Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Ladang Pencemaran

18 Agustus 2016   12:20 Diperbarui: 18 Agustus 2016   12:29 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kala pagi menyemburatkan sinar mentari, kulihat tempat ini semakin memburuk. Ya, semenjak tiga tahun yang lalu aku bekerja disini sebagai ilmuan suasana alamnya masih bersih tanpa noda. Tetapi sejak enam bulan yang lalu tepatnya, suasana di area ini telah terdegradasi. Tempat ini terletak di sebuah desa di daerah yang penduduknya tidak terlalu padat. Dulu setiap pagi selalu ada kicauan burung yang menembus membran timpani telingaku. 

Namun kini tak dapat lagi kudengar kicau-kicau indah burung-burung itu. Kupu-kupu species Papiliosp yang biasanya hinggap di bunga asoka tak nampak lagi di pandangan korneaku. Hewan itu semakin hari semakin menghilang entah kemana. Begitu pula dengan serangga-serangga air yang biasanya berjalan-jalan di permukaan atas tepian sungai yang tenang sudah tak kutemui lagi. Justru yang kutemui di sungai adalah ikan gatul yang dari hari ke hari semakin banyak jumlahnya. Ikan gatul merupakan salah satu indikator untuk mengetahui pencemaran air. Semoga pencemaran di sungai ini tidak terlalu berat meski setiap hari jumlah ikan gatul meningkat.

            Aku juga mengamati bunga-bunga dan pepohonan. Bunga-bunga bungur cina yang ditanam Profesor Masaru juga menunjukkan gejala-gejala yang tak lazim. Daun-daun tanaman tersebut semakin hari banyak yang berguguran. Sungai yang dulunya bersih kini berubah menjadi coklat keruh penuh limbah. Selain itu bau air sungai tidak sedap karena sudah tercemar zat-zat kimia sintetis yang berbahaya. Bila setiap hari menghirup bau yang tidak sedap dari sungai itu mungkin syaraf olfaktori hidungku bisa rusak. Bau tidak sedap ini mungkin saja dikemudian hari bisa menjadi mutagen bagi organisme hidup.

            Aku mencoba mencari Planaria di bebatuan sungai, namun tak kutemukan. Lalu aku pun mengambil air dari sungai untuk kujadikan sampel. Aku ingin melihat masih adakah protozoa dalam air tersebut. Jika masih banyak terdapat protozoa maka dapat kupastikan sungai belum terkena pencemaran berat. Aku kembali ke laboratorium. Segera kusiapkan mikroskop, pipet tetes dan kaca preparat. Aku mencoba memfokuskan lensa mikroskopku dengan mengganti perbesarannya. Tetapi tak kutemui satu pun protozoa di dalam sampel air yang kuambil dari sungai.

            “Chris, aku sudah berkali-kali mengganti sampel tetapi tak kutemukan satu pun protozoa di dalamnya.” Aku mengatakan hal ini pada Chris, rekanku di laboratorium ini.

            “Ya aku tahu. Kemarin aku sudah mengamatinya juga. Malah aku menemukan cacing tubifex dalam sampel air yang kuambil dari sungai. Dan saat aku menelusuri bebatuan habitat Planaria, aku tidak menemukan satu pun Planaria.” Sambung Chris.

            “Benarkah kau menemukan cacing Tubifex?”

            “Ya, aku berkata benar Emely. Kemarin aku juga mengambil gambar cacing tersebut.”

            Sungguh kata-kata Chris tersebut sangat mengejutkanku. Aku yang semula  mengira pencemaran air sungai tersebut masih dalam batas pencemaran yang tidak berat ternyata terpatahkan sudah oleh bukti berupa foto cacing Tubifex dari Chris.

            “Mungkin sebentar lagi area ini akan menjadi ladang pencemaran.” Seru Profesor Masaru yang tiba-tiba saja muncul di hadapan kami.

            Profesor Masaru adalah guru besarku saat aku menimba ilmu di Jepang. Beliau adalah ilmuan sekaligus dosen biologi. Aku selalu menghargai beliau, beliau adalah sosok ilmuan yang sangat peka dan sabar. Pria berusia 65 tahun ini selalu setia membimbingku dan Chris menjadi ilmuan yang berguna untuk siapa saja. Saat beliau kembali ke Indonesia aku ditawari untuk menjadi salah satu ilmuan di laboratorium milik instansi pemerintahan yang beliau kelola. Beliau berperan besar dalam melestarikan area di sekitar laboratorium.

 Di dekat laboratorium beliau membangun taman konservasi bunga anggrek dan species bunga lainnya yang nyaris punah. Beliau juga membuat kolam Hydrylla. Di depan laboratorium ada bunga bungur cina yang mirip seperti bunga sakura. Ya, beliau bilang bunga tersebut mengingatkannya pada negeri sakura tempat kelahirannya.

            “Prof tolong jelaskan pada saya, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa pabrik industri tersebut harus dibangun tepat di samping laboratorium ini?”

            “Emely pabrik industri itu adalah proyek pemerintah yang katanya bisa memajukan industri bagi bangsa ini, selain itu laboratorium ini juga merupakan milik mereka. Aku hanyalah ilmuan yang diperkerjakan disini seperti kau dan Chris. Aku tidak punya wewenang menentang mereka.” Suara yang keluar dari pita suara Profesor mengisyaratkan ketidakberdayaannya akan kondisi terdesak ini.

            “Lalu apakah kita akan membiarkan ini semua berlanjut Prof? Bukankah dulu mereka sendiri yang mengatakan bahwa lahan ini merupakan lahan untuk konservasi.” Sambungku.

            “Sekarang kau tahu kan bahwa pemikiran mereka telah termutasi dengan kemajuan industri  hingga mengorbankan kelestarian alam ini. Semua orang bisa saja berubah pikiran.” Ucap Profesor lagi.

Profesor pun segera beranjak pergi meninggalkan aku dan Chris. Dari tatapan korneanya aku tahu bahwa beliau merasa tidak maksimal menjaga lingkungan di sekitar laboratorium ini. Aku tahu beliau sangat merasa bersalah dengan semua keadaan ini meski bukan beliaulah pelaku pencemaran ini. Baru kali ini kulihat profesor Masaru begitu kecewa dan putus asa.

***

            Sudah seminggu aku, Chris dan tentunya Profesor Masaru memantau perubahan drastis yang terjadi di tempat ini. Udara yang  kami hirup sudah terkontaminasi oleh debu-debu dan asap dari pabrik. Sudah lima hari kami memakai masker agar oksigen yang kami hirup tidak tercampur partikel debu dan asap. Selain itu juga untuk melindungi kami dari bau busuk air sungai yang tercemar oleh limbah pabrik. Ya, kami tak ingin gen-gen dan kromosom-kromosom dalam tubuh kami termutasi oleh bau busuk zat-zat kimia sintetis berbahaya dari limbah air sungai tersebut.

            Aku pun menelusuri area sekitar laboratorium. Kulihat tanaman-tanaman disini sudah banyak yang layu bahkan mati. Daun-daun hijau tanaman-tanaman tersebut telah tertutup abu hitam. Ikan-ikan air tawar yang  biasanya berseliweran di sungai kini banyak yang mengambang mati di permukaan sungai. Jumlah ikan gatul yang biasa hidup dalam air yang tercemar justru semakin bertambah banyak. Bunga-bunga bungur cina yang biasanya menyemburatkan rona merah muda mahkotanya kini hanya batangnya yang lapuk. Hydrillayang dibiakkan profesor juga tak berdaya oleh pencemaran lingkungan. Suhu di tempat ini pun semakin meningkat akibat asap yang dihasilkan dari pabrik. Semakin panas hingga rasanya dapat mengelupaskan epidermis kulitku.

 Pikiranku pun kembali ke masa lalu disaat pertama kali aku datang ke tempat ini. Setiap menjelang pagi dan senja aku selalu menyusuri tempat ini. Menikmati indahnya alam yang membentang. Dulu tempat ini seperti surga bagi kupu-kupu species Papillio spdan serangga-serangga lainnya. Bunga-bunga mewangi semerbak menghangatkan indra penciumanku. Udara segarnya kaya akan oksigen. Terkadang selepas hujan semburat pelangi turut serta menghiasi awan tanpa tertutupi oleh asap tebal.

            Lobus frontalis otakku masih dapat mengingat jelas kenangan-kenangan indah di tempat ini. Ya, semua itu masih segar dalam otakku. Disisi lain otakku juga bekerja keras memikirkan solusi untuk perbaikan tempat ini. Aku berpikir keras untuk menemukan jawaban dari problematika besar ini hingga rasanya sel-sel neuron otakku lumpuh. Aku bingung harus dengan cara apalagi untuk mempertahankan kelestarian tempat ini.

            Saat aku larut dalam kenangan masa lalu tersebut, tiba-tiba Chris datang menghampiriku. Tatapan mata Chris yang biasanya tajam kini berubah menjadi sayu. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama denganku.

            “Aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku juga berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini.”

            “Lalu apa yang harus kita lakukan? Akankah kita pasrah akan keadaan? ”

            “Apa maksudmu Emely?”

            “Di saat seperti ini aku merasa menjadi ilmuan yang tidak berguna Chris.”

            “Bicara apa kau? Ilmuan sejati itu pantang menyerah, itulah falsafah hidup seorang ilmuan. Bukankah sejak duduk di bangku kuliah kita sudah mempelajari falsafah hidup seorang ilmuan tersebut. Mudah sekali kau melupakan itu. ” Chris mengatakan hal itu dengan nada yang sedikit ditekan dari pita suaranya.

            “ Kau benar Chris”

            Kata-kata Chris tersebut seperti sebuah antioksidan yang membasmi radikal bebas dalam tubuhku. Tubuhku sekejap serasa kaku mendengar kalimat pencerahan dari Chris tersebut. Chris mampu membuka pikiran terbodohku. Sungguh sulit kupercayai seorang Chris mampu mematahkan pesismistis yang menjadi mutagen dalam pikiranku.

***

            Malam ini kulihat Profesor Masaru duduk terdiam di beranda laboratorium. Kopi yang kubuatkan satu jam yang lalu tak disentuhnya sama sekali. Bahkan sampai minuman berkafein itu dingin belum juga beliau teguk setetes pun. Dari raut wajahnya aku tahu bahwa beliau sedang dalam sebuah dilema. Ya, dilema akan tempat yang sebentar lagi menjadi ladang pencemaran ini. Beliau terlihat begitu gelisah. Begitu juga dengan Chris, sedari tadi ia hanya mondar-mandir tak jelas. Tatapan matanya masih sayu dan terkesan kosong. Aku tahu ia sedang berpikir keras menyikapi dan menemukan solusi dari semua masalah pencemaran ini. Sesekali ia seperti orang ling lung.

            “Emely, Chris.” Tiba-tiba profesor memanggilku dan Chris.

            “Iya Prof.” Sambung kami.

            “Aku sudah berkali-kali mengirim surat permohonan agar tempat ini tidak dijadikan pabrik. Tetapi surat-suratku itu ditolak mentah-mentah. Bahkan aku juga sudah berkali-kali memohon secara langsung. Tapi tetap saja tak ada respon positif. Seperti kataku tempo lalu, aku tak punya wewenang atas tempat ini.”

            “Iya prof saya paham akan perasaan Profesor, saya dan Chris juga merasakan hal yang sama.”

            “ Baru kali ini aku mengalami sebuah kegagalan besar sepanjang sejarah hidupku menjadi seorang ilmuan.”  Profesor Masaru menyatakan hal itu  dengan penuh penyesalan dan kekecewaan.

            Aku dan Chris menghela nafas panjang. Kami larut dalam sebuah dilema yang menyakitkan. Lebih sakit daripada tersengat nematokis hewan coelenterata. Betapa kami telah gagal mempertahankan hijaunya tempat ini, gagal dalam melindungi flora dan fauna langka. Kami telah gagal menjaga sumber daya alam yang ada di tempat ini. Kami kalah telak dengan orang-orang tak bermoral yang tega  menggadaikan kekayaan alam dengan dalih memajukan industri bangsa. 

Ya, orang-orang itu sungguh kejam. Semboyan-semboyan “Back To Nature” hanyalah kebohongan besar bagi orang-orang munafik itu. Pada kenyataannya merekalah yang ikut berpartisipasi besar membuat global warming. Aku benci orang-orang munafik itu. Apa yang mereka lakukan dapat merugikan semua aspek kehidupan. Pencemaran tersebut dapat mengganggu kesehatan manusia, kualitas hidup dan juga fungsi alami dari ekosistem.

            “ Kalian tahu? Tiga hari lagi laboratorium ini akan digusur. Lahan tempat laboratorium ini berdiri akan dijadikan bangunan pabrik juga. Mau tidak mau kita harus meninggalkan laboratorium ini.”

            Jantungku berdebar kencang mendengar informasi dari Profesor tersebut. Kerja syaraf simpatetikku meningkat hingga rasanya jantungku ingin meledak. Tanpa sadar keringat dingin keluar dari kulitku. Aliran darahku serasa membeku dan mengganjal dalam pembuluh arteri dan vena tubuhku. Aku tak mengira akan separah ini. Tak sampai hati aku mendapati kenyataan pahit bahwa laboratorium ini akan digusur. Mengingat profesor Masaru telah menghidupkan laboratorium ini dengan usaha dan kerja keras. Tanpa kenal peluh yang membasahi dan selalu  penuh dengan rasa ikhlas. Bagiku beliau adalah guru sekaligus ilmuan terhebat yang pernah kutemui.

            “Prof, di saat ini kita memang gagal. Tapi saya yakin di suatu hari pasti kita dapat membuat tempat ini seperti semula. Bebas dari segala pencemaran. Saya yakin akan hal itu.” Seru Chris.

            “Chris, kau...”

 Belum sempat profesor Masaru melanjutkan kata-katanya, Chris sudah memotongnya.

“Prof, dulu Profesor pernah berpesan pada saya, profesor mengatakan bahwa ilmuan sejati itu selalu optimis. Pantang menyerah. Selalu berpegang teguh pada keyakinan dan komitmennya.  Ilmuan sejati tak akan berhenti di tengah jalan meski mengalami kegagalan seribu kali. Profesor juga pernah mengatakan bahwa pesimistis tak lebih dari sikap takabur seorang ilmuan pecundang.” Ujar Chris dengan nada penuh keyakinan. Untuk kesekian kalinya ia mengatakan hal itu.

“Iya prof, saya juga yakin suatu saat pasti kita bisa merubah keadaan.” Sambungku. Profesor pun tersenyum melihat semangat Chris meski sebenarnya hati Chris juga berkecamuk.

Chris memang telah berhasil mengubah pikiran gelap kami dengan kalimat-kalimat pembangkitnya. Kata-kata Chris itu seperti enzim yang dapat mempercepat proses metabolisme. Ya, kata-katanya memang seperti katalisator pembangkit optimisme kami.

Malam sudah terhapuskan oleh pagi. Dalam balutan pagi berselimut mendung kami sudah bersiap-siap untuk meninggalkan laboratorium ini. Semua barang-barang laboratorium sudah dikemas rapi dan siap dimasukkan ke dalam mobil. Sebelum meninggalkan tempat ini aku menyempatkan diri untuk menanam bungur cina di tempat yang lokasinya agak jauh dengan laboratorium, namun masih satu area. Aku berharap bungur cina tersebut akan dapat hidup dan tumbuh meski kondisi lingkungan tak mendukung.

“Emely, ayo cepatlah. Sebentar lagi hujan turun.” Seru Chris kepadaku.

Dengan beribu kenangan yang membekas erat dalam ingatanku, aku meninggalkan tempat ini. Aku dan Chris akan bekerja sebagai ilmuan di Jakarta. Sedangkan profesor Masaru kembali ke Jepang.

Aku memasuki mobil Chris, sementara Profesor Masaru sudah berangkat ke Jepang setengah jam yang lalu. Satu hal yang tak akan pernah kulupakan, pesan Profesor Masaru sebelum meninggalkan tempat ini. “Suatu saat hidupkanlah kembali tempat ini. Perjuangkanlah apa yang kalian anggap benar. Perjuangkanlah demi dunia yang lebih baik. Kalian ilmuan-ilmuan hebat.” Itulah sepenggal pesan dari profesor Masaru. Helaian rintik hujan pun turun, dari dalam mobil kupandangi tempat ini dari balik kaca. Mobil Chris melesat perlahan meninggalkan tempat bersejarah ini. Kini hanya tinggal sebuah harapan yang bergemuruh di dalam dada kami. Harapan untuk bisa memperbaiki tempat ini. Harapan untuk bisa menyapu bersih semua polusi di tempat ini.

***

Lima tahun kemudian

            Kutapaki perlahan jalan ini. Ya, jalan menuju laboratorium tempatku bekerja lima tahun  yang lalu bersama Chris dan profesor Masaru. Sepanjang jalan hanya kepulan asap tebal yang kulihat. Tampaknya pencemaran semakin parah. Lahan dimana dulu laboratorium berdiri tegak, kini telah tergantikan oleh banguan pabrik. Aku segera menuju tempat dimana lima tahun yang lalu aku pernah menanam bungur cina sebelum meninggalkan tempat ini. Menakjubkan, bunga bungur cina tersebut tumbuh menjulang tinggi. Mahkota-mahkota merah muda bunganya menyemburat. Memancarkan keteguhannya dalam berjuang hidup pada lingkungan tercemar.

            “Sekarang, apa kau sudah siap merubah tempat ini seperti semula?” Ucap Chris yang tiba-tiba berdiri di belakangku.

            “Tentu, aku siap menghadapi segala resiko demi membersihkan tempat ini dari segala pencemaran. Kurasa kita harus bergerak cepat menjalankan bioremediasi yang sudah kita rancang dengan matang.”

            Sudah jauh hari aku dan Chris berusaha keras menemukan cara ampuh untuk mengatasi pencemaran ini. Belakangan kami tertarik dengan biremediasi. Bioremediasi adalah pemulihan lahan atau lingkungan tercemar dengan menggunakan mikroorganisme. Bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan sehingga lingkungan kembali bersih dan alamiah. 

Mikroba yang hidup di tanah dan di air tanah dapat memakan bahan kimia berbahaya tertentu, misalnya berbagai jenis minyak. Mikroba dapat mengubah bahan kimia ini menjadi air dan gas yang tidak berbahaya. Cara itulah yang akan kami gunakan.  Kami siap menghadapi segala resiko dan tantangan demi hilangnya pencemaran di lingkungan tempat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun