Sampai saat dimana tempat menguras keringat serasa menjadi surga baru yang mampu menjadi tangga-tangga setiap angan masa kecil. Yang katanya dulu manusia seperti kami ini tak akan mampu menaiki tangga itu. Ambisi demi ambisi berjuang mendobrak mindset soal nasib.
Setiap tangga yang harus dilewati tak lepas dari incaran mata dan telinga kaum Carlota yang jauh disana. Meskipun puluhan mil jarak ibukota dari kampung halaman tapi setiap detik kami merasa diincar oleh mereka. Lagi dan lagi setiap hal yang kami lakukan selalu dimarjinalkan sebagai hal yang tak pantas oleh mereka. Setiap detik, menit, dan jam kita dituntut untuk berperilaku menyenangkan orang lain, huft.
Siapa yang tak ingin membahagiakan orang tuanya? Siapa pula yang tak ingin kehidupan orang tuanya lebih sejahtera?
Mimpi ini seringkali menjadi motivasi penguat diri seorang perantauan seperti kami dalam menjalani kesehariannya. Tak lagi banyak memikirkan kesehatan maupun kesanggupan, yang terpenting adalah bagaimana menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sekalipun harus dengan melakukan pekerjaan ekstra dan anomaly.
"Move, keluar dari zona nyaman,".
Kalimat itu juga yang sering kami jadikan untuk menyemangati diri dikala malas, mager melanda. Hidup dengan mengandalkan diri sendiri dan bertumpu pada kaki kami sendiri.
Sampai titik ini saya menjadi semakin sadar bahwa semakin kita tinggi berhasil menaiki anak tangga, semakin kencang pula angin yang akan menerpa. Inilah nilai penting mengapa kita harus mengusahakan kesuksesan kita seorang diri, karena pondasi yang kita bangun dari bawah inilah yang akan menentukan seberapa kuat kita melanjutkan perjalanan dan seberapa mampu kita bertahan diatas tanpa merasa rapuh tertiup angin yang hanya sepintas menghampiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H