Mohon tunggu...
Nurul Hikmah Giawa
Nurul Hikmah Giawa Mohon Tunggu... Mahasiswa - English Education Student

Newbie writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menemukan Arah

31 Mei 2024   21:56 Diperbarui: 31 Mei 2024   22:51 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menemukan Arah

By: Nurul Hikmah Giawa

Di dalam sebuah rumah sederhana yang berada di tengah hiruk-pikuk kota, seorang anak perempuan di depan meja belajarnya, berusaha menyelesaikan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan esok hari.

"Akhirnya selesai juga." kata Shafa, seorang siswa kelas 11 SMA yang sederhana dan penuh semangat untuk mencoba hal-hal baru. Meskipun tidak terkenal di sekolah karena kecerdasannya, beberapa guru mengenalnya karena ketekunan dan kedisiplinannya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.

Saat ini, Shafa sedang menjalani perjalanan mencari esensi dirinya. Ia merasa bingung mengenai langkah apa yang akan diambilnya setelah menyelesaikan SMA. Shafa memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, namun ia masih terhimpit kebingungan dalam memilih jurusan yang akan ia tekuni di masa depan.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Shafa menyetel alarm untuk besok pagi dan bergegas tidur.

Drrriiinnggg!

Alarm berbunyi menunjukkan pukul 5:00.

Shafa terbangun dari tidurnya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Saat ini Shafa sudah berada di dalam ruangan kelas MIPA 3 dan sedang menyimak penjelasan dari guru biologi mereka.

Tok...tok....

"Permisi, Bu." Ucap seorang anak di depan pintu kelas.

"Ia. Ada yang bisa saya bantu?" Jawab Bu Rini.

"Saya ingin menyampaikan bahwa Ibu kepala sekolah memanggil Shafa untuk menemuinya di kantor sekarang." Kata anak tadi.

"Shafa, kamu boleh keluar menemui Ibu kepala sekolah." Ucap Bu Rini.

"Baik, Bu." Balas Shafa sembari berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar kelas.

Di ruangan kepala  sekolah

"Silakan masuk, Shafa." Ucap Bu Dina kepala sekolah.

"Baik, Bu. Terimakasih." Balas Shafa sambil duduk di kursi dekat Bu Dina.

"Tujuan Ibu memanggil kamu adalah untuk menyampaikan bahwa kamu diutus menjadi perwakilan sekolah dalam olimpiade Matematika tingkat nasional." Ucap Bu Dina.

Deg

Shafa terdiam kaget mendengar ucapan kepala sekolahnya itu.

"Jadi, Apakah kamu bersedia?" lanjut Bu Dina.

Shafa kebingungan merespon pertanyaan tersebut. Setelah beberapa detik terdiam akhirnya dia membuat sebuah keputusan.

"Baik. Saya siap menerima tanggung jawab ini, Bu." Jawab Shafa dengan senyuman.

Setelah pertemuan dengan kepala sekolah, Shafa belajar dengan sangat gigih untuk menghadapi olimpiade yang akan di adakan 2 minggu kedepan.

Waktu terus berlalu dan tepat pada hari ini Shafa akan mengikuti perlombaan.

Shafa memasuki ruangan yang telah dipenuhi oleh siswa dan siswi dari sekolah lain.

Dia dengan penuh keyakinan mengerjakan semua soal. Setelah menyelesaikan semua soal, Shafa mengirim hasil jawabannya dengan menekan tombol "submit" pada komputer yang digunakannya. Begitupun dengan peserta lain yang telah berjuang mengerjakan soal- soal matematika tersebut.

Shafa dan peserta lain sedang menunggu hasil lomba. Pengumuman langsung  disampaikan hari itu juga karena komputer akan langsung menghitung skor tertinggi diantara semua peserta.

"Selama Sore, Bapak, Ibu, dan Siswa Siswi yang hadir pada olimpiade Matematika hari ini. Saat ini, saya berdiri dihadapan Anda sekalian untuk mengumumkan hasil lomba yang telah diputuskan." Kata pembawa acara yang berdiri di atas panggung.

Hati Shafa terus berdetak dua kali lebih cepat menantikan siapa yang akan menjadi juara satu dalam perlombaan ini.

"Juara ketiga jatuh kepada Farel Aditya." Suara tepuk tangan pun memenuhi ruangan. 

"Juara kedua jatuh kepada Alesa Diana"

Lagi dan lagi tepuk tangan memenuhi ruangan.

"Dan Juara satu jatuh kepada............... Aqila Adinda."

Deg

Shafa pun terdiam kaku mendengar namanya tidak disebut.

Dia ingin menangis. Namun, tangisan itu ditutupi oleh Shafa dengan tersenyum.

Shafa tidak ingin mengecewakan sekolahnya pada olimpiade ini. Namun takdir berkata lain. Perlombaan kali ini bukanlah rezeki nya menjadi juara.

Shafa pulang ke rumah dan memberitahu orang tuanya tentang hasil lomba tadi.

"Pa...Ma...Aku kalah." Ucap Shafa dengan setetes air mata jatuh dipipinya.

Mama Shafa langsung memeluk sembari berkata

"Tidak apa apa Shaf. Kamu udah melakukan yang terbaik. Kami semua bangga sama kamu." Ucapnya sambil mengelus kepala Shafa.

"Betul, nak. Tidak apa apa jika kamu belum juara. Ini sebagai pengalaman untuk kamu supaya belajar lebih giat lagi. Oke?." Ujar Papa Shafa dengan suara lembut.

Shafa pun menganggukkan kepalanya dan beranjak menuju kamarnya untuk mengganti pakaian.

Kini Shafa berbaring di tempat tidurnya dan terus memikirkan perkataan dari Papanya tadi.

"Ini pengalaman untuk kamu supaya belajar lebih giat lagi."

Saat itu juga Shafa bangun dari kasurnya dan langsung duduk di depan meja belajarnya. Shafa membuka buku matematikanya dan terdiam sejenak.

Setelah beberapa detik terdiam Shafa berkata.

"Aku akan belajar lebih giat lagi. Sekarang aku yakin untuk memilih matematika sebagai jurusanku saat perguruan tinggi nanti." Ucapnya pada diri sendiri.

Mulai hari itu, Shafa telah yakin untuk melanjutkan pendidikannya dengan memilih jurusan matematika.

............

"Selamat pagi, Anak-anak" Ucap seorang guru matematika di dalam ruangan kelas bernama Shafa.

TAMAT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun