Kita Sahabatan. Tapi seiring berjalannya waktu, hubungan kita semakin dekat, akrab dan mesra.... kata teman-teman. Yeah.... sahabat antara cewek sama cowok sering diartikan sebagai pacaran.Â
Dimana ada kamu di situ ada aku. Kemana kamu pergi, iya di situ aku selalu mengekori. Â Demikian juga sebaliknya. Kita merasa nyaman satu sama lain.Â
Kedekatan kita berawal saat perkenalan mahasiswa baru. Perasaan senasib sebagai sesama anak perantauan yang menimba ilmu di kota dingin Malang, mungkin itu juga yang membuat kita semakin akrab. Dan lagi lokasi tempat kos kita yang tidak begitu jauh juga sangat mendukung.
Setiap yang melihat pasti mengira kalau ada hubungan spesial antara aku dan kamu. Â Padahal.... Oh no, belum sedalam itu kali. Â Hubungan awal kita, just friend, tidak lebih. Â
Suatu ketika terdengar desas-desus kamu pacaran sama teman cowok  lain jurusan. Seharusnya tidak masalah kan? Â
Tapi kenapa ada sesuatu yang tidak nyaman, sesuatu mengganjal di hati aku. Dan aku khawatirkan akan meledak jika tidak aku keluarkan. Â
"Kamu pacaran sama Ilham", tanyaku suatu ketika kita jalan bersama. Â
"Enggak, Â siapa yang bilang?", tanyanya ganti. Â
Tentu saja aku tidak bisa menjawab, karena hanya mendengar kabar simpang siur saja.Â
Beberapa minggu berlalu. Aku semakin merasa tidak nyaman. Â Ada sebersit rasa cemburu saat kamu bilang mau pulang dari kampus bareng Ilham.Â
Apalagi  saat kamu bertanya.Â
"Do, Â kalau aku bener jadian sama Ilham kamu setuju nggak? "
Enggak. Fix itu jawaban aku. Â Tapi jelas saja aku tidak seberani itu untuk bicara to the point padanya. Kita cuma sahabat, aku tidak berhak melarangnya berhubungan dengan siapapun, Â termasuk dengan Ilham.
"Kamu cinta sama dia? ", tanyaku balik. Â
Gadis cantik yang sudah jadi karibku selama hampir dua tahun itu nampak bingung. Aku pun menunggu dengan perasaan harap-harap cemas jawaban yang keluar dari bibirnya. Â
Kalau dia bilang cinta Ilham, pupus sudah harapanku. Â Lalu perlahan dia menggeleng.
"Aku nggak tahu."
Sedikit lega perasaanku, hanya sedikit. Karena aku masih menahan sesuatu yang seharusnya aku ucapkan, Â tapi belum juga bisa tersampaikan. Â Lidahku serasa kelu.
Hubungan sahabat yang tiba-tiba di bumbui perasaan lain memang rumit. Â Aku jadi serba salah. Â Mau ngomong susah, enggak ngomong makan hati. Â Dilema.Â
Akhirnya aku tetapkan hati. Aku akan tebalkan telinga dan wajahku. Aku akan terus terang pada Rani. Â Iya... malam minggu ini aku akan mengatakan isi hatiku. Â
Malam minggu yang cerah. Â Tapi tidak secerah perasaanku. Â Karena terus terang jantungku berdebar kencang. Dan debaran itu semakin menggila saat langkah kakiku sampai di depan kos Rani.Â
Sudah sering kali aku mendatanginya, tapi ini rasanya sungguh berbeda. Â Bukan sebagai sahabat seperti biasa, Â tapi sebagai calon pacar. Aha.... itu kalau diterima.
Tapi debaran itu seketika berhenti. Langkah kakiku  serasa sangat berat seperti ada batu besar yang membebani. Aku melihat Rani sedang duduk dan bercanda di serambi kos bersama Ilham.Â
Apa aku harus putar balik ? Â Of course not. Tekadku sudah bulat. Sebulat bola yang dengan tidak sopan menyapa kepalaku dalam perjalanan menuju kos Rani tadi.Â
Apes memang. Â Tapi setiap usaha memang butuh perjuangan, bahkan perngorbanan. Â Jadi aku tidak akan menyerah semudah itu. Â
Dengan langkah pasti, aku menghampiri keduanya. Dan dengan suara tegas aku berucap. Â
"Ran aku pengen ngomong penting sama kamu, berdua."
Gadis itu mengeryit dalam.  Aku lihat dia menahan tawa.  Menatap aneh  aku yang terlihat serius seperti ini.  Tapi masa bodoh, yang penting aku bisa bicara berdua. Â
Rani berbicara sebentar dengan Ilham. Begitu Ilham berlalu, tanpa ditanya lagi aku segera mengeluarkan isi hatiku. Â
"Aku suka kamu Rani, aku  cinta kamu.  Kamu mau jadi pacar aku kan? "
Reaksi yang tak terduga dari Rani membuat dadaku kembali berdebar. Gadis itu tiba-tiba menangis. Aku jadi merasa bersalah. Â
Apa dia sudah ditembak dulu oleh Ilham ? Dan tidak tega mau bicara padaku karena kita sudah lama jadi sahabat ?
Pertanyaanku terjawab ketika masih dengan tangisnya Rani kembali berucap. Â
"Edo, kenapa baru bilang sekarang ?  Kamu tahu nggak  kenapa Ilham tadi datang ke sini ?  Dia bilang sesuatu yang sama kayak kamu ".Â
Bagai di sambar petir di siang bolong, padahal saat itu malam hari, aku tidak dapat berucap. Â Tidak hanya itu. Mataku tiba-tiba menjadi nanar, seperti ada genangan air di sana. Â Apa aku menangis? Konyol sekali.Â
Tapi tak lama kemudian Rani kembali bicara. Membuat aku tersenyum bahagia sekaligus haru.Â
"Aku belum terima dia. Â Aku masih nunggu ucapan itu dari kamu, Do."Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H