Mohon tunggu...
NURUL IZZAH
NURUL IZZAH Mohon Tunggu... Guru - uin ar-raniry

menyukai topik mengenai fenomena alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membedah Tafsir Jilbab Menurut Perspektif Quraish Shihab

12 Desember 2022   10:10 Diperbarui: 13 Desember 2022   20:46 2672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemudian terkait hal yang paling penting menurut Quraish Shihab yaitu apakah perintah  menjulurkan jilbab yang tercantum dalam surah al-Ahzab: 59 itu hanya berlaku pada masa Rasulullah saw atau berlaku sepanjang zaman? Dalam hal ini Quraish Shihab mempunyai pemahaman bahwa kewajiban jilbab dalam ayat tersebut hanya berlaku pada masa Rasulullah saw karena tujuan menggunakan jilbab dalam ayat tersebut tujuannya agar dapat membedakan antara hamba sahaya dengan perempuan merdeka serta untuk melindungi mereka dari gangguan para lelaki. Dilihat pada zaman sekarang tidak ada lagi hamba sahaya, maka menurut Quraish Shihab pakaian terhormat yang dimaksud berkaitan dengan adat suatu daerah. Pada zaman sekarang wanita yang tidak menggunakan jilbab itu sudah menjadi kebiasaan wanita dalam berpakaian, maka hal tersebut dianggap boleh-boleh saja karena adat dan kebiasaan.

Dalam karyanya dengan tema Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Quraish mengungkapkan bahwa pakian yang diwajibkan oleh agama tertentu justru lahir dari kebiasaan yang berkembang pada masa tersebut. Pada masa sekarang ini pakaian yang biasa digunakan oleh orang Indonesia misalnya tidak menggunakan jilbab, itu tidak bisa dihukumkan melanggar hukum karena kebiasaan berpakaian pada masa itu seperti itu.

Untuk menguatkan argumennya para cendikiawan muslim termasuk Quraish Shihab mengemukakan beberapa alasan dalam menetapkan argumen tersebut. Pertama, Alquran dan hadis tidak menghendak musyaqqah (kesulitan). Kaidah ini digunakan oleh beberapa cendikiawan muslim dalam menetapkan tidak wajibnya jilbab bagi perempuan muslimah. Jilbab bagi sebagian wanita dianggap sesuatu yang memberatkan dan merepotkan. Terhadap wanita seperti itu, ulama membolehkannya untuk tidak menggunakan jilbab, namun jika mereka ingin menggunakannya maka itu akan lebih baik.

Kedua, hadis-hadis Rasulullah saw merupakan sumber hukum yang kedua, tetapi baru disepakati untuk ditetapkan menjadi sebuah hukum apabila dinilai shahih. Hadis mengenai jilbab yang diriwayatkan dari Aisyah dipandang terdapat kejanggalan. Bunyi hadisnya yaitu Asma binti Abu Bakar memasuki kamar Rasulullah saw, Asma menggunakan pakaian yang kemudian Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata “Wahai Asma sesungguhnya perempuan itu kalau sudah sampai (umur) haid tidak pantas untuk dilihat tubuhnyakecuali ini dan ini. Rasulullah saw menunjuk ke muka dan telapak tangan. Hadis ini tidak dapat diterima sebab diriwaatkan oleh Khalid Duraik. Menurut Abu Dawud, dia tidak pernah berjumpadengan Aisyah dan sanadnya terputus.

Ketiga, ketetapan hukum berdasarkan pada ‘illatnya. Apabila ‘illat tersebut masih ada, maka suatu hukum akan tetap berlaku dan apabila ‘illatnya tidak ada lagi, maka hukum tersebut tidak berlaku lagi. Jilbab dianggap bukanlah perintah Islam dalam hal ibadah, namun ia berhubungan dengan mu’amalah dan kebiasaan yang terdapat ‘illat di dalamnya. Keempat, perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya tidak mesti dikatakan wajib atau haram, namun perintah tersebut dapat juga dipahami sebagai sebuh anjuran.

 

EPISTEMOLOGI BERJILBAB MENURUT PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB

            Untuk mempertahankan pemikirannya, Quraish Shihab menggunakan beberapa pendekatan dan metode yang biasa digunakan oleh para ulama dalam menetapkan suatu hukum. pertama, pendekatan tarjih. Tarjih dipahami sebagai upaya dalam memilih serta menyelidiki bermacam pendapat yang datang dari berbagai pendapat ulama, selanjutnya ditetapkan satu pendapat yang kuat sesuai dengan standar yang digunakan sebagai syarat diterimanya sebuah hadis. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa metode tarjih telah digunakan oleh Quraish Shihab.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Quraish Shihab telah menjadikan dalil para ulama itu lemah dalam menetapkan kewajiban serta batasan aurat wanita dengan cara mengkritik hadis-hadis yang dijadikan dalil dalam menetapkan kewajiban berjilbab, bukan hanya dari sanad, namun juga dari sisi penafsiran yang dinyatakan oleh sebagian ulama dinilai tidak memenuhi syarat agar sebuah hadis bisa dijadikan hujjah. Sesudah melakukan tarjih terhadap hadis tersebut beliau mengatakan bahwa beragam pendapat para ulama terdahulu mengenai batasan yang dibolehkan untuk diperlihat dari tubuh wanita, menunjukkan bahwa mereka tidak setuju terhadap keshahihan hadis-hadis yang telah disebutkan, dan sekaligus membuktikan bahwa ketetapan hukum terkait batasan aurat perempuan itu bersifat zhanni (sangkaan).   

Kedua, pendekatan ‘illat hukum. ‘illat merupakan suatu sebab dimana sebuah hukum ditetapkan. Adapun ketentuan yang paling utama yaitu suatu ‘illat hukum harus nyata, konsistendan sejalan dengan maqasid syari’ah, yaitu menghadirkan kebaikan. Quraish Shihab menggunakan metode ini untuk memahami makna yang dimaksud dalam surah al-Ahzab: 59 dimana ayat tersebut menyuruh wanita menggunakan jilbab dengan alasan supaya dapat dibedakan dengan budak. Jika dilihat zaman sekarang ini tidak lagi terjadi perbudakan, dan pada lingkungan masyrakat tertentu kehormatan atau ketidakhormatan seorang wanita tidak disimbolkan dengan jilbab. Maka  jika demikian, hal terpenting dalam cara berpakaian seorang wanita adalah menggunakan pakaian terhormat sesuai dengan perkembangan budaya positif dalam masyarakat, dan pakaian yang dapat melindungi mereka dari gangguan para lelaki.

Ketiga, Istihsan bil ‘urf. Quraish Shihab tampak menggunakan metode ini dalam tafsirannya, yaitu ketika dia mendalami makna kalimat ilaa maa zhahara minhaa, dan sampai pada pendapat bahwa sangat penting untuk dijadikan adat kebiasaan masyarakat sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum, beliau juga menyimpulkan dari diamnya ulama Indonesia pada zaman dahulu melihat pakaian wanita muslimah yang terkesan tradisionalis (tidak berjilbab) sebagai bentuk kesepakatan bahwa pakian wanita pada saat itu sudah dianggap benar dan tidak melanggar hukum agama, sehingga beliau berpendapat bahwa pakian naional yang biasa digunakan wanita tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun