Berita terbaru yang dirilis oleh merdeka.com pada Selasa, 27 Agustus 2019 menyebutkan bahwa salah satu pembiayaan yang dilakukan untuk membangun fasilitas gedung perkantoran di Ibu Kota Baru adalah dengan skema KPBU (Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha). Bermula, Badan Usaha akan membangun fasilitas gedung perkantoran di Ibu Kota Baru dengan biaya yang dimiliki oleh Badan Usaha tersebut.Â
Sebagai kompensasi atas penggunaan fasilitas gedung perkantoran tersebut, maka pemerintah akan membayar fee kepada Badan Usaha. Ringkasnya, Badan Usaha akan membangun dan mengelola fasilitas gedung perkantoran tersebut, nantinya Pemerintah membayar fee dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.Â
Sehingga, swastalah yang akan mengelola fasilitas tersebut, dan selama jangka waktu 20 (dua puluh) tahun Pemerintah akan membayar fee kepada Badan Usaha sampai pada akhirnya gedung perkantoran tersebut menjadi milik pemerintah.
Menurut hemat saya, ini merupakan suatu perencanaan yang kemungkinan besar pengkajian untuk pindah Ibu Kota tidak didasari atas status quo di Republik ini, dan terkesan memaksa harus segera direalisasikan yakni pada tahun 2023 sudah dapat diduduki.Â
Tidak hanya itu, fakta pun mengungkap dari berbagai pemberitaan di media seolah bahasa isyarat mengartikan bahwa segala celah akan ditempuh untuk pindah menuju Ibu Kota Baru. Dan sampai saat ini masih menjadi misteri apa dasar yang menjadi penyebab harus segera pindah ke Ibu Kota Baru dengan gegap gempita.Â
Mengingat janji kampanye 5 (lima) tahun sebelumnya Pemerintah dalam hal ini Presiden fokus untuk membangun infrastruktur bagaimanapun caranya, dan janji kampanye 5 (lima) tahun kedepan Presiden selaku Kepala Pemerintah akan fokus membangun Sumber Daya Manusia. Pertanyaannya, Sumber Daya Manusia manakah yang akan dibangun?
Merujuk pada pemberitaan skema pembiayaan fasilitas gedung perkantoran diatas, naluriah sebagai seorang yang awam setidaknya ingin memberikan catatan penting yang dapat kita amatir:
1. Pemerintah menggali terus lubang dan seakan lupa untuk menutup kembali lubang yang sudah digaliÂ
Rencana skema pembiayaan sebagaimana dilansir oleh merdeka.com terasa mustahil untuk direalisasikan. Bukan maksud pesimis terhadap apa yang dicita-citakan.Â
Akan tetapi, cita-cita harus searah dengan vektor kemampuan dan realita. Sampai pada tahun 2019 saja bunga hutang Pemerintah sudah mencapai 275 Triliun, dan tentu jumlah hutang pokok Pemerintah bernilai lebih besar dari bunganya.Â
Dengan rencana pembangunan gedung perkantoran di Ibu Kota Baru dengan skema pembiayaan diatas, Pemerintah diwajibkan untuk membayar fee tiap tahunnya hingga jangka waktu 20 (dua puluh) tahun kedepan.Â
Jika dikiaskan, kondisi demikian sama halnya dengan Pemerintah menggali terus lubang sedalam-dalamnya namun tanpa ada beban dan rasa malu bahwa lubang yang sudah pernah digali lupa untuk ditutup kembali. Terpampangnya hutang-hutang pada periode sebelumnya seakan tidak menjadi persoalan untuk meraup hutang yang baru.Â
Sungguh ini sama halnya Pemerintah seakan lupa akan kedudukannya yang seharusnya bukanlah sebagai Penguasa melainkan sebagai Pelayan Rakyat. Sebagai Pelayan Rakyat, Pemerintahlah yang dengan segala Power yang dimilikinya dapat menuntaskan sederet persoalan yang diderita rakyat.Â
Bukan malah menggunakan Power yang dimilikinya untuk menyuguhkan berbagai macam kenaikan barang pokok, pencabutan subsidi, kenaikan iuran BPJS kepada rakyat jelata agar pendapatan Negara kian menjulang.Â
Sebagai hilir pendapatan negara kian menjulang, selanjutnya akan dialokasikan untuk membayar fee penggunaan fasilitas gedung setiap tahunnya kepada Pengusaha. Lantas, dimana peran Pemerintah sebagai pelayan rakyat?
2. Pemerintah mewariskan hutang kepada anak cucu
Presiden yang memangku jabatan selama 5 (lima) tahun dan diharuskan untuk membayar Fee kepada Pengusaha selama 20 (dua puluh) tahun sama halnya dengan pembayaran Fee akan tetap terus berlangsung hingga 3 (tiga) atau 4 (empat) kali pergantian Presiden.Â
Pertanyaannya, ada apa dengan fasilitas gedung perkantoran di Ibu Kota Jakarta? Jika Pemerintah ingin sesegera mungkin untuk pindah Ibu Kota saat ini juga, seharusnya kondisi semua fasilitas gedung perkantoran di Jakarta sudah tidak layak pakai dan demi pelaksanaan kelancaran kegiatan pemerintahan diharuskan untuk segera pindah Ibu Kota Baru.Â
Nyatanya, kondisi Jakarta dengan sederet prestasi yang diraihnya, pembangunan yang bertahap namun berjalan pasti, dan tata kotanya yang kian terus berbenah justru mengkambinghitamkan segala keruwetan Jakarta seperti macet, polusi, banjir, tidak nyaman, dijadikan alasan pindah Ibu Kota.Â
Padahal, jika dianalisa kebermanfaatan dari pindah Ibu Kota hanya sepersekian persen dibandingkan mudharat yang akan didatangkan. Â Dan malangnya Pemerintah pula juga yang harus membayar biaya sewa selama 20 (dua puluh) tahun untuk penggunaan gedung Perkantoran di Ibu Kota baru hingga gedung tersebut dimiliki Pemerintah.Â
Sungguh kondisi ironis, warisan yang dari Penguasa seharusnya berupa karya-karya namun nyatanya berupa beban yang harus ditanggung bersama. Lantas apa jadinya bangsa ini jika yang diwariskan adalah serumpunan generasi maniac game, apatis pada kondisi bangsa, hutang yang terjerumus pada kondisi penderitaan, dan rintihan persoalan lainnya yang hingga kini belum menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. Lalu, apa yang menjadi prioritas Pemerintah saat ini? Â Â Â Â Â
3. Menjadi Tamu di Rumah Sendiri
Negara yang memiliki ribuan pulau dari Sabang hingga Merauke, dan sumber daya alam yang luar biasa berlimpah ruah mengharuskan para pemangku jabatan untuk menyewa fasilitas gedung perkantoran di Ibu Kota Baru.Â
Dengan keterbatasan biaya yang dimiliki Pemerintah, memaksakan pihak swasta yang akan membangun fasilitas gedung perkantoran yang nantinya Pemerintah akan menyewa pemakaian gedung perkantoran tersebut.
Ibarat kata, Pemerintah seakan tak berkuasa penuh karena tempat untuk menjalankan proses pemerintahan saja harus menyewa kepada pengusaha.Â
Bayangkan, Pemerintah dengan segala kekuasaan yang dimilikinya harusnya dapat benar-benar kuasa untuk mengelola dan mengatur urusan kenegaraan demi kepentingan Rakyat justru malah menyengsarakan Rakyat dengan menyewa fasilitas perkantoran di negera sendiri.Â
Pemerintah yang mengatur Republik ini dari Sabang hingga Merauku seolah menjadi tamu di Ibu Kota baru. Tempat yang dijadikan untuk mengatur segala aktiiftas pemerintahan di Ibu Kota baru saja, pemerintah belum dapat berdiri diatas kaki sendiri.Â
Bagaimana dengan segala kepentingan hajat hidup orang banyak, nyatanya berbagai fakta mengungkap pemerintah pun belum mampu untuk mengaturnya. Apakah dengan menjadi tamu di Republik ini akan menjawab segala persoalan yang sedang melanda atau malah mendatangkan mudharat? Dari awal gerak-gerik dan gelagat pemerintah yang ingin menyewa fasilitas perkantoran di Ibu Kota baru rasanya belum dapat dipercaya bahwa pemindahan pusat pemerintahan ke Ibu Kota baru akan menaburkan benih kebermanfaatan kepada segenap penghuni di Rapublik ini.
          Sumber: https://www.tribunnewswiki.com/2019/08/28/aspek-geografis-kabupaten-kutai-kartanegara-kalimantan-timurÂ
Bagaimana menurut pandangan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H