Upaya menyediakan akomodasi layak untuk pemilih disabilitas tersebut layak diapresiasi. Namun, kebutuhan tiap disabilitas berjenis sama bisa jadi berbeda.
Tidak semua disabilitas netra paham dengan braille, maupun tidak semua disabilitas rungu mengetahui bahasa isyarat sehingga perlu pemahaman semua pihak penyelenggara pemilu untuk memperhatikan ragam kebutuhan disabilitas dan menyediakannya.
Untuk itu, pendataan tentang ragam disabilitas dan tidak berhenti pada ragamnya tapi juga pada kebutuhannya. Itu adalah hal yang fundamental dan harus disediakan oleh pemerintah.
Wakil Ketua KND Deka Kurniawan menggarisbawahi partisipasi bermakna penyandang disabilitas dalam pemilu tidak hanya formalitas maupun ada, tapi bagaimana mereka mendapatkan hak berpolitik dan mendapatkan akomodasi yang layak.
Organisasi itu telah meneken nota kesepahaman (MoU) dengan Bawaslu untuk mendorong langsung pemberian akses, hingga detail kertas suara dan distribusi suara dari penyandang disabilitas.
Pihaknya juga melibatkan organisasi-organisasi disabilitas yang ada di lapangan dan membuka seluas-luasnya ruang pengaduan untuk mendapatkan informasi dan menyerap aspirasi.
Meski tidak menargetkan berapa jumlahnya, pihaknya menginginkan penyandang disabilitas mendapat setidaknya 30 persen keterwakilan seperti halnya perempuan di pemilu legislatif.
Berapa pun jumlahnya, keberadaan mereka di parlemen bisa memperjuangkan kepentingan dari sudut pandang penyandang disabilitas.
Bukankah yang tahu persis kebutuhan dan kepentingan penyandang disabilitas adalah mereka sendiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H