Untuk menciptakan bisnis yang benar-benar berkelanjutan, sebuah organisasi harus mengembangkan budaya yang mendukung nilai-nilai jangka panjang. Artinya, keberlanjutan tidak hanya membutuhkan komitmen terhadap perubahan, tetapi juga sistem internal yang stabil untuk memastikan keberlanjutan dapat terwujud dan bertahan dalam berbagai tantangan.
4. Budaya dan Inovasi
Budaya organisasi yang inovatif ditandai oleh keterbukaan, pendekatan tidak konvensional, kolaborasi, orientasi pada visi, dan kemampuan untuk terus berkembang. Budaya ini memungkinkan organisasi untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan dan menciptakan solusi kreatif untuk tantangan yang dihadapi.
Salah satu contoh menonjol adalah Alexion Pharmaceuticals, yang diakui Forbes sebagai salah satu perusahaan paling inovatif. Berbeda dengan perusahaan seperti Intuit yang terkenal dengan pendekatan manajemen tidak konvensional, Alexion lebih dikenal melalui budaya kepedulian yang menjadi inti inovasi berkelanjutannya. Meskipun menghadapi tantangan besar seperti jumlah pasien yang terbatas, biaya pengembangan yang tinggi, dan risiko kegagalan yang signifikan, Alexion tetap mampu menciptakan produk yang menyelamatkan nyawa. Hal ini menunjukkan bahwa budaya yang mendukung empati dan komitmen terhadap visi jangka panjang dapat menjadi pendorong utama keberlanjutan inovasi.
5. Budaya sebagai Aset
Budaya organisasi berperan penting dalam membentuk lingkungan etis yang positif dan mendorong inovasi, yang pada akhirnya berkontribusi signifikan terhadap keuntungan organisasi. Salah satu contoh nyata adalah transformasi budaya organisasi yang dilakukan oleh ChildNet, sebuah lembaga kesejahteraan anak nirlaba di Florida. Setelah melakukan perubahan besar, ChildNet berhasil mentransformasi budaya organisasinya dari "suram" menjadi agensi dengan peringkat teratas dalam waktu empat tahun. CEO Emilio Benitez, yang menjabat sejak 2008, melakukan berbagai langkah seperti mengganti eksekutif, menggunakan teknologi canggih, memberikan program penghargaan untuk mengurangi tekanan pada pekerja, dan membentuk meja bundar lintas departemen untuk menyelesaikan masalah. Metode baru ini menurunkan biaya dan meningkatkan adopsi anak asuh ke rumah permanen.
Sebaliknya, Dish Network, perusahaan penyedia TV satelit terbesar kedua di Amerika Serikat, menghadapi tantangan dalam mencocokkan budaya dengan industrinya. Meskipun sukses secara finansial, Dish Network memiliki reputasi buruk terkait budaya kerjanya. Sejak 2012, 24/7 Wall Street menilai perusahaan ini sebagai salah satu tempat kerja terburuk di AS hampir setiap tahun. Budaya kerja yang dianggap bermasalah meliputi manajemen mikro yang ketat, lembur wajib yang melelahkan, pengawasan jam kerja dengan pemindai sidik jari, dan caci maki di depan umum, termasuk dari pendirinya, Charlie Ergen. Selain itu, perusahaan melarang karyawan bekerja dari rumah, membuat pengalaman kerja menjadi lebih buruk. Bahkan, karyawan menyebut lingkungan kerjanya sebagai "beracun."
Perbandingan antara ChildNet dan Dish Network menunjukkan bahwa budaya organisasi yang positif dapat meningkatkan kinerja dan kepuasan pelanggan, sedangkan budaya yang buruk dapat menghambat kesuksesan, meskipun perusahaan tersebut secara finansial stabil. Penelitian menunjukkan bahwa budaya yang baik lebih sering dikaitkan dengan kesuksesan bisnis dibandingkan dengan budaya yang buruk.
Sumber Buku: Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2019). Organizational behavior (18th ed.). Pearson Education. ISBN 978-0-13-472932-9.
Nurul Kamila, Mahasiswa Manajemen Universitas Nusa Putra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H