Mohon tunggu...
Nurul Mahmudah
Nurul Mahmudah Mohon Tunggu... Guru - Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Si sanguinis yang sering dibilang absurd. Aku tukang rebahan yang berharap bisa memberikan perubahan untuk Negara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Mental Korban Pemaksaan Perkawinan

16 Januari 2023   12:30 Diperbarui: 16 Januari 2023   13:08 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mubadalah.id

Jiwa terguncang dengan beribu tanya tentang siapa pemilik tubuhnya sendiri.

Diberi hak hidup, tanpa kebebasan untuk menentukan pilihan hidup.

Raganya berjalan, matanya terbuka, telinganya mendengar banyak hal, tapi mulutnya kerap terbungkam. Berisiknya dikepala, air matanya di lubuk hati, dan senyum simpul serta sorot matanya adalah bukti batin yang tak baik baik saja.

Kasus pemaksaan perkawinan masih menjadi isu yang sangat ingin saya selesaikan, melihat tingginya angka pemaksaan perkawinan (selanjutnya saya singkat PK) berdasarkan pertanyaan kejujuran korban. Tidak ada data yang bisa konkrit menunjukkan jumlah tindak PK ini, angkanya hanya bertambah seiring terjadinya kekerasan seksual, gugatan cerai, dan banyak hal lainnya.

Ada ungkapan, "olo tresno jalaran soko kulino". Ungkapan ini saya suka untuk hal-hal yang sifatnya positif untuk membangun semangat diri, tapi ungkapan ini sangat mengganggu jika digunakan dalih untuk menenangkan para korban PK. Ada hal yang sering tidak ditilik oleh kita semua, yang bahkan korban PK sendiri pun mungkin tidak menyadari.

Buntut panjang PK bukanlah main-main. Berawal dari pemaksaan perkawinan, hingga terjadi marital rape, kdrt, kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, kehamilan abnormal, perceraian, penelantaran anak, dan masih banyak lagi. Ketika ini semua terjadi, siapa yang akan bertanggungjawab?. Siapa yang akan disalahkan ketika senyum ceria seseorang tiba-tiba terenggut dan hilang karena ketidakbahagiaan dalam kehidupan perkawinan?.

PK kerap terjadi pada kasus perjodohan, tradisi keluarga (pernikahan anak), hamil diluar nikah, korban pemerkosaan. Ini yang paling sering saya dengar. Juga terkait isu PK ini, tidak hanya berlaku untuk anak-anak, tapi juga pemaksaan perkawinan kepada orang dewasa, entah itu oleh tekanan orangtua, sosial, maupun budaya.

Untuk kasus korban pemerkosaan yang lalu dipaksa dinikahkan antara korban dan pelaku ..... MasyaAllah, tidak habis pikir tentang bagaiman pengambilan keputusan ini bisa disetujui oleh beberapa kepala. 

Membayangkan kondisi korban karena perkosaan saja sudah menyayat hati, apalagi harus dinikahkan dan dipaksa hidup berdampingan bersama pelakunya. Kisah ini justru memenangkan pelaku pada pihak yang tidak bersalah, dan tidak memberikan efek jera. Jika kita berharap ini MUNGKIN menjadi hukuman bagi si pelaku agar dia jera karena harus menafkahi dan merawat istri dan anak hasil pemerkosaan, maka aku katakan "Imajinasi Kalian Terlalu Tinggi".

Apa yang bisa diharapkan dari seorang pelaku kekerasan seksual? Kesadaran? Empati kepada korban? Taubat menjadi lebih baik? Bertanggungjawab pada korban?. Alih alih menyelamatkan korban, kita justru memasukkan korban kedalam jurang kehancuran hanya karena harapan dibalik kata "mungkin".

Belum lagi terkait isu hamil diluar nikah, biasanya karena mereka terjebak romantisme perkawinan. Kasus ini kerap disebut dengan "kehamilan tidak diinginkan". Bagaimana mungkin ada kehamilan tidak diinginkan dalam sebuah hubungan asmara?. Dalam hal ini, saya tidak bisa mengatakan mana pihak pelaku dan mana pihak korban, karena keduanya samar. Memang apa yang diharapkan dari sebuah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan selain kehamilan?.

Cerita ini harusnya cukup untuk menyadarkan kita, mewaraskan nalar kita bahwa sex education teramat penting diajarkan sejak dini untuk menghindari hal-hal

seperti ini. Menikahkan keduanya juga bukanlah solusi terbaik melihat banyaknya perceraian yang juga terjadi karena kasus ini. Terjadi juga beberapa diantaranya penelantaran anak dan kdrt di dalamnya, karena ketidaksiapan secara mental dan fisik untuk menjalin rumah tangga.

Perkawinan tidak semudah hanya memberikan status sah sebagai suami istri, melainkan ada kehidupan selanjutnya yang lebih panjang untuk diperjuangkan bersama pasangan. Ini adalah sebuah tindakan yang memerlukan kesadaran, kedewasaan, kematangan secara mental dan fisik dari kedua belah pihak yang akan menjalin rumah tangga. 

Harusnya sebagai orang yang lebih dewasa dan memahami lika liku kehidupan perkawinan kita bisa memberi arahan terbaik bukan malah menjebloskan mereka kedalam sebuah ikatan yang mereka sendiri tidak begitu memahami bagaimana cara menjalankannya.

Saya tidak "muluk" berharap tulisan ini mampu mendewasakan pemikiran kita semua atau bahkan bisa merubah regulasi terkait pemaksaan perkawinan. Yang saya harapkan adalah adanya keberanian dalam diri saya dan pembaca (semoga) dalam membantu melakukan pengawaln pada kasus PK. Baik saat pencegahan maupun perlindungan dan pemulihan korban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun