Mohon tunggu...
Cerpen

Labirin Cinta Semu

19 Mei 2018   22:10 Diperbarui: 19 Mei 2018   22:19 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gadisku, ingin kubisikan kidung cinta bergelora menembus telingamu. Akan kugemakan lembut selaras petikan melodi akustik yang menusuk angin. Agar sayup liriknya jatuh tepat di palung hatimu. Agar aku bisa melihatmu tersenyum malu mendengarku melagu cinta. Sungguh aku ingin melihatmu tersipu malu. Aku ingin melihat merah malu wajah ayumu. Gelisah, aku gelisah dalam sunyi. Tanpa dirimu. Tanpa wajah manismu yang menusuk lensa mataku. Rindu. Rindu mengusik imajinasiku tentang dirimu. Aku merindu. Rinduku selayaknya dahaga yang ingin hilang oleh sejuknya segelas air. Dan air penyejuk itu adalah dirimu duhai gadisku.

 Bila kubayangkan wajahmu. Aku seolah melihat venus dalam malam tanpa bintang. Ya, bagiku kau bukan bintang, tapi venus. Karena venus lebih benderang daripada bintang. Kau terlalu terang menyala di malam kelam. Bola mata bulatmu yang kecoklatan seperti kelereng emas menyilaukan mataku yang terlalu rabun untuk menatapmu. Kulitmu seolah salju putih dingin yang menyepuh ragaku yang terlalu kering untuk berucap. Rambut panjangmu tergerai indah seindah benang-benang sutra, selaksa membentang sepanjang katulistiwa membujur. Gadisku kau begitu cantik. Bibir merah jambu segarmu lebih mirip permen stroberi, sangatlah manis bila kau tarik beberapa senti untuk membuat sebuah senyuman. Paduan lesung pipit di pipimu semakin menambah manisnya senyummu. Aku suka melihatmu tersenyum.

            Gadisku setiap hari kutuangkan warna-warni cat di atas kanvas. Jari-jariku menari-nari gemulai membentuk sketsa dirimu. Kupadukan berbagai warna hanya untuk melukis cantiknya wajahmu. Bagiku kau adalah obyek lukisan yang paling indah. Setiap hari selalu kutuangkan dirimu dalam lukisanku. Kau seperti bidadari yang berkeliaran dalam alam imajinasiku. Berkelebatan lalu lalang dalam ruang inspirasiku.  Bagiku kau adalah bunga mawar yang tumbuh subur dalam taman inspirasiku. Begitu mewangi semerbak membelai indera penciumanku. Menuangkan madu-madu asmara yang membuat semua kumbang haus akan cinta darimu. Dan jika aku kumbang akan kuhisap semua madumu agar kumbang-kumbang lain tak bisa merasakan manisnya. Aku ingin menjadi satu-satunya kumbang yang menghisap madu manismu. Kuingin mabuk cinta setelah meneguk madumu duhai bunga mawar jelitaku.

Setiap hari pula kutulis sajak asmaradana untukmu. Kusepuhkan irama akustik dalam musikalisasi sajak itu hingga tercipta kidung yang mampu menusuk angin rindu. Membawa udara cinta dalam ruang hampa kerinduanku. Memecahkan kaca pembatas yang memisahkan rinduku pada ragamu. Menyatukan rinduku pada lembutnya ruh dalam jasad elokmu. Setiap jengkal bagian dari ragamu adalah seni keindahan dunia. Sangat mempesona. Membangkitkan imajinasi dan inspirasiku. Dirimu adalah pendongkrak seni jiwaku.

Bermekaran mawar merah jambu dalam taman jiwa

Semerbak arum mengelus lembut nadi-nadi jantung

Tahukah dirimu? Aku ingin kita sejanak bersama

Merangkai sajak-sajak gerimis menjadi hujan-hujan rindu

Menemukan irama cinta yang terbang tertiup angin

Dan merangkai lirik-lirik asmaradana di bawah rinai hujan

***

Kala itu aku bertemu denganmu pertama kali di bawah amukan hujan. Aku yang hanya bocah SMP menunggu bus di halte saat akan berangkat sekolah. Aku sendiri dalam balutan pagi yang sunyi nan dingin. Lalu kau datang tanpa diduga. Kau diam. Aku pun diam. Kita sama-sama memandangi daun-daun pohon kersen melayang-layang terhempas angin dan benalu-benalu yang melekatinya seolah terasa ngilu disepuh dingin hujan.

Sepuluh menit jarum jam tanganku berputar baru kudengar bunyi dari pita suaramu. Kita pun berkenalan. Seketika suaramu menelusup dan menggetarkan membran timpaniku. Begitu lembut kau sapa ragaku. Aku tahu namamu. Kau tahu namaku.

Lima menit bergulir kulihat tanganmu merogoh sesuatu dari dalam tas birumu. Rupanya sebuah sapu tangan yang hendak kau ambil. Lantas sapu tangan biru bergaris-garis itu kau sodorkan kepadaku.

"Ini ambillah. Usaplah percikan air hujan di wajahmu itu," cecarmu sambil tersenyum.

"Terimakasih," ucapku lirih malu-malu.

Kuakui aku memanglah lelaki pemalu. Aku lebih suka diam daripada banyak bicara. Banyak yang menyebutku pendiam. Memang beginilah diriku. Tapi karena diamku itu aku justru bingung harus memulai darimana agar bisa mengobrol denganmu. Jujur baru kali ini aku terpesona dengan keelokan seorang gadis seperti dirimu. Namun sepertinya kau mengerti diriku. Kau cairkan suasana keteganganku. Kau mengajakku mengobrol panjang lebar.

Akhirnya bus yang kutunggu telah sampai. Aku terpaksa meninggalkanmu di halte sendiri dalam sunyi hujan pagi. Aku terus menatapmu. Berharap akan dapat bertemu lagi denganmu entah itu kapan.

"Hati-hati Juna," serumu padaku.

"Kakak juga harus hati-hati" sambungku.

***

Kini pagi yang dingin telah digantikan siang yang menghangat. Seperti biasa usai pulang sekolah aku langsung belajar mengasah jiwa seniku di sanggar seni milik kakekku. Ya, kakekku memang seniman serba bisa. Dan dalam darahku mengalir jiwa seni yang beliau miliki. Sejak umur enam tahun aku sudah terjun dalam dunia seni lukis dan drama. Umur delapan tahun aku mulai menggeluti seni sastra. Aku mulai menulis sajak dan prosa. Dan demi bisa belajar seni lebih dalam di sanggar seni milik kakek aku rela tinggal jauh dari orang tuaku. Hingga akhirnya sampai sekarang aku aktif di sanggar seni milik kakek.

Namun di suatu hari ada yang berbeda di sanggar, aku melihat sosok yang tak begitu asing oleh kornea mataku. Ya, aku melihat gadisku. Aku melihatmu Dinda.  Rupanya kau guru lukis baru di sanggar seni kakek. Dan kau pun menghampiriku. Kau menyapaku dengan senyum bibir permen strobery milikmu, menatapku dengan bola mata kelereng emasmu. Aku Seperti terhipnotis akan sosokmu. Serasa jiwaku ini melayang ringan di atas rerumput hijau padang sabana. Terhempas diatas altar mawar merah yang mewangi semerbak membelai indra pencimanku. Duhai Dinda aku menyukaimu.

***

Dinda tanpa terasa sudah setengah tahun kita bersama. Selama setengah tahun kau ajari aku banyak hal tentang melukis. Dalam hal melukis kau memang lebih berpengalaman daripada aku. Setiap hari kita duduk berdampingan, melukis bersama. Pernah suatu kali aku melukis dirimu. Aku melukismu mengenakan gaun biru muda klasik yang anggun. Kau  pun bertanya padaku tentang dirimu dalam lukisanku itu.

"Juna, mengapa harus aku yang kamu lukis?"

Dinda aku malu untuk menjawab pertanyaanmu itu. Lebih baik aku diam. Aku tak ingin kau tahu perasaannku. Dinda gadisku betapa bermekaran hatiku saat kau terima dengan senang hati lukisanku yang berinspirasikan dirimu. Senyummu tak hentinya terkembang memandangi setiap lekuk paras ayumu dalam lukisan itu. Sejak saat itu aku semakin sering melukis dirimu, menulis sajak untuk dirimu. Aku rutin memberimu lukisan dan sajak-sajak. Anehnya kau tak pernah bosan untuk menerima hadiah-hadiah kecil dariku itu, meski aku sering merasa hadiah-hadiah itu tak ada artinya. Tapi aku yakin kau selalu senang menerima hadiahku. Aku tahu itu dari tatap mata jernihmu. Dalam luksisan itu pula kutulis sajak di sebelah bawah yang melambangkan perasaanku padamu.

Kini sepasang tanganku terlanjur bermetamorfosis

Menjadi sepasang sayap merpati

Dengan kepakan sayapku, ku kan terbang dan hinggap ke sarangmu

Disini, di sarang kerinduanmu

Aku harap kita dapat menata senja 

Meratapi tiap detik bola api itu termakan mulut bumi yang uzur

Membalas senyum ranting-ranting pohon yang menyapa

Tapi aku sadar. Aku tak mungkin pantas bersanding denganmu. Ya, aku hanya lelaki pemimpi bodoh yang selalu menginginkan dirimu tanpa pernah berpikir panjang. Kau gadis dua puluh lima tahun. Sedangkan aku lelaki empat belas tahun. Ah, tak pantas kusebut diriku lelaki, aku lebih pantas disebut bocah ingusan. Aku sadar akan deretan angka yang menbentang palang melintang cinta kita. Cinta kita? Tidak! Ini adalah cintaku. Aku tahu kau tak mencintaiku. Kau hanya menganggapku sebagai seorang adik. Tak lebih bukan?

Aku tahu aku bukanlah anak laki-laki normal pada umumnya. Aku tahu bahwa aku telah menyimpang dari norma-norma yang umumnya berlaku dalam lingkungan masyarakat. Telah kuabaikan etika-etika yang seharusnya kujunjung tinggi. Aku tahu aku telah salah mencintai wanita dewasa sepertimu. Aku seperti orang yang tak tahu dunia nyata dan dunia semu. Aku telah terjebak dalam labirin cinta semu.

Suatu ketika ada hal yang tak pernah kusangka sebelumnya. Kala itu kakek memanggilku ke teras depan. Kukira kakek menyuruhku menemaninya duduk sambil menikmati secangkir teh hangat. Jauh dari perkiraanku, kakek melontarkan pertanyaan yang sejenak membuat dadaku sempit untuk menjawabku.

"Juna, kakek dengar dari anak-anak sanggar katanya kamu dekat dengan sekali dengan Dinda ya?"

"Dia sudah mengenggapku sebagai adiknya. Juna juga mengenggapnya seperti kakak Juna sendiri." Dan kak Dinda hanya mengajariku melukis. Tak lebih dari itu kek."

"Baiklah kakek percaya padamu. Kakek yakin kamu memang anak yang baik. Cucu kakek yang pendiam dan tak pernah berbuat macam-macam," Kakek mengucapkannya sambil tersenyum kecil.

Tak kusangka kedekatanku dengan Dinda sudah tercium oleh teman-teman sanggar seni. Aku tak ingin melihat kakek kecewa akan ketidaknormalan perilakuku ini. Namun disisi lain aku juga sulit menghilangkan rasa cintaku pada sosok seorang Dinda. Aku terlalu lemah untuk melawan gejolak hatiku sendiri. Aku sudah terlanjur tersesat jauh dalam alam cinta yang semu. Aku telah salah menaruh hatiku.

Masih segar dalam otakku tatkala aku melihatmu berjalan berdua dengan seorang lelaki yang sepertinya lebih tua beberapa tahun darimu di taman kota. Kulihat ia menggandeng tanganmu. Lalu ia mengajakmu duduk di bangku taman, mengajakmu mengobrol berdua. Kau dan dirinya tampak begitu mesra. Terbakarlah hatiku menyaksikan pemandangan menyakitkan itu. Namun aku hanya bisa diam membisu tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku hanya dapat menahan sakitku dalam diamku. Aku tahu cinta tak harus memiliki. Tapi cinta itu harus memahami. Dan diriku yang pecundang ini hanya bisa mencintaimu dalam kekagumanku akan sosokmu. Yang bisa kulakukan hanyalah lapang dada melihatmu bersama laki-laki lain itu yang ternyata adalah suamimu.

Andai bisa kau lantunkan tembang megatruh 

Tuk mewakili luka yang mengiris nadi

Agar bisa mengobati dahaga jiwaku sepiku

Bila kubertanya sampai kapan aku  akan bertahan tanpa dirimu

Adakah jawaban yang bisa memberi kesempatan?

***

Kugenggam pisau di tangan kananku dengan gemetar. Pisau ini siap memotong urat nadi pergelangan tangan kiriku. Kuharap aku akan mati dengan apa yang kulakukan ini. Kau tahu mengapa aku melakukan ini? Aku tidak tahan menahan rasa sakit yang begitu dalam ini. Sakit karena kesalahanku mencintaimu. Dengan gerakan tangan kanan kauyunkan pisau itu, kugoreskan di pergelangan tangan kiriku perlahan-lahan. Darah merah segar mengalir deras dari pergelangan tangan kiriku. Tubuhku semakin tak berdaya. Nyawa serasa ingin tanggal dari jasadku. Kuharap nyawaku ini kelak akan membawa terbang rasa cintaku padamu. Biarlah cinta ini kusimpan di atas langit tanpa tersisa di bumi. Agar tak akan pernah membekas. Agar kau tak akan pernah tahu. Aku akan menghapus dosa terbesarku karena mencintaimu. Kau akan lebih bahagia bersama suamimu.

Mataku sudah menutup. Semua menjadi gelap. Bayang-bayang sosokmu perlahan menghilang dari pelupuk mataku. Terusir gelap yang membahana. Kesadaranku sudah menghilang. Mungkin inilah pertanda bahwa Tuhan akan membawaku ke langitnya. Membawaku bersama cinta terlarangku ini padamu. Tiba-tiba aku mendengar suara kakek memanggil-manggil namaku sambil menangis. Aku yakin kakek menangis karena kepergianku. Kurasa aku telah benar-benar mati. Namun saat kubuka mataku perlahan. Aku justru terkaget melihat kakek berada disampingku. Beliau menggenggam tanganku erat-erat. Kulihat sekitarku ada tabung oksigen, jarum infus dan alat-alat rumah sakit lainnya. Aku salah, ternyata Tuhan belum menghendakiku mati. Aku masih hidup dan terbaring di ranjang rumah sakit. Kakek pun bertanya apa yang terjadi padaku. Dengan kondisi tubuh yang masih lemas kuceritakan semuanya meski semula aku enggan.

"Sebenarnya saya telah berbohong pada kakek. Sebenarnya saya sangat mencintai kak Dinda. Saya mencintainya bukan sebagai kakak, tapi sebagai wanita pilihan saya kek. Juna tahu kalau ini sangatlah tidak sesuai dengan norma dan etika yang telah kakek ajarkan pada Juna. Maafkan Juna kek. Juna tidak bisa menjadi cucu yang baik bagi kakek."

Lalu kakek pun memelukku. Aku tahu kakek berusaha menguatkan dirinya sendiri. Aku dapat menangkap raut kekecewaan pada wajah kakek.

 "Ini semua bukan salah Juna. Ini salah kakek. Ya, kakek kurang mendidikmu."

Kakek sangat kaget mendengar ceritaku. Ya, cerita tentang diriku yang mencintai wanita dua puluh lima tahun dan sudah bersuami.

  • ***

Setelah aku keluar dari rumah sakit, kakek membawaku ke tempat Bu Nana. Beliau adalah psikolog yang sudah ahli menangani permasalahan remaja. Dari Bu Nana, aku mendapat banyak pencerahan tentang arah jalan hidupku. Dari beliau juga aku belajar memperbaiki hidupku. Setelah Bu Nana menyatakan bahwa keadaanku sudah membaik, kakek begitu lega. Lalu aku pun memutuskan untuk tidak tinggal lagi bersama kakek. Aku lebih memilih pergi untuk tinggal bersama orang tuaku di Sydney.

Dari balik jendela kulihat sebentar galeri kakek tanpa masuk kedalamnya. Di salah satu sudut ruangan kulihat gadis itu sibuk  melukis. Aku hanya berdiam dan berjalan perlahan menjauh darinya menuju mobil yang akan mengantarkanku ke bandara. Akan kutinggalkan galeri ini dengan segala kenangan pahit yang terukir.

Dinda gadisku, kan kuterbangkan cintaku lewat desiran angin yang terbang mengembang. Akan kualirkan jauh rasa rinduku bersama tetes-tetes rintik hujan yang jatuh di sungai. Agar rindu itu semakin jauh dan larut bersama aliran sungai. Kuharap aku bisa melupakan cinta terlarang ini. Aku tak ingin tergesa-gesa mencari jalan untuk mencintai. Karena aku tak ingin tersesat lagi dalam labirin cinta yang semu. Sejenak kulimpahkan doa pada Tuhan. Berharap aku tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kesalahan mencintai wanita yang seharusnya tak boleh kucintai

Tuhan, kuatkanlah aku meski tulang-tulangku roboh satu per satu

Meski rasa ini selalu mencabik-cabik jiwa, berilah aku cahaya keikhlasan

 Karena sepasang rusuk putih  yang telah menyokongku di bumi 

telah hilang.....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun