Maklum saja, satu kamar bisa diisi lebih dari 30 orang. Sempit tapi begitu adanya.
Apalagi kamar yang saya tempati, penuh dengan barang dan perlengkapan peserta ENJ yang mengikuti pelayaran dari Tanjung Priok, Jakarta pada tanggal 1 Juni lalu.Â
Kami diminta untuk menjaga kebersihan lingkungan kapal seperti buang sampah pada tempat yang telah disediakan. Meski sangat disayangkan, saya masih menemukan sampah di kamar mandi maupun di toilet yang dibangun terpisah.
Mengusir Kejenuhan dan Mual
Sejak masuk ke perairan laut Banda yang memiliki kedalaman sekitar 3.000-4.000 kaki, pusing dan mual mulai terasa. Berbeda ketika kapal masih melintasi perairan Makassar yang masih terlihat pulau-pulau di sisi kanan atau kiri kapal.
Melihat banyaknya peserta yang mual bahkan sampai muntah, Mayor Laut Priyo Dwi S. memberikan tips kepada kami untuk menghilangkan rasa mual tersebut. Hal paling utama yang menjadi catatan saya adalah perut harus terisi penuh dan hindari minum berlebih.
"Bagaimanapun perut harus kenyang, Anda harus makan nasi sampai penuh dan jangan kebanyakan minum karena bisa memicu mual akibat terkocok oleh gelombang yang besar," kata Mayor Priyo.
Tapi tidak berlaku bagi Farid, seorang peserta yang berasal dari Pulau Ende, NTT. Berlayar berhari-hari sudah jadi makanan ringan baginya. Pasalnya, ketika dia ingin pergi ke Kota Bogor atau sebaliknya untuk kuliah, kapal laut lah moda transportasi yang digunakan.Â
Orang seperti Farid mungkin hanya beberapa saja di atas kapal yang diisi dari berbagai suku, agama, ras dan atau etnik ini. Masih banyak orang tak terbiasa menahan mual dari ayunan gelombang yang bisa mencapai empat meter di tengah laut Banda.
"Yaah sampai Sorong masih dua hari lagi," keluh seorang peserta perempuan yang mulai jenuh dan rasa mual yang luar biasa akibat gelombang tinggi.Â