Mohon tunggu...
Nurul Mahmudah
Nurul Mahmudah Mohon Tunggu... Guru - Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Si sanguinis yang sering dibilang absurd. Aku tukang rebahan yang berharap bisa memberikan perubahan untuk Negara.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia Tanpa Kampung Halaman

5 Oktober 2020   12:35 Diperbarui: 5 Oktober 2020   12:39 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pemuda, millenial, dan sukses. Berdikari dengan usahanya sendiri, sudah tentu menjadi sebuah angan-angan. Sayangnya, tak banyak yang mau memperjuangkan setiap angannya."

Menjadi millennial sukses di Indonesia saya rasa bukanlah hal yang mudah, mengingat stigma yang masih mengakar di masyarakat bahwa "hanya yang terlahir dari keluarga kaya raya yang berhak atas akses pendidikan dan layak untuk kata sukses". Jujur, saya benci dengan hal ini, namun nyatanya saya hidup dikelilingi lingkaran pemuja stigma ini. Stigma ini seolah menggambarkan bahwa perjuangan atas hidup kita tidaklah penting.

Lalu bagaimana millennial nusantara memaknai sebuah perjuangan?

Berjuang menepis stigma ini, dan membuktikan bahwa kunci dari kesuksesan dari segala hal adalah "kerja keras". Mengesampingkan petuah ibunda yang pernah berpesan "Nak, tahu dirilah. Kita ini siapa, kita ini berbeda dari mereka, kita ini kaum tak mampu. Jangan bermimpi terlalu tinggi, nanti kalo jatuh itu sakit,". Lihat, betapa sedari kecil kita sudah diajak mengkerdilkan kemampuan, ditanamkan rasa takut akan sebuah kegagalan dalam berproses.

Manusia memang tidak diberikan pilihan untuk menentukan darimana ia dilahirkan. Status sosial bahkan kecukupan financial, semuanya adalah manifestasi dari Rahmat sang Kuasa. Tapi, bukankah manusia dilebihkan atas beberapa hal dari makhluk yang lain? Yang dengannya manusia bisa mengusahakan apa yang ia cita-citakan.

Seiring berjalannya usia, akal mulai berkelana. Mencari jawaban dari pertanyaan sosial yang katanya kita  sudah tidak bisa lagi membebani orang tua. Bermodal skill seadanya, keyakinan dan pengalaman hidup dari lingkungan, akhirnya dengan tegas kami memantapkan kaki melangkah pergi dari kampung halaman.

Iya, meninggalkan kampung halaman hanya demi tujuan kesejahteraan yang di impikan.

Ibukota, tentu saja itu jawabannya. Memberanikan diri hidup ditengah ibukota yang konon cerita dari masyarakat sangat keras dan tidaklah mudah. Dan benar saja, hidup bermukim ditempat asing bak tinggal dihutan. Memang ramai turunan adam, tapi rasanya sangat sunyi di dalam diri ini. 

Jangankan berharap dilayani kebutuhan pangan seperti dirumah, yang ada kami berburu tiada henti demi tetap bisa menambah panjang usia nafas kami.

Hari demi hari dilalui dengan berfikir bagaimana kebutuhan bisa terpenuhi, belum lagi memikirkan harus bagaimana agar kami bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga di kampung halaman. 

Secara, hidup jauh dari kampung halaman, gengsi rasanya jika tak bisa menunjukkan yang terbaik didepan para Carlota dengan mata yang siap mengintai dan bibir yang siap mencela setiap langkah kita. Begitu berat rasanya hidup tanpa kampung halaman.

Sampai saat dimana tempat menguras keringat serasa menjadi surga baru yang mampu menjadi tangga-tangga setiap angan masa kecil. Yang katanya dulu manusia seperti kami ini tak akan mampu menaiki tangga itu. Ambisi demi ambisi berjuang mendobrak mindset soal nasib.

Setiap tangga yang harus dilewati tak lepas dari incaran mata dan telinga kaum Carlota yang jauh disana. Meskipun puluhan mil jarak ibukota dari kampung halaman tapi setiap detik kami merasa diincar oleh mereka. Lagi dan lagi setiap hal yang kami lakukan selalu dimarjinalkan sebagai hal yang tak pantas oleh mereka. Setiap detik, menit, dan jam kita dituntut untuk berperilaku menyenangkan orang lain, huft.

Siapa yang tak ingin membahagiakan orang tuanya? Siapa pula yang tak ingin kehidupan orang tuanya lebih sejahtera?

Mimpi ini seringkali menjadi motivasi penguat diri seorang perantauan seperti kami dalam menjalani kesehariannya. Tak lagi banyak memikirkan kesehatan maupun kesanggupan, yang terpenting adalah bagaimana menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sekalipun harus dengan melakukan pekerjaan ekstra dan anomaly.

"Move, keluar dari zona nyaman,".
Kalimat itu juga yang sering kami jadikan untuk menyemangati diri dikala malas, mager melanda. Hidup dengan mengandalkan diri sendiri dan bertumpu pada kaki kami sendiri.

Sampai titik ini saya menjadi semakin sadar bahwa semakin kita tinggi berhasil menaiki anak tangga, semakin kencang pula angin yang akan menerpa. Inilah nilai penting mengapa kita harus mengusahakan kesuksesan kita seorang diri, karena pondasi yang kita bangun dari bawah inilah yang akan menentukan seberapa kuat kita melanjutkan perjalanan dan seberapa mampu kita bertahan diatas tanpa merasa rapuh tertiup angin yang hanya sepintas menghampiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun