Kasihku, bila saja ada seuntai rindu yang membekas, maka akan kuterbangkan rinduku bersama mimpimu. Akan kubuang sepi yang meracuni hari kelabumu. Biarlah cintaku merasuk ke relung hatimu terdalam. Biarlah cintaku menyatu dengan roh jiwamu. Jika Tuhan berkehendak, maka kita akan bersanding di atas altar suci.Â
***
Mustika, sebuah nama yang indah selaras dengan paras dan lakonmu. Engkau memanglah perempuan ayu layaknya mahkota ratu bertabur berlian indah. Kuingat ketika pertama kali bertemu denganmu saat kita masih berumur belia, tepatnya saat kita duduk di bangku SMA. Masih basah dalam ingatanku kau adalah gadis kecil lugu bermata bulat indah. Wajahmu manis, bibirmu merah muda, rambut hitammu selaksa benang sutera yang semakin menyempurnakan paras elokmu. Lisanmu teduh menyegarkan obrolan panjang ketika kita pertama kali bertemu di sebuah halte sekolah. Saat itu kita sama-sama menunggu bus di bawah amukan hujan. Engkaulah bidadari pertama yang kutemui. Hatiku bersorak sorai setiap kali bertemu denganmu.
Kita dekat, bahkan bisa dibilang kedekatan kita melebihi teman. Kita selalu bersama menunggu bus di halte. Engkau selalu mengalirkan obrolan yang menghilangkan sifat diamku. Ya, aku memanglah lelaki yang kurang suka berbicara banyak. Tetapi entah mengapa setiap kali bertemu denganmu, kau selalu bisa mencairkan suasana. Kau selalu bisa membuatku berbicara banyak meski pun terkadang bahan pembicaraan kita tidaklah penting. Kau selalu menebrakan senyum bibir merah jambumu kepadaku disela-sela obrolan kita. Kau jauh lebih cantik apabila tersenyum. Kau memanglah seperti Dewi Shinta yang berhasil menakhlukkan hati Rama. Sampai saat hari kelulusan SMA, aku tidak akan pernah melupakan segala hal tentang dirimu duhai gadisku yang ayu.
"Sampai bertemu lagi, sukses selalu untukmu," ucapmu teduh sebelum kita berpisah.
"Aku tidak akan pernah melupakanmu. Tunggulah aku lima atau enam tahun lagi, setelah aku lulus kuliah. Kamu harus berjanji akan bertemu lagi denganku," sambungku.
"Baiklah, aku berjanji akan menunggumu Febrian. Kita akan bertemu lagi."
"Kelak aku akan melamarmu."
"Ah... jangan terlalu banyak bercanda," jawabmu singkat menanggapi kata-kataku yang sebenarnya itu adalah keseriusanku padamu.
***
Enam tahun telah berlalu, rinduku kepadamu telah lama mengendap dalam hatiku. Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu janji yang telah kita ukir. Aku menggantungkan berjuta-juta doa kepada Tuhan agar kita dipertemukan di atas altar sucinya. Namun rindu itu justru seolah menjadi radikal bebas yang meracuni tubuhku. Rindu itu menyesakkanku, kau mengkhianati janji kita. Kau telah melukai cintaku dan menukarnya dengan sebuah kebohongan. Aku ingin berteriak sekencang mungkin bahwa kau jahat.