Mohon tunggu...
Nurul Isnainiyah
Nurul Isnainiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi semester 5 prodi Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nota Kesepahaman Indonesia-Malaysia: Efektifkah Melindungi TKW?

21 Desember 2023   10:13 Diperbarui: 21 Desember 2023   10:40 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekerasan terhadap TKW terus bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah pencari kerja di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pencari kerja yang terdaftar di Indonesia pada 2021 sebanyak 2,7 juta jiwa. Banyaknya jumlah pencari kerja di dalam negeri menyebabkan banyak orang lebih memilih untuk bermigrasi ke luar negeri dan bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai strategi ekonomi dan upaya melangsungkan kehidupan, bukti ini termuat dari data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang mencatat terdapat 200 ribu pekerja migran di kawasan Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, Amerika, dan Pasifik pada 2022. Strategi ini tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, melainkan juga oleh perempuan yang kemudian disebut Tenaga Kerja Perempuan (TKW). Negara yang menjadi salah satu tujuan paling banyak dari keberangkatan para pekerja Indonesia ialah Malaysia sebagai negara terdekat yang mudah untuk didatangi baik melalui jalur darat, laut, maupun udara 

Kasus Kekerasan terhadap Pekerja TKW

Di sisi lain, permasalahan yang terjadi akibat banyaknya pekerja migran adalah tingginya kasus kekerasan yang terjadi kepada para pekerja, khususnya pekerja perempuan (TKW). Menurut menurut International Labour Organization (ILO) hal ini disebabkan oleh banyaknya pekerja perempuan yang bekerja di ranah domestik sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Kasus kekerasan dan penindasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri menjadi perhatian serius sebab kasusnya yang terus bertambah. Kekerasan yang terjadi kepada TKW ini meliputi kekerasan secara verbal, fisik, maupun seksual yang menyebabkan luka fisik dan psikologis sehingga para pekerja harus kembali ke Indonesia dengan keadaan memiliki trauma psikologis berat, terdapat luka fisik yang parah, bahkan meninggal dunia. Bukan hanya itu, sebagian besar korban juga tidak mendapatkan gaji sesuai dengan kesepakatan.

DB sebagai salah satu TKW yang menjadi korban kekerasan mengaku bahwa dirinya kerap menerima perlakuan kasar secara fisik dan mental yang menyebabkan pendengarannya terganggu. Selain itu, DB juga dipekerjakan dengan waktu yang terlalu panjang di rumah serta bengkel milik majikannya, lebih parahnya, DB tidak mendapatkan gaji selama 9 tahun 3 bulan bekerja. Hal serupa juga terjadi kepada MH sebagai korban kekerasan yang bekerja sebagai Asisten rumah Tangga di Malaysia. Menurut BWI-Malaysian Liaison Council (BWI-MLC), MH ditemukan dalam kondisi terdapat luka di sekujur tubuh, yang diantaranya merupakan luka sayatan pisau, lebam, serta luka bakar.

Kejadian yang lebih fatal terjadi kepada Adelina Lisau yang harus meregang nyawa akibat dianiaya oleh majikannya di Penang, Malaysia. Adelina kehilangan nyawanya di rumah sakit setelah sebelumnya ia berhasil ditemukan dalam kondisi kurang gizi dan terluka parah oleh pihak kepolisian di rumah majikannya. Ketiga kasus tersebut bukanlah kasus baru bagi penyiksaan TKW di Malaysia. Pada 2009 Malaysia menjadi negara yang menempati urutan pertama dari tingginya kasus kekerasan terhadap TKW yakni sebesar 1.748, dengan jumlah kasus kematian mencapai 687 jiwa.

Upaya Pemerintah Indonesia

Maraknya kasus kekerasan yang terjadi kepada TKW sebagai Pekerja Migran Indonesia di Malaysia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melakukan upaya perlindungan kepada para korban kekerasan agar kasus serupa tidak terus terjadi. Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah membuat nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah Malaysia mengenai Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik. Nota kesepahaman ini pertama kali ditandatangani pada 2006 dan akan terus diperbaharui setiap 5 tahun sekali, namun sayangnya nota ini berhenti diperbaharui pada 2016 sebab kedua negara tidak menemukan titik temu atau kesepakatan. Karenanya kasus kekerasan terhadap TKW di Malaysia terus meningkat setiap tahunnya.

Meskipun Malaysia dinilai tidak serius dalam proses pembentukan nota kesepakatan yang tercermin dari pemerintah Malaysia yang kerap menunda-nunda pembahasannya, pada 1 April 2022 Pemerintah Indonesia dan Malaysia akhirnya menyepakati pembaharuan Nota Kesepahaman atau MoU tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik di Malaysia sebagai upaya untuk menekan kasus kekerasan yang menimpa tenaga kerja Indonesia di Malaysia. 

Pemerintah Indonesia dan Malaysia menyepakati Nota Kesepahaman tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik. Foto: BPM
Pemerintah Indonesia dan Malaysia menyepakati Nota Kesepahaman tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Domestik. Foto: BPM

Nota tersebut diharapkan dapat menjadi payung hukum yang melindungi pekerja migran Indonesia, terutama tenaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor domestik seperti rumah tangga. Nota kesepahaman ini telah memasukan beberapa poin yang dinilai krusial, seperti adanya pendataan Pekerja Migran Indonesia melalui one channel system sebagai sistem perekrutan hingga pengawasan yang mencangkup seluruh data tentang pekerja dan majikan, mulai dari lokasi pekerja, identitas majikan, sampai latar belakangan majikan; Menaikan upah minimum Pekerja Indonesia; Mewajibkan para majikan untuk memberi hak pekerja dalam penggunaan alat komunikasi kepada keluarga dan perwakilan RI di Malaysia; Larangan bagi majikan untuk menahan identitas pribadi pekerja seperti paspor; dan sebagainya.

Sebelumnya, pada 10 November 2021 di Istana kepresidenan Bogor, PM Ismail Sabri menyampaikan komitmennya bahwa Malaysia akan menjamin kesejahteraan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dengan sebaik-baiknya. Kemudian, hal ini akan diimplementasikan dengan dibukanya layanan aduan melalui Kementerian Sumber Manusia secara langsung dari para TKI yang merasa tidak puas akan majikan mereka dalam berbagai hal, seperti keterlambatan gaji.

Dampak Pelanggaran Terhadap MoU

Banyak pihak menilai bahwa MoU yang dibuat oleh Indonesia-Malaysia mengenai perlindungan pekerja migran tidak memiliki kekuatan yang besar sebab sifatnya yang tidak mengikat secara hukum. Hal ini dibantah oleh Rendra Setiawan sebagai Direktur Penempatan dan perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kementerian Ketenagakerjaan RI. Ia mengatakan meski MoU tersebut tidak mengikat secara hukum, akan ada ancaman yang datang untuk Malaysia apabila pihaknya melanggar MoU ini, seperti diberhentikannya pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia. Hal ini diperkuat dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh Indonesia melalui pertemuan-pertemuan rutin dengan Malaysia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun