Mohon tunggu...
Nurul Hidayat
Nurul Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - It's a wonderful life

Betapa sedikitnya pengetahuan kita tentang hidup, diri kita, dan dunia di sekitar kita.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Akses NIK yang Harus Berbayar dan Sekuritas Siber Nasional

20 April 2022   14:13 Diperbarui: 23 April 2022   08:15 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebocoran data. (sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Lima hari terakhir berita tentang akses NIK berbayar cukup viral. Kalau kita ketik "akses NIK berbayar" di Google, maka kita akan melihat bahwa Kompas, Kompasiana, detikNews, SindoNews, dan media lainnya menjadikan isu itu sebagai salah satu berita utama. 

Artinya, pernyataan Prof. Dr. Zudan Arif Fakrullah, Dirjen Dukcapil, pada Kamis 14 April 2022 tentang adanya pembayaran untuk akses NIK sejak tahun ini telah menarik perhatian media.

Sebagian kita mungkin awalnya terkejut dengan beberapa berita itu, tetapi jika kita cermati ternyata kewajiban membayar akses NIK itu hanya dibebankan pada industri yang berorientasi keuntungan (profit-oriented). 

Untuk keperluan pelayanan publik, seperti BPJS Kesehatan, institusi pendidikan, kementrian, dan lembaga daerah tetap digratiskan. Kita sebagai warga secara personal tidak usah kuatir, akses NIK untuk kepentingan kita secara perorangan tetap gratis.

Dirjen Dukcapil menjelaskan bahwa dana hasil pungut biaya akses NIK ini ditujukan untuk mempercepat program peremajaan perangkat keras berupa server, perangkat penyimpanan data, dan perangkat pendukung lainnya. 

Selama ini perangkat yang digunakan untuk menampung data kependudukan kita usia pemakaiannya telah melebihi 10 tahun. Wajar, peremajaan atau upgrading kualitas perangkat keras itu menjadi sebuah keharusan.

Persoalan Sekuritas Siber

Pernyataan Dirjen Dukcapil terkait akses NIK berbayar ini secara tidak langsung mengingatkan kesadaran kita terhadap isu yang lebih krusial dan lebih global, persoalan sekuritas siber. 

Pernyataan Pak Dirjen itu bukan tanpa sebab. Salah satu problem yang baru-baru ini kita ketahui adalah terancamnya keamanan data kependudukan masyarakat. 

Kementerian Dalam Negeri telah mengakui bahwa perangkat keras, yang digunakan untuk menyimpan data kependudukan, telah berusia tua. 

Peremajaan perangkat itu adalah sebagai upaya antisipatif agar 200 juta data penduduk, ya termasuk data kita tentunya, tidak hilang. Ini juga untuk mempersiapkan kesahihan data pemilih pada pemilihan presiden dan pilkada tahun 2024 mendatang.

Kita semua berharap semoga berbagai upaya yang dilakukan Dukcapil untuk menarik biaya untuk akses NIK benar-benar ditujukan untuk memproteksi data identitas kita. 

Dalam konteks yang lebih besar, semoga pemerintah telah melakukan tindakan serius untuk mengantisipasi berbagai macam kriminalitas dalam dunia siber.

Ketahanan terhadap sekuritas siber adalah konsekuensi logis dari melajunya kecanggihan teknologi digital di abad-21. Ketahanan siber sekarang ini mejadi salah satu aspek ketahanan nasional yang urgensinya sepenting ketahanan ideologi, ketahanan budaya, ketahanan politik, atau ketahanan ekonomi. 

Ketahanan siber nasional mencakup daya tahan sistem siber nasional untuk melindungi data nasional dan data pribadi seluruh penduduk.

Sekilas Data

KTP. Foto: NH.
KTP. Foto: NH.

Mari sekarang kita buka data tentang sepintas fakta serangan siber di negeri ini. Berdasarkan data dari BSSN (Badan Siber dan Sandi Nasional), di tahun 2021 saja terlacak sekitar 1,6 miliar trafik yang tidak wajar atau bahkan serangan siber di negara kita. Dari angka tersebut, ribuan serangan ditujukan ke Istana Negara. 

Selain malware, ketidakwajaran sinyal EM (elektromagnetik) juga terdeteksi di sekitar istana. Ini menunjukkan bahwa dunia digital menjadi aspek penting untuk diperhatikan secara lebih serius.

Selain istana, bank dan sistem keuangan negara menjadi target empuk para hacker. Pada tanggal 21 januari 2022, Kepala Departmen Komunikasi Bank Indonesia memberikan pernyataan kepada Kompas bahwa ada upaya peretasan di BI yang berupa ransomware. 

Jenis serangan siber ini sangat berbahaya. Ransomware akan membuat penolakan akses nasabah hingga mereka membayar uang tebusan. 

Ini adalah perangkat pemeras yang mengenkripsi data pengguna komputer dan menguncinya. Untung kasus percobaan serangan ke BI tersebut nampaknya tidak berhasil. BI telah menyatakan bahwa tidak ada data kritikal yang hilang.

Melihat data serangan siber di negeri ini, Pertama Pershada, seorang pakar keamanan siber, menyebutkan bahwa status keamanan siber di Indonesia sudah masuk lampu merah. 

"Dengan banyaknya kasus peretasan yang terjadi di tanah air, ini akan sangat berbahaya sekali. Karena Indonesia sudah masuk tahap Red Alert terhadap serangan siber.", ungkap Pertama kepada CNBC Indonesia pada 24 Januari 2022. 

Berdasarkan data, terungkap bahwa peluang terjadinya serangan siber di Indonesia nampaknya  bisa setiap jam! Bayangkan, selama 2021 saja terekam 1,6 miliar serangan siber di seluruh negeri. Angka itu sangat fantastis.

Solusi

Indonesia adalah negara hukum, maka undang-undang yang tegas dan jelas tentang keamanan, ketahanan, dan pertahanan siber nasional harus jelas dan tidak multitafsir. Sejauh ini dan sebatas pengetahuan saya, tata aturan tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dipayungi oleh Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008 sejak era Presiden Susilo bambang Yudoyono. 

Undang-undang ini memiliki yuridiksi yang mengatur tentang teknologi elektronik, khususnya tentang informasi dan transaksi elektronik. UU No. 11/2008 mencakup semua aktivitas ITE di dalam atau luar daerah indonesia untuk setiap pengguna informasi elektronik dan pengguna transaksi elektronik di dalam atau di luar daerah Indonesia. 

Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, UU No 11/2008 diamandemen menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2016. Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019 kemudian dibuat untuk mendukung undang-undang ITE. 

PP tersebut berisi tata aturan tentang sistem dan transaksi elektronik. Khusus untuk masalah siber nasional, sejak April tahun lalu Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2021 yang mengatur tata kerja Badan Siber dan Sandi Negara.

Dalam konteks pendidikan dan untuk ketahanan siber jangka panjang, saya mengusulkan mulai ada fokus yang lebih serius terhadap literasi digital kepada pelajar Indonesia. 

Salah satunya adalah dengan masifnya pendirian program studi cyber security di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Dari program diploma hingga doktor. 

Dengan banyak pakar sekuritas siber yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tinggi, saya yakin ketahanan siber nasional akan semakin kokoh. Seperti nasihat lama, serahkan segala sesuatu pada ahlinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun