Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Trust Is No. 1 (Sharing Pola Kerja Modal Percaya)

27 Desember 2015   23:44 Diperbarui: 28 Desember 2015   11:03 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada pertengahan 2007, setelah gempa Jogja, saya mendapat order kerajinan satu container 20 feet dari Uruguway, Amerika Selatan. Tanpa pernah bertemu dengan buyer, dan hanya komunikasi melalui internet (e-mail), meski dengan negosiasi selama hampir 6 bulan, karena banyak hal yang harus didiskusikan dengan buyer. Warna produk, ukuran, space container, quantity dan tentu, tawar-menawar harga.

Saya pun hanya bermodalkan foto produk, tanpa punya kantor perusahaan, tanpa workshop, apalagi karyawan!. Saya hanya bermodalkan keyakinan untuk meyakinkan buyer saya, bahwa saya bisa dipercaya, serta bermodalkan relasi-relasi bisnis. Uang saya saat itu sekitar Rp. 300.000,- Praktis tak bermodalkan uang. Tapi transaksi itu bisa terjadi dan Alhamulillah lancar. Meskipun buyer sempat tanya ke sana-ke mari mencari tahu siapa saya. Kebetulan yang ditanya adalah teman-teman saya. Tanpa kongkalikong, teman-teman mereferensikan buyer saya untuk tetap melangsungkan transaksi dengan saya. Semua itu kuncinya satu kata ”trust”! Tanpa kepercayaan, semua itu mustahil terjadi.

Lagi tentang ’kepercayaan.’ Pada sebuah pengajian di kampung, seorang kyai pernah bertanya kepada audiens; ”Mengapa penumpang bus itu bisa tidur”? Saat itu semua jawaban audiens salah. Sang kyai menjawab : ”Karena para penumpang itu percaya kepada sopir. Bahwa sopir akan mengemudikan dengan baik dan selamat. Maka para penumpang bisa tidur. Coba tanpa kepercayaan kepada sopir, penumpang akan resah, bahkan takut, serta tak dapat tidur. Kuncinya hanya satu kata ”trust”!

Tentang ’kepercayaan’ dalam bisnis, saya pernah mendapatkan wejangan dari guru saya Prof. Dr. Musa Asy’arie (mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), bahwa dalam bisnis, ”uang bukanlah segala-galanya, meski itu penting. Yang utama adalah ’kepercayaan’. Unsur ’kepercayaan’ inilah yang menjadi fondasi sebuah bisnis, bahkan segala aktifitas pola relasi kita dengan klien, rekan kerja, relasi bisnis atau siapa pun pasti melibatkan unsur kepercayaan. Tanpa kepercayaan, bisnis tidak akan terjadi.

Sekali lagi kisah tentang ’kepercayaan’, dalam sebuah pengajian sekitar tahun 1987, di Masjid tertua di Kudus Jawa Tengah, KH. Thuraihan Al-Bajuri mengatakan bahwa seorang pe-rawi Hadits harus dapat dipercaya. Maka, jika dia mengundang seekor ayam untuk diberi makan dengan menurunkan/melambai-lambaikan tangannya –seakan-akan menggenggam makanan ayam--, tapi ternyata dia tidak memegang jagung/beras/makanan ayam yang lain, maka dia tidak layak untuk menjadi perawi Hadits. Untuk ajaran suci, kasus seperti itu –meski sepertinya sepele—bisa menjadi hal yang sangat menentukan bisa-tidaknya perawi Hadits untuk dipercaya.

Begitu pentingnya unsur ’kepercayaan’, hingga banyak orang yang menempatkan unsur ini menjadi unsur yang sangat krusial. Unsur ini yang menjadi fundamental dari segala urusan. Dalam konteks agama Islam, orang akan masuk agama Islam harus mengucapkan dua kalimat syahadat yang substansinya adalah kepercayaan/iman kepada Tuhan dan Rosulnya.

Berbicara tentang ’kepercayaan’ memang mudah. Tapi merealisasikannya adalah sangat berat. Seperti halnya ketika saya merealisasikan komitmen bisnis, dengan situasi dan kondisi yang berat. Karena faktor bahan baku, pengiriman, regulasi dan lain sebagainya. Itu sungguh menguras enerji. Hanya untuk sebuah ’kepercayaan’ dalam relasi bisnis. Karena jika ini telah terkikis, bahkan hilang, maka resiko yang kita hadapi adalah kita diblack-list, dan klien tak mau lagi berhubungan bisnis dengan kita.

Orang yang mengutamakan ’kepercayaan’, adalah orang yang mempunyai visi bisnis jauh ke depan, berjangka panjang dan berfikiran luas. Sebaliknya orang yang sembarangan mengumbar janji tanpa memberikan komitmen konkrit, adalah sejenis orang yang berfikiran pendek, dangkal dan suka bunuh diri!

Unsur ini (kepercayaan) adalah fondasi segala macam permasalahan hidup. Tidak hanya bisnis di wilayah ekonomi, tetapi relasi sosial juga membutuhkan unsur kepercayaan.

Seniman dengan area ‘kebebasan’ fikir yang kadang terkesan seenaknya sendiri, mestinya bisa memilah dan membedakan dalam pola relasi dengan pihak-pihak lain, apalagi di wilayah bisnis. Seniman profesional seharusnya bisa mengikuti ritme dan aturan main yang ada di dunia bisnis maupun sosial. Sehingga menempatkan unsur ’kepercayaan’ juga di atas, bukan diletakkan di sembarang tempat yang mudah raib.

Menurut saya, pola yang ideal dalam hal pola bisnis adalah profesional dan fairness. Dalam hal dagang, saya sepakat dengan pola Muhammad (Rosulullah SAW), yang mana menerapkan pola fairness. Menjual barang tidak harus menipu dan mengarang cerita! Dengan pola fairness, pelaku bisnis bisa dengan lugas menerapkan dan menginformasikan harga, dan –jika dibutuhkan-- sekaligus HPP (Harga Pokok Produksi/Perolehan) yang ada. Tanpa harus mengarang-ngarang cerita, bahwa barang ini sudah ditawar oleh si Anu sekian! Ini menambah beban hidup dalam skala jangka panjang.

Dengan pola fairness, seorang pebisnis/pedagang terlepas dari beban –psikologi-- dosa, dan sekaligus tidak merugikan pihak klien. Ini penting! Karena selisih rupiah yang mengandung penipuan adalah bahaya bagi tubuh, bahaya bagi keluarga yang memakan profit ’panas’ itu dan berakibat pada kekacauan pola hidup kita. Karena darah ’panas’ yang mengalir di tubuh kita akan membawa kekacauan. Camkan!

Seorang leader dalam bisnis, jika mempertimbangkan unsur ’kepercayaan’, tentu tidak mengatakan hal-hal yang bisa melunturkan kepercayaan. Dia akan menepati janji, menjalankan komitmen hal yang telah menjadi keputusannya. Dan tentu tidak menyakiti hati klien. Termasuk pimpinan produksi dalam dunia seni ataupun seorang sutradara, atau pekerja seni secara umum!

Sebaliknya, seorang pebisnis atau pekerja seni yang mengabaikan unsur ’kepercayaan,’ akan ditinggalkan teman-temannya, kru-kru-nya, dan semua klien-klien-nya. Sehingga jika akan memproduksi lagi, dia butuh teman-teman, kru-kru dan klien-klien yang baru yang mungkin belum kenal siapa dia, atau belum pernah kerjasama dengannya. Tipe pekerja seni semacam ini akan menghabiskan enerji yang tidak perlu untuk mencari orang-orang baru, dibandingkan dengan jika dia memakai orang-orang yang pernah kerjasama dengannya dan yang telah terukur kompetensinya. Otomatis beresiko pada kualitas karya yang akan dihasilkan dengan orang-orang baru.

Secara skala proses, dia akan mundur ke belakang beberapa langkah, meski untuk maju lagi sekian langkah. Jika langkah majunya lebih banyak dari mundurnya, dia akan maju, meski perlahan. Tapi jika sebaliknya, dia mengalami kemunduran dan rugi! Dia akan kesulitan membuat internal benchmarking terhadap keberhasilan prosesnya, karena setiap pekerjaan karya baru dengan SDM (Sumber Daya Manusia) baru pula.

Beda jika dia menggunakan SDM yang pernah bekerjasama dalam karyanya, internal benchmarking akan mengacu pada evaluasi kinerja internalnya. Yang kurang berkompeten di-upgrade, yang parah di bawah standar by dan tak mampu di-upgrade, ya di cut dan ganti yang baru. Lebih simple, dan jelas jangkauan langkah majunya akan lebih panjang dan cepat.

Jika kita menjadi klien atau kru profesional yang bekerjasama dengannya harus ekstra hati-hati! Jangan sampai terperosok ke ’lubang’ –korban penipuan—yang sama. Perlu diingat, bahwa lidah kaum penipu sangat licin! Kalau ini terjadi, yang ada hanya rasa menyesal dan merasa dibodohi. Naif!

Menghadapi pola kerja ’tradisional’ dan ’marginal’ semacam ini perlu strategi profesional, tegas, dan lugas! Pola ini harus dibawa ke ranah pola kerja beretika, lugas, profesional, menghilangkan rasa ewuh pekewuh dan modern. Sales Contract di depan dan jelas serta on the paper, ada hitam di atas putih!. Dalam konteks komunikasi orang Jawa harus ”Cetho”. Artinya pola hubungan relasi bisnis, semua di atur secara jelas, pola kerjasama/kerja, hak dan kewajiban, waktu, tempat, komitmen, kontraprestasi, reward dan punishment, nominal dan payment systemnya!

Pelaku bisnis atau pekerja seni dengan pola ’marginal’ seperti ini akan mengalami kesepian jika ditinggalkan rekan bisnisnya atau klien-kliennya. Dia membutuhkan enerji yang cukup besar untuk memulai pekerjaan barunya. Pekerja seni atau pelaku bisnis semacam ini biasanya sombong, angkuh dan keras kepala. Merasa dirinya paling benar (claim of truth) atas sikap-sikapnya. ’Kepercayaan’ nyaris hilang dalam kamusnya! Memalukan!

Di era teknologi cyber sekarang ini, pertaruhan ’kepercayaan’ terhadap personal maupun institusi sudah demikian riskan. Dalam arti, setiap sikap dan perilaku kita ataupun institusi kita sangat mudah disebarkan melalui media massa atau media sosial. Bisa menjadi berita buruk, atau berita baik. Untung jika kita diberitakan baik, jika sebaliknya, menjadi ’wajib’ bagi kita untuk mengklarifikasinya. Jika tidak, pasti di-black list oleh publik/masyarakat.

Euforia dalam menebarkan informasi telah menjadi bom informasi yang demikian merebak. Bertingkah sedikit yang tak disukai publik, kita atau institusi kita menjadi sorotan masyarakat.

Sebuah perusahaan atau lembaga resmi, jika sudah disorot di media cetak dalam ”Surat Pembaca”, atau di dalam status media sosial, seakan-akan sudah buruk dan pasti segera diklarifikasi. Jika tidak, kesan buruk akan melekat pada kita. Dan resikonya, kita akan kehilangan klien atau customer. Berbahaya!

Ini menjadi baik, karena social controll menjadi senjata efektif untuk ’mengingatkan’ kita ataupun institusi kita dari sikap-sikap yang buruk.

Meski demikian ekspose tentang keburukan seseorang atau institusi mesti mempunyai batas. Batas itu adalah nilai-nilai normatif agama, etika, norma-norma masyarakat, dan jika perlu hukum sebagai penterjemahan dari nilai-nilai etika. Semua itu untuk kesadaran kita bersama.

Semua itu tentang ’kepercayaan’, yang menjadi dasar pola relasi sosial, ekonomi, budaya, dan apa saja. Maka, mengabaikan unsur kepercayaan adalah kecerobohan yang akut! ***

13 Des 2015 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun