Mohon tunggu...
Nurul Hikmah
Nurul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mahasiswi semester 4 Universitas Lambung Mangkurat

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pentingnya Menjaga Sikap Toleransi sebagai Implementasi terhadap Pendidikan Multikulturalisme

19 Juni 2024   20:50 Diperbarui: 19 Juni 2024   21:14 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran guru dan orang tua dalam membangun sikap toleransi

Guru sebagai fasilitator dalam menanamkan nilai-nilai karakter salah satunya nilai toleransi, baik di dalam kegiatan pembelajaran maupun diluar pembelajaran. Untuk membentuk karakter anak agar rasa toleransi itu terpatri dalam jiwa maka anak harus melihat contoh itu disekelilingnya. Guru memberikan contoh langsung sehingga harapannya anak bisa langsung mempraktikan sikap-sikap positif yang dicontohkan. Guru juga membiasakan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar, Keteladanan dan pembiasaan merupakan unsur yang sangat penting dalam proses melakukan sikap perilaku anak. Pendidik atau guru sudah seharusnya menjadi contoh utama sebelum menanamkan karakter pada anak. Guru dapat menampilkan sifat toleransi dengan saling tolong menolong dan saling berteman tanpa membedakan, dengan harapan keteladaan ini dapat dicontoh oleh anak murid yang mereka ajari. Metode untuk menanamkan nilai toleransi pada anak juga bisa dengan menggunakan media. Pembelajaran dengan memanfaatkan media membuat anak menjadi lebih mudah memahami dan mengikuti kegiatan pembelajaran (Sihombing, 2023).

Adapun peran orang tua dalam membangun sikap toleransi pada anak adalah memberikan sikap toleransi yang dimulai dari hal-hal yang kecil, membiasakan mereka melakukan toleransi dengan anggota keluarga misal dengan ayah, ibu, kake, nenek, ataupun saudara yang lain yang ada dirumah, misal dengan (1) orang tua memulai dengan mendengarkan pendapat anak, (2) mengajarkan anak untuk menghormati orang yang lebih tua, (3) tidak membeda-bedakan atau pilih kasih, (4) menghargai perbedaaan karakter setiap anggota keluarga, (5) dan bersikap adil (Eirin, 2024).

Input suhttps://herstory.co.id/read140627/3-ciri-orang-tua-berhasil-dalam-mendidik-anak-moms-termasuk-gakmber gambar
Input suhttps://herstory.co.id/read140627/3-ciri-orang-tua-berhasil-dalam-mendidik-anak-moms-termasuk-gakmber gambar

Tantangan dalam Menerapkan Pendidikan Multikulturalisme dan Toleransi 

Dilihat dari banyak nya suku, ras, bahasa, dan bangsa, tentang kenyataan bahwa kehidupan di Indonesia tidak lepas dari toleransi dan kehidupan multikulturalisme. Pendidikan multikultural memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk pendidikan di dalam suatu negara yang banyak sekali multikultural didalam nya, Tanpa adanya pendidikan yang dikhusukan untuk memahami apa itu multikulturaliisme dalam kehidupan maka tidak akan toleransi dan aneka ragam budaya dimasa depan dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya mampu dijelaskan lewat kata-kata tanpa adanya contoh nyata yang dapat dijelaskan secara mendetail.

menurut (Supardan, 2015) terdapat tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural dan toleransi di Indonesia yaitu:

  • Agama, suku, bangsa, dan tradisi

Agama, Suku  dan Adat istiadat Agama tentunya menjadi pengikat terpenting dalam kehidupan. Namun bila digunakan sebagai senjata politik atau melawan etnis dan tradisi hidup suatu masyarakat, kekuatan masyarakat yang harmonis akan hancur. Setiap individu menganut prinsip-prinsip agama  dalam kehidupannya di masyarakat, namun tidak membagikan keyakinan agamanya kepada orang lain. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip mengenai penghormatan terhadap agama. Sekolah negeri (formal) dan pendidikan agama  bertujuan untuk menciptakan toleransi dan kepercayaan terhadap anggota masyarakat  lain yang berbeda keyakinan agama. Contoh toleransi beragama adalah pada bulan Ramadhan, pelajar muslim dapat berpuasa dan pelajar non-muslim dapat menghormati pelajar muslim dengan  tidak makan atau  minum di hadapannya (Supardan, 2015).

  • Kepercayaan

Kepercayaan merupakan unsur penting dalam hidup bersama. Dalam masyarakat majemuk, kita selalu memikirkan risiko yang ditimbulkan oleh perbedaan kita. Risiko ketidakpercayaan, ketakutan, atau ketidakpercayaan terhadap orang lain juga dapat terjadi karena tidak adanya komunikasi  dalam masyarakat majemuk. Hal ini dapat diatasi dengan menciptakan rasa percaya diri (pemahaman yang lebih baik terhadap perbedaan)  melalui komunikasi, dialog, toleransi dan  partisipasi terhadap orang lain. Mempercayai seseorang  berarti Anda dapat mengurangi risiko dalam hidup Anda dan membaginya satu sama lain (Supardan, 2015).

  • Toleransi

Toleransi adalah bentuk kepercayaan tertinggi yang bisa kita capai. Toleransi  menjadi kenyataan ketika kita menerima adanya perbedaan. Oleh karena itu, jika Anda bertoleransi, Anda tidak serta merta harus  mempertahankan keyakinan Anda. Pendidikan multikultural diperlukan untuk mencapai tujuan menjadi manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia. Menurut Ibu Anita Lee (Supardan, 2015), menjelaskan bahwa pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya pada pendidikan formal, menghadapi tiga tantangan mendasar:

  • Fenomena Homogenisasi

Dalam dunia pendidikan, fenomena homogenisasi terjadi ketika kita bolak-balik antara keunggulan dan keterjangkauan. Siswa dibagi ke sekolah berdasarkan latar belakang sosial ekonomi, agama, dan suku. Selain itu, ketentuan yang mengatur pendidikan agama dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 juga melarang sekolah yang menganut agama lain untuk menerima siswa yang berbeda agama. Lalu ada pengelompokan anak berdasarkan agama, kelas sosial ekonomi, ras, dan suku. Setiap hari, anak-anak hanya bersosialisasi dan berinteraksi  dengan teman-temannya saja. Meski interaksi di luar sekolah mungkin sama, namun kemampuan anak dalam memahami dan mengenali perbedaan menjadi sangat langka (Supardan, 2015).

  • Kurikulum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun