Selama ini kita terlalu menjiwai kalimat "anak durhaka", "anak kurang ajar", "anak tidak tahu terimakasih", dsb. Intinya ucapan yang meletakkan anak pada posisi pelaku ditengah cekcok antar orangtua dan anak. Sampai kita sering lupa, ada gak sih kalimat "orangtua durhaka", "orangtua kurang ajar", dll. Kenapa selalu anak yang salah dan orangtua yang selalu dibenarkan?
Memang keterlaluan sih kalau kita menyebut "orangtua durhaka", tapi kalau boleh dimaknakan secara luas orangtua juga bisa loh dikatakan berdosa ke anaknya.
Egosentris orangtua kerap kali memposisikan orangtua sebagai pihak yang selalu benar dan paling mengerti yang terbaik untuk putra putrinya. Bukan tanpa dasar, pengalaman hidup selalu dijadikan alasan setiap nasihat orangtua. Tak sedikit orangtua yang malah marah ketika mendapat kritik dari anaknya, dan langsung menjudge "anak durhaka, tau apa kamu tentang hidup?", begitulah kira kira.
Ayah bunda, sini yuk belajar bagaimana agar tidak menjadi orangtua yang toxic, kaku, memaksakan kehendak, selalu ingin dipuji, dst.
Banyak loh anak yang mengalami trauma innerchild karena masa kecil yang merasa terkekang atau dibatasi ruang geraknya. Orang dewasa yang tumbuh dengan trauma innerchild inilah yang identic dengan sebutan generasi sandwich. Dimana mereka punya 2 pilihan, antara melanjutkan cara pendidikan orangtua mereka dan meneruskan rantai generasi innerchild selanjutnya atau sebaliknya, memilih untuk memutus pola asuh toxic parents.
Keduanya pilihan yang tidak mudah, semua kembali ke diri sendiri. Maka dari itu, perlunya kematangan usia sebelum menikah sangat ditekankan karena faktor kedewasaan dalam pemikiran dan menentukan jalan hidup. Kalau kamu ingin terbebas dari jeratan toxic parents, lakukan ini :
1. Dengarkan Anak Lebih Banyak.
Mayoritas orangtua punya ego yg besar untuk mau mendengarkan anaknya, orangtua selalu merasa bisa memutuskan yang terbaik tanpa bertanya kepada anak. Karena aku juga orangtua, jadi aku paham bagaimana rasa gengsi ketika mulai mendengarkan anak. Perlu digaris bawahi "Anak yang merasakan, jadi anak yang lebih tau apakah hal yang dia lakukan itu menyenangkan atau tidak". Kita hanya bisa mengarahkan. Oiya sebagai orangtua kita jg masih bisa melakukan kesalahan loh, tidak serta merta menjadi dewa yang luput dari kesalahan. Jadi, kalau nanti anak berkomentar atau memberi "nasihat" tetetp di dengar ya ayah dan bunda.
2. Amati Setiap Perilaku dan Analisis Ucapan Anak.
Tidak ada perubahan yang terjadi tiba-tiba, semua pasti ada proses awalnya, hanya saja kita sering abai dan lalai. Terutama untuk working parents penting ya untuk selalu memantau tumbuh kembang anak. Apalagi anak-anak sangat mudah untuk meniru apa yang ada disekitarnya, masih cenderung sulit membedakan mana yang baik dan buruk untuk ditiru. Jadi, sebagai orangtua memilik tanggungjawab untuk memberikan dan memastikan lingkungan yang baik bagi anak. Jika ada ditemukan perilaku atau ucapan yang salah, jangan langsung dimarahi dan dibentak ya!.Â
Kita memiliki opsi untuk berkomunikasi dengan anak, dan mencari tahu darimana ia mempelajari itu semua, baru deh kita bisa beri pemahaman kea nak bahwa apa yang ia lakukan/ucapkan itu salah. Jadi anak mengerti letak kesalahan dan mendapat pelajaran untuk kedepan tidak mengulangi hal yang serupa. Ingat rumus : "Semakin dilarang, semakin dikerjakan", maka yang terbaik itu larangan harus disertai dengan penjelasan yang mudah dipahami anak.
3. Terima Kekurangan Anak dengan Bijak.
Masih banyak banget ketemu orangtua yang membanding-bandingkan progress tumbuh kembang anaknya dengan anak yang lain. Anak anak juga manusia seperti kita, jadi wajar kalau banyak kekurangannya. Dengan segudang kekurangan yang nampak di mata kita, bukan berarti anak tidak memiliki kelebihan loh. Coba deh ayah bunda menerima dulu segala kekurangan anak, maka akan terlihat banyak potensi lain yang tersembunyi, itu lah yang harus kita gali, sekaligus tugas besar kita sebagai orangtua.
4. Normalisasi Emosional Anak.
Anak adalah manusia sama halnya dengan kita, hanya berbeda umur saja. Kalau orang dewasa boleh melampiaskan emosinya, kenapa anak-anak tidak boleh?. Kalau nanti orangtua menemukan anaknya dalam emosi yang tidak baik seperti tantrum, atau marah dengan diam seribu Bahasa, coba berikan ia waktu utnuk memproses emosinya dulu ya aybun. Usia anak adalah usia eksplorasi, jadi yang harus kita lakukan bukan menekan emosi anak, tapi mengajarkan mana emosi yang baik dan mana emosi yang buruk.Â
Tentunya setelah posisi anak tenang ya. Intinya adalah komunikasi, apapun yang dirasakan oleh anak harus dipahami oleh orangtua sehingga lebih mudah untuk memberikn pemahaman bagaimana cara anak bersikap kedepannya. Jangan dibiarkan, jangan juga ditekan emosinya.
5. Tidak Memaksa Anak untuk Balas Budi.
Siapa yang membawa anak ke dunia?. Yaps, betul. Rangtua lah yang memutuskan untuk melahirkan anak ke dunia. Jadi siapakah yang memiliki kewajiban untuk memastikan kehidupan seorang anak itu nyaman?, tentu jawabannya juga orangtua dong ya. Kalau aku menggunakan konsep ini : "Setiap orangtua harus bertanggungjawab kepada anaknya, dan anak akan bertanggungjawab kepada anaknya nanti". Jadi tidak akan ada yang namanya generasi sandwich.
Tugas orangtua sejak kelahiran anaknya adalah memastikan bahwa kedepan anaknya bisa menjadi orangtua yang baik dan bertanggungjawab pula kepada anak-anaknya. Sesuai Bahasa turun temurun, jadi menyiapkan kehidupan yang aman dan layak bagi anak adalah wajib, dan itu harus dilakukan turun temurun. Antara kehidupan orangtua dan anak tidak berlaku rumus rantai kehidupan yang akan berputar kembali keatas, dan tidak berlaku juga rumus symbiosis untuk saling menguntungkan dalam hal materi, tapi menggunakan rumus turun temurun. Mencetak anak dengan kepribadian baik dan matang secara social untuk generasi yang lebih mapan dan maju kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H