RUU KUHP yang akan disahkan oleh DPR sebelum akhir bulan September menuntut seluruh wakil rakyat di Republik ini untuk berpikir lebih matang lagi bagian apa saja yang perlu untuk dilakukan pengkajian ulang. Salah satu bagian yang menjadi sorotan sebagian besar masyarakat adalah ancaman hukuman pidana terhadap penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 218 ayat (1) menyebutkan "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri" bunyi Pasal 218 ayat (2). Hukuman sebagaimana dimaksud pada Pasal 218 ayat (1) dan (2) akan diperberat ancaman pidananya bagi yang menyebarkan hinaan tersebut .
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar , sehinngga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV", demikian bunyi Pasal 219.
Munculnya ancaman pidana terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden telah lama menuai perdebatan tidak hanya bagi kalangan masyarakat, juga di kalangan akademisi, politikus, dan sejumlah tokoh. Faktanya, kehadiran Pasal ini telah pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK pun menerima gugatan yakni melakukan pencabutan pasal tersebut. Pencabutan pasal tentang menghina presiden oleh MK dinilai karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-22/PUU-IV/2006 adalah bukti konkret pengakuan dari para hakim MK melalui putusannya tentang keberadaan ancaman hukuman pidana mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden tidak relevan dengan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.
Pertanyaannya, apa yang menjadi asbabun nuzul terhadap dimuatnya kembali Pasal ini dalam RKUHP? Apakah tatanan demokrasi kita telah berubah atau dimuat hanya karena sebatas kepentingan politis saja? Dan Bagaimana jika pasal ini resmi disahkan oleh para wakil rakyat?
Pertimbangan akan hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan lenggeng, dan oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun merupakan latar belakang diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) oleh Negara Indonesia. Dengan adanya pengesahan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 adalah sebuah instrument peraturan bagi Republik Indonesia sebagai Negara hukum untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan di depan hukum dan bukti akan kemauan bangsa Indonesia secara terus menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditinjau dari kewajiban bagi negara untuk menjamin terpenuhinya Hak sipil dan politik dibedakan menjadi dua bagian yaitu Non-Derogable Rights dan Derogable Rights. Non-Derogable Rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya oleh pihak manapun, walau dalam keadaan darurat sekalipun. Yang termasuk dalam bagian hak ini adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, dan hak-hak yang paling mendasar lainnya. Sedangkan Derogable Rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Salah satunya yang tergolong dalam Derogable Rights adalah hak kebebasan berpendapat. Â
Kebebasan menyatakan pendapat tidak hanya sebatas penyampaian pandangan, opini, ataupun buah pikiran semata, termasuk juga kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya (Pasal 19 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2005). Namun demikian, pelaksanaan atas hak-hak ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, maka dapat dikenai pembatasan oleh negara sepanjang diperlukan untuk:Â
1. Menghormati hak atau nama baik orang lain;Â
2. Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum (Pasal 19 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2015).Â
Pembatasan akan kebebasan menyatakan pendapat di era industri 4.0 ini telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik. Hadirnya peraturan perundang-undangan ini tidak lain bertujuan demi menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum. Demi untuk memberikan kepastian hukum, ketertiban dan keamanan dalam kebebasan berpendapat maka dalam UU tersebut juga telah diatur secara detail akan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 bagi orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya infromasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dengan adanya delik aduan absolut ini menjadikan peristiwa penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari yang dirugikan. Dan yang dapat dituntut adalah peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut. Â