pancasila. Karena ini menjadi dasar pola toleransi, kebebasan beragama dan pola kehidupan bernegara yang demokratis. Ini telah menjadi ruang yang cukup leluasa untuk berkembang bagi siapa saja dalam konteks toleransi yang baik. Sehingga terwujud bangsa Indonesia yang besar dan dewasa.
Secara simpel bisa saya simpulkan bahwa Pancasila sampai saat ini masih bisa menjadi pegangan pola bernegara dan berbangsa yang toleran, namun dunia akademik harus tetap murni dalam konteks pendidikan tanpa dijadikan basis gerakan ormas atau politik tertentu. Karena lembaga Pendidikan akan menjadi ruang pergulatan pemikiran yang semua akan teruji secara kritis. Biarkan dunia pendidikan menemukan bentuk-bentuk ideal dengan tetap berpegang pada toleransi dan kebebasan berfikir yang teruji!
***
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H