Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Chief Operating Officer Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Dari Gelombang Laut Banda sampai Mandi Katulistiwa

10 Juni 2015   21:41 Diperbarui: 20 Desember 2021   00:01 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan kali pertama saya menumpang kapal laut untuk menyeberang dari satu pulau ke pulau lain di Indonesia. Sebelumnya, saya pernah menumpang kapal ferry dari pelabuhan Merak menuju Bakaheuni, Lampung. Itupun saya merasa tidak begitu nyaman karena bermacam hal.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia sudah selayaknya memperbaiki pelayanan transportasi laut yang kian ditinggalkan masyarakat bukan hanya karena alasan waktu tempuh yang lebih lama dibanding moda transportasi darat ataupun udara. Tetapi fasilitas di angkutan laut sangat terbatas—kalau tidak mau dibilang buruk.

Catatan ini bukan membahas seperti apa sistem transportasi yang baik atau layak. Saya ingin berbagi kesan berlayar dengan kapal perang milik TNI AL, KRI Banda Aceh. 

Sebelumnya saya sudah cerita bagaimana bisa berkesempatan menumpang dan bermalam beberapa hari di atas kapal perang KRI Banda Aceh dalam sebuah rangkaian kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) 2015 yang diselenggrakan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Bersama dengan 122 anak buah kapal dan 140-an peserta ENJ serta puluhan orang dari beberapa kementerian dan lembaga negara, saya bermalam dan tinggal di atas kapal KRI Banda Aceh selama 7 hari 8 malam dalam sebuah pelayaran menuju Sorong di sebelah Barat Papua. 

Berhubung berlayar bersama pasukan TNI AL, jangan harap bisa berbuat sesukanya. Ada aturan main yang harus dipatuhi oleh setiap orang di atas kapal ini, tak terkecuali. Mulai dari kedisiplinan sampai gaya komando khas tentara saya rasakan dan begitu juga yang lainnya.

Kami semua yang berada di atas kapal dibangunkan dengan suara azan pukul 05.00 yang terdengar dari area geladak helly. Waktu makan hanya diberikan satu jam, mulai pukul 06.00 sampai 07.00 untuk sarapan, 12.00-13.00 makan siang dan 18.00-19.00 untuk makan malam. 

Piring dan sendok pun dipakai bergantian dan harus kembali bersih usai menggunakannya. Dicuci sendiri agar yang lain dapat menggunakannya kembali dalam keadaan bersih. Apel pagi pun jadi rutinitas kami sebelum memulai segala kegiatan di atas kapal.

Demi menjaga kebugaran tubuh, kami juga disarankan berolahraga di area geladak helly yang cukup menampung tiga helikopter di bagian atas kapal.

Alas kaki di depan kamar harus tertata rapi/Nurulloh

Dalam hal kerapian pun begitu. Semua orang yang ada di kapal ini wajib menjaga kerapian diri dan kamar tidurnya serta seluruh area kapal. Alas kaki yang berada di depan kamar harus tertata rapi. 

Maklum saja, satu kamar bisa diisi lebih dari 30 orang. Sempit tapi begitu adanya.

Apalagi kamar yang saya tempati, penuh dengan barang dan perlengkapan peserta ENJ yang mengikuti pelayaran dari Tanjung Priok, Jakarta pada tanggal 1 Juni lalu. 

Kami diminta untuk menjaga kebersihan lingkungan kapal seperti buang sampah pada tempat yang telah disediakan. Meski sangat disayangkan, saya masih menemukan sampah di kamar mandi maupun di toilet yang dibangun terpisah.

Mengusir Kejenuhan dan Mual

Sejak masuk ke perairan laut Banda yang memiliki kedalaman sekitar 3.000-4.000 kaki, pusing dan mual mulai terasa. Berbeda ketika kapal masih melintasi perairan Makassar yang masih terlihat pulau-pulau di sisi kanan atau kiri kapal.

Melihat banyaknya peserta yang mual bahkan sampai muntah, Mayor Laut Priyo Dwi S. memberikan tips kepada kami untuk menghilangkan rasa mual tersebut. Hal paling utama yang menjadi catatan saya adalah perut harus terisi penuh dan hindari minum berlebih.

"Bagaimanapun perut harus kenyang, Anda harus makan nasi sampai penuh dan jangan kebanyakan minum karena bisa memicu mual akibat terkocok oleh gelombang yang besar," kata Mayor Priyo.

Tapi tidak berlaku bagi Farid, seorang peserta yang berasal dari Pulau Ende, NTT. Berlayar berhari-hari sudah jadi makanan ringan baginya. Pasalnya, ketika dia ingin pergi ke Kota Bogor atau sebaliknya untuk kuliah, kapal laut lah moda transportasi yang digunakan. 

Orang seperti Farid mungkin hanya beberapa saja di atas kapal yang diisi dari berbagai suku, agama, ras dan atau etnik ini. Masih banyak orang tak terbiasa menahan mual dari ayunan gelombang yang bisa mencapai empat meter di tengah laut Banda.

Peserta ENJ 2015 sedang latihan menari Saman untuk dipersiapkan untuk menyambut warga Sorong/Nurulloh

"Yaah sampai Sorong masih dua hari lagi," keluh seorang peserta perempuan yang mulai jenuh dan rasa mual yang luar biasa akibat gelombang tinggi. 

Meski kapal ini tergolong besar, gelombang dan hembusan angin laut Banda cukup untuk menggoyang kapal. Apalagi sinyal selular sangat sulit, dan hanya bisa didapat ketika kapal melintasi pulau. Melepas rasa rindu kepada keluarga di rumah jadi terkedala.

Maklum, pelayaran ini memakan waktu 3 hari 18 jam untuk tiba di Sorong. Jangan coba-coba membuka aplikasi peta atau navigasi digital di smartphone. Pasti akan merasakan pelayaran yang sangat lama. 

Bayangkan, sudah sekitar satu hari kami bertolak dari Makassar tapi setelah melihat lokasi kapal di aplikasi google maps ternyata kami baru melintasi Pulau Buton yang berada di Sulawesi Tenggara. Fuihhh...

Segala aktivitas harian selain mengikuti kegitan yang dibuat penyelenggara ekspedisi dilakukan di atas kapal yang hanya memiliki kecepatan laju maksimal 15 knot. Berbeda dengan kapal penumpang komersil yang dapat melaju dengan kecepatan 20 knot atau lebih.

"Kalau di darat dengan kecepatan 11 knot/mil, sama dengan 20 km/jam," kata Letkol Laut Edi Haryanto, Komandan KRI Banda Aceh.

Peserta ENJ bermain sepakbola di geladak helly KRI Banda Aceh/Nurulloh

Untung saja penyelenggara sudah menyiapkan serangkaian acara di atas kapal. Minimal bisa mengusir rasa jenuh dan bosan tadi. Kegiatan sosialisasi dari Bank Indonesia, Kemenpora, organisasi pemuda dari berbagai lembaga, perwakilan dari TNI AL yang memaparkan kekuatan militer laut Indonesia dan hiburan dari beatboxer yang membuat aransemen musik melalui pita suara serta tentunya sesi berbagi bareng Kompasiana. 

Alhamdulillah, saya berkesempatan memberikan informasi dan berbagi virus menulis di atas KRI Banda Aceh.

Peserta juga tak kehabisan akal, mereka ada yang bermain gitar, kartu, catur, menari sampai bermain sepak bola di area geladak helly yang cukup luas. 

Semua dijalani dengan penuh suka cita tanpa ada beban di antara mereka. Bahkan, menjelang tiba di pelabuhan Sorong, penyelenggara membuat sebuah kompetisi bulutangkis menggunakan sarung atau kain. Seru! Saat ini kami sudah melintasi laut Banda dan perairan Seram. 

Kami harus menunggu sampai besok pagi untuk bersandar di pelabuhan Sorong.

Mandi Katulistiwa

Peserta dan awak media ikut tradisi mandi katulistiwa/Md. Akbar

Pukul 02.00 WIT, alarm tanda darurat berbunyi keras sampai ke kamar disertai dengan teriakan komando dari pasukan TNI AL yang menyuruh kami semua untuk keluar kamar dan naik ke geladak. Wah, ada bencana apa nih? Pikir saya yang sangat kaget dengan suara alarm dan teriakan pasukan. 

Saya sudah berpikir macam-macam. Dari kapal menabarak sesuatu di tengah laut sampai ada sesuatu bencana yang akan menyebabkan celaka bagi kami. Mata baru saja dipejamkan pukul 00.00 WIT, sehingga belum sadar betul.

Salah satu peserta perempuan meminum air garam yang dicampur dengan terasi dan minyak sayur/Md. Akbar

Saat keluar kamar, saya melihat banyak orang yang berlarian melewati lorong dengan kondisi lampu yang gelap. Ditambah beberapa orang berpenampilan seram menyerupai hantu. Setelah itu baru saya sadar bahwa ini adalah rekaan anak buah kapal yang ingin mengerjai kami.

Sesampainya di geladak, kondisi tetap gelap. Hanya ada cahaya kemerahan dari geladak helly yahg ternyata flare light untuk kondisi darurat dan isyarat meminta bantuan.

Benar, kami sedang dikerjai. Semua peserta dipaksa jongkok di geladak mendengarkan pasukan TNI AL bicara dengan nada tinggi seakan marah besar. Sesekali terdengan letusan suara senapan! 

Kami semua merunduk dan tak lama kemuadian mereka menggelar teatrikal yang mengisahkan Dewa Neptunus, dewa penguasa lautan.

Semua peserta melakukan tradisi Mandi Katulistiwa di geladak helly pada hari Rabu (9/6) dini hari/Mamuk

Para pelaut di dunia, kisah Mayor Laut Priyo, selalu mengikuti tradisi Mandi Katulistiwa, terutama para pelaut dari Yunani yang selalu melakukan tradisi ini. 

Tiap kali kapal yang berlayar dan melintasi garis batas katulistiwa, seluruh awak kapal merayakannya dengan mandi, tak peduli pagi, siang ataupun malam. 

Ketika kapal sudah melintasi garis katulistiwa, para pelaut Yunani percaya bahwa mereka telah berlayar sangat jauh dan berharap dewa laut merestui pelayaran mereka hingga selamat sampai tujuan.

Pasukan TNI AL, khususnya sampai kini melakukan tradisi serupa. Terlebih bagi orang atau prajurit yang baru pertama kali berlayar. Wajib hukumnya. 

Dengan kemasan teatrikal dan sedikit sandiwara, kami semua melakukan hal yang serupa, mandi di tengah malam di lautan lepas menuju Sorong dan tepat beberapa saat setelah melintasi garus katulistiwa yang membentang dari ujung barat sampai timur Indonesia.

Karena memang dikemas seperti orientasi tentara baru, kami pun disiram dengan air laut yang ditaburi kopi. Setelah itu diminta meminum "jamu" yang terasa asin dan amis. Hueek...

Usai prosesi mandi katulistiwa kami mendapatkan penjelasan dari Letkol Laut Edi Haryanto, bahwa semua ini hanya tradisi bukan kepercayaan.

"Ini dilakukan oleh semua pelaut di dunia dan hanya sebatas tradisi bukan kepercayaan terhadap suatu dewa-dewi, kita harus tetap percaya Tuhan," katanya meyakinkan kami bahwa semuanya hanya tradisi.

Kalian semua, tambah Letkol Edi, akan mendapatkan sertifikat yang menandakan bahwa kita pernah berlayar melintasi garis katulistiwa. Pernyataan Letkol Edi disambut riuh tepuk tangan dan semangat semua orang yang melakukan tradisi Mandi Katulistiwa.

Pelayaran yang hampir memakan waktu 4 hari ini begitu berkesan, mulai dari rasa jenuh, mual, tidak ada koneksi selular, sampai dikerjai dengan Mandi Katulistiwa, kami lewati dengan suka cita. 

Pelayaran ini adalah perlayaran perdana saya, khususnya berlayar bersama dengan angkatan laut yang cukup disegani di dunia, TNI AL!


Sorong, 10 Juni 2015

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun