Waktu sehari memang jauh dari cukup untuk menguliti apa yang telah dilakukan sebuah perusahaan tambang berikut dampak yang dihasilkan dari proses penggalian material dari perut bumi. Apalagi, perusahaan tersebut telah beroperasi puluhan tahun seperti keberadaan PT Freeport Indonesia (PTFI) di tanah Papua.
Namun, kunjungan saya mengelilingi areal tambang yang tidak lebih dari delapan jam di Kabupaten Mimika, Kota Timika, Papua tempat PTFI melakukan kegiatan operasional layak untuk diketahui. Bukan bermaksud untuk membela apalagi menilai PTFI yang selalu dirundung citra negatif tiap kali membincang perusahaan tambang yang satu ini. Hal tersebut pun sudah dipahami betul oleh jajaran mereka. Membuka komunikasi dengan masyarakat melalui tranparansi segala kegiatan adalah upaya yang tengah ditempuh sembari memberikan pemahaman yang sebenar-benarnya.
Salah satunya adalah kunjungan ke kawasan bawah penambangan PTFI pada hari Jumat, 17 Juni 2016, kemarin. Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah tempat pengendapan limbah tambang atau dikenal dengan tailing yang berbentuk pasir sisa dari hasil pengolahan batuan bijih di pabrik pengolahan.
Sejak 1995 PTFI memiliki lokasi pengendapan tailing berizin dengan luas kawasan mencapai 100 hektar dari total 23 ribu hektar lokasi yang akan dialihgunakan sebagai kawasan percontohan untuk reklamasi lingkungan dan pemantauan keanekaragaman hayati. Di atas endapan yang memiliki kedalaman lebih dari 6 meter ini, dimanfaatkan PTFI untuk kawasan perkebunan dan konservasi alam liar serta pertanian.
"Saat ini kami memiliki 100 hektar lokasi pengendapan tailing yang sudah mendapatkan izin pemerintah dari total 23 ribu hektar yang akan menjadi kawasan reklamasi setelah kegiatan penambangan selesai," kata PTFI General Superintendent Lowland Reclamation and Biodiversity Environmental Robert Sarwom di Mimika, Jumat (17/6) siang.
Beragam jenis pepohonan endemik Timika seperti Kayu Besi dan Bintangur atau Nyamplung yang bisa dimanfaatkan untuk biodiesel adalah satu dari sekian banyak pohon yang ditanam di atas endapan tailing. Di samping itu, terdapat pula berbagai tanaman buah seperti buah naga, buah merah, nanas, dan jenis tanaman buah lainnya yang tumbuh di atas endapan tailing.
Pepohonan dan tanaman tersebut tumbuh normal dan subur meski ditanam di atas endapan limbah yang tidak bernilai ekonomi. Meskipun agar menjadikan pepohonan atau tanaman tersebut tumbuh dengan layak, diperlukan kompos sebagai 'jaket' yang menyelimuti bagian akar sebelum ditanam.
"Kompos yang kami gunakan juga berasal dari tanaman eceng gondok hasil proses reklamasi yang difermentasi selama tiga bulan," ujar Roberth Sarwom.
Tidak hanya tumbuhan, di lokasi reklamasi ini PTFI juga melakukan rehabilitasi beberapa hewan endemik yang terancam habitatnya dengan membuat suatu penangkaran. Masyarakat di sekitar situs pun dibina dengan dukungan pemberian bibit ikan beserta kerambanya untuk dikembangbiakkan yang nantinya akan dijual dan dikonsumsi dalam memenuhi kebutuhan pangan karyawan PTFI.
Hasil kebun dan pertanian di lokasi endapan tailing tidak asal langsung dikonsumsi begitu saja. PTFI rutin memberikan sampel kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk diteliti kembali sehingga layak dikonsumsi. Meski sebelumnya telah melalui uji laboratorium internasional.
Untuk melakukan kegiatan di lokasi ini, PTFI memiliki 48 kontraktor yang berasal dari 7 suku di Timika. Suku Kamoro dan Amungme menjadi dua suku utama yang mendapatkan porsi terbanyak. Selebihnya diisi oleh suku Dani, Duga, Damal, Ekari dan Moni.
Balai Pelatihan Kerja Anak Papua
Di Kabupaten Mimika terdapat sedikitnya tujuh suku. Ketujuh suku itulah yang mendapatkan akses prioritas dalam pendidikan dan pelatihan kerja yang dikelola PTFI. Tiap suku mendapat porsi yang berbeda terutama kepada suku Kamoro dan Amungme yang memegang hak ulayat atau hak penuh atas wilayah.
"Pembagian porsi tersebut dibagi dengan presentase 90 persen penduduk lokal; 45 persen suku lokal dan 45 persen suku kekerabatan serta 10 persen lainnya untuk penduduk di luar tujuh suku tadi," kata Susan Kambuayah, Superintendent Trainingship and Support Institut Pertambangan Nemangkawi.
Institut ini tidak hanya memberikan materi pembelajaran di dalam kelas tapi dilengkapi juga dengan fasilitas simulator kendaraan alat berat dan yang paling baru adalah adanya rangkaian rel lengkap dengan kereta yang akan digunakan sebagai alat angkut logistik ke areal penambangan. Dengan begitu, akademisi di institut ini dapat langsung melakukan praktik di area simulasi sebelum terjun ke lapangan.
Di tempat yang sama, Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama menjelaskan bahwa berdirinya institut ini merupakan bagian dari komitmen perusahaan kepada masyarakat lokal, selain program pembinaan lainnya.
Membangun Mimika dengan Prestasi
Komitmen perusahaan kepada Papua untuk meningkatkan aktivitas masyarakat dari sisi olahraga, PTFI bersama pemerintah daerah khususnya Kabupaten Mimika membangun perkomplekan olahraga modern yang berdiri tidak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Mimika.
Hal tersebut diungkapkan Riza Pratama yang ikut memandu rombongan media dari Jakarta selama di Kabupaten Mimika, Kota Timika, Papua.
Perkomplekan olahraga yang diberi nama Mimika Sport Complex (MMC) ini dibangun di atas tanah seluas 25 hektar dengan pembagian jatah pembangunan; PTFI 12,5 Hektar dan Pemda 12,5 hektar.
"Rencana awal sekitar 25 hektar. Freeport 12,5 hektar dan Pemda 12,5 hektar tapi yang pemda belum dibangun," kata Riza Pratama.
Riza pun berharap tempat ini dapat dipergunakan dan dirawat dengan baik serta menjadi fasilitas publik yang bermanfaat.
"Jadi kita ingin memajukan masyarakat Papua, terutama yang ada di sekitar tambang, tapi secara umum untuk seluruh Papua. Agar masyarakat Papua bisa berkompetisi dengan masyarakat di luar Papua," ujarnya.
Di seberang MSC, terdapat sebuah rumah sakit besar yang sejak tahun 1999 melayani sepenuh hati masyarakat Mimika dan sekitarnya. RS Mitra Masyarakat Kota Timika yang menempati lahan 15 hektar ini terletak di antara Kota Timika dan Kuala Kencana.
RSMM memberikan pelayanan tanpa biaya alias gratis kepada tujuh suku asli di Kabupaten Mimika seperti prioritas pada layanan lain yang sejak awal diceritakan.
Saat ini RSMM memiliki 134 tempat tidur dan dengan jumlah tenaga medis dan non medis lebih dari 400 orang. Bahkan RSMM memiliki pusat penelitian malaria yang teletak di halaman belakang rumah sakit. Bagi PTFI, rumah sakit ini adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terbesar yang pernah dilakukan.
Meski sudah melakukan banyak hal di tanah Papua, PTFI tak mengelak bahwa banyak tantangan berat yang harus dihadapi.
"Kadang tantangan kita adalah opini yang tidak berdasarkan fakta. Kita hanya memberikan ini lho Frepoort, kita tidak hanya menambang tapi juga melakukan community development. Kita sekarang fokus tidak hanya untuk masyarakat Papua tapi secara umum untuk masyarakat Indonesia," harap Riza.
Dari sederet bentuk kegiatan sosial perusahaan yang dilakukan PTFI, masih ada satu program pembinaan kepada petani kopi di dataran tinggi yang masuk pada wilayah suku Amungme. Cerita tersebut akan saya sambung dalam laporan berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H