Mohon tunggu...
NURUL MARDIATI
NURUL MARDIATI Mohon Tunggu... Dosen, Farmasis -

I'm a pharmacist, lecturer, amateur writer, Helman Rosyadi's Wife, and Mubarak's Mom. My hobby is writing, some day i want to my children and grandchildren know that their grandmother's opinion.Pharmacy and Writing, I Love both of them. Read some my short story, poetry, and opinion at www.sabanailalangliar.blogspot.com\r\nSee you...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Vaksin Palsu dan Apotek Rakyat

28 Juli 2016   08:18 Diperbarui: 28 Juli 2016   08:47 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kasus vaksin palsu yang terkuak oleh penyidik Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, ini merupakan kasus yang luar biasa. Kasus ini merupakan sebuah upaya menghilangkan nyawa suatu generasi.

Dari operasi Polri tersebut, diketahui sindikat itu telah memproduksi vaksin palsu sejak tahun 2003 dengan distribusi ke seluruh Indonesia. Sejumlah vaksin yang dipalsukan adalah vaksin campak, polio, BCG, tetanus dan hepatitis B. Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa banyak sekali masyarakat yang telah menjadi korban dari vaksin palsu tersebut.

Meski demikian, sebagai_mana yang dikutip dari se­buah artikel harian daerah ini, Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan (Dinkes Kalsel) dr H Achmad Rudiansjah MSc., mengaku belum dapat memastikan potensi peredaran vaksin palsu di wilayah Kalsel. Dinas Kesehatan Kalsel hanya menggunakan vaksin dari pemerintah pusat yang diproduksi oleh Bio Farma. Guna memastikan apakah vaksin palsu beredar di Kalsel akan menjadi kewe­nangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sehubungan dengan hal tersebut, menarik untuk mengetahui jalur distribusi obat secara legal. Terkait kasus ini, mata rantai seluruh jaringan distribusinya harus diberantas tuntas hingga ke akar-akarnya. Dalam kasus vaksin palsu diungkapkan distributor utamanya adalah Apotek Rakyat Ibnu Sina, apotek yang menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 284/Menkes/Per/III tentang Apotek Rakyat notabene merupakan wujud transformasi dari pedagang eceran obat (toko obat) yang dilegalisasi menjadi apotek.

Apotek Rakyat adalah sebuah sarana pelayanan kefarmasian, tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh apoteker yang semula dalam pengaturannya diniatkan secara luhur dalam rangka meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat dan untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian.

Dalam perkembangannya, Apotek Rakyat perlahan-lahan menjelma menjadi salah satu mata rantai kelabu distribusi obat yang menjadi pemasok obat ilegal, obat palsu, obat kedaluwarsa, bahkan obat rusak. Ironisnya meski dalam regulasinya Apotek Rakyat juga diwajibkan memiliki penanggung jawab seorang apoteker, celah terjadinya kasus ini diakui mau tidak mau salah satunya juga akibat ketidakhadiran apoteker di apotek.

Padahal melalui praktik apoteker yang bertanggung jawab, pada akhirnya juga merupakan upaya pengawasan dalam pendistribusian obat-obatan. Ikatan Apoteker Indonesia sebagai organisasi yang membawahi para apoteker, dalam hal ini harus mampu mendisiplinkan anggotanya.

Terlebih setelah kasus ini terkuak, regulasi Apotek Rakyat yang termuat dalam Permenkes dan disahkan di era Menteri Kesehatan Dr dr Siti Fadilah Supari SpJP (K) sebaiknya dikaji ulang.

Berdasarkan kasus ini, lagi-lagi Apotek Rakyat perlahan-lahan menjelma menjadi sumber distorsi peredaran obat secara ilegal termasuk vaksin palsu.

Sinergi Dinkes-BPOM

Kasus vaksin palsu ini hendaknya menjadi pembelajaran yang mahal bagi BPOM. BPOM yang selama ini terkesan terlalu fokus pada pengawasan industri farmasi resmi, sebaiknya juga berfokus pada upaya-upaya mengintensifkan pengawasan dan penindakan pro justisia jaringan produksi dan distribusi ilegal termasuk dalam hal ini BPOM juga secara perlu empowerment melakukan pengawasan apotek dan toko obat.

Sayangnya sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, kewenangan BPOM seolah-olah diamputasi karena diserahkan oleh Kementerian Kesehatan kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 9 disebutkan, “Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini –- Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek -- dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsi masing-masing”.

Terkait dengan hal ini, ada celah besar yang luput dari pengawasan dalam mata rantai peredaran obat di Indonesia yang oleh Kemenkes telah dilimpahkan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Kasus vaksin palsu ini hendaknya menjadi pembelajaran seluruh pihak yang terkait guna segera melakukan pembenahan. Pengawasan pasokan obat ke rumah sakit selama ini, nyatanya memang kurang efektif.

BPOM hampir-hampir tidak pernah atau jarang sekali melakukan pemeriksaan/audit baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Selama ini ada semacam asumsi bahwa rumah sakit adalah wilayah teritorial Kemenkes yang tidak dapat dimasuki oleh BPOM. Padahal obat yg dipasok ke rumah sakit sebagian besar adalah obat life saving.

Dari kasus vaksin ini, ada temuan rumah sakit dan klinik yang mendapatkan obat dari sumber-sumber tidak resmi. Penyebabnya bisa karena dua hal, pertama, rumah sakit dan klinik tergoda untuk membeli karena harganya sangat murah, bahkan ada diskon under table yang besar. Kedua, stok di pasaran kosong. Dalam praktiknya, bahkan juga tidak menutup kemungkinan klinik maupun praktik dokter menyuplai obat-obatnya dari pasar yang notabene merupakan salah satu praktik peredaran ilegal obat (termasuk pasar panel dan pasar gelap).

Sementara itu Direktorat Jenderal yang mengurusi rumah sakit di Kemenkes tidak memiliki sistem dan infrastruktur yang memadai dalam mendeteksi dan mengawasi obat-obat yang dipasok di rumah sakit. Kini saatnya Kemenkes mendayagunakan BPOM untuk lebih agresif dan intensif melakukan pengawasan obat dan alat kesehatan di rumah sakit dan klinik-klinik di seluruh Indonesia.

Saatnya jangan ada ego sektoral antara Kementerian Kesehatan dan BPOM. Saatnya jangan ada dikotomi yang justru menciptakan sekat-sekat yang pada akhirnya hanya akan mempersulit kerja sama. Saatnya melakukan kolaborasi dalam upayanya melindungi masyarakat luas. (*)

 *Dimuat di Tribun Forum Banjarmasin Post Edisi Rabu 29 Juni 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun