Lima hari terakhir berita tentang akses NIK berbayar cukup viral. Kalau kita ketik "akses NIK berbayar" di Google, maka kita akan melihat bahwa Kompas, Kompasiana, detikNews, SindoNews, dan media lainnya menjadikan isu itu sebagai salah satu berita utama.Â
Artinya, pernyataan Prof. Dr. Zudan Arif Fakrullah, Dirjen Dukcapil, pada Kamis 14 April 2022 tentang adanya pembayaran untuk akses NIK sejak tahun ini telah menarik perhatian media.
Sebagian kita mungkin awalnya terkejut dengan beberapa berita itu, tetapi jika kita cermati ternyata kewajiban membayar akses NIK itu hanya dibebankan pada industri yang berorientasi keuntungan (profit-oriented).Â
Untuk keperluan pelayanan publik, seperti BPJS Kesehatan, institusi pendidikan, kementrian, dan lembaga daerah tetap digratiskan. Kita sebagai warga secara personal tidak usah kuatir, akses NIK untuk kepentingan kita secara perorangan tetap gratis.
Dirjen Dukcapil menjelaskan bahwa dana hasil pungut biaya akses NIK ini ditujukan untuk mempercepat program peremajaan perangkat keras berupa server, perangkat penyimpanan data, dan perangkat pendukung lainnya.Â
Selama ini perangkat yang digunakan untuk menampung data kependudukan kita usia pemakaiannya telah melebihi 10 tahun. Wajar, peremajaan atau upgrading kualitas perangkat keras itu menjadi sebuah keharusan.
Persoalan Sekuritas Siber
Pernyataan Dirjen Dukcapil terkait akses NIK berbayar ini secara tidak langsung mengingatkan kesadaran kita terhadap isu yang lebih krusial dan lebih global, persoalan sekuritas siber.Â
Pernyataan Pak Dirjen itu bukan tanpa sebab. Salah satu problem yang baru-baru ini kita ketahui adalah terancamnya keamanan data kependudukan masyarakat.Â
Kementerian Dalam Negeri telah mengakui bahwa perangkat keras, yang digunakan untuk menyimpan data kependudukan, telah berusia tua.Â