Ketika berbicara tentang impian dan realita, tentunya kedua hal ini tidak terlepas dari kehendak manusia dan takdir atau ketetapan Allah Swt. Dalam buku Qadar karangan Hocaefendi dijelaskan bahwa makna kata takdir adalah ketetapan yang telah dibuat oleh Allah Swt. menurut ilmu dan sesuai kehendak-Nya. Dengan kata lain, segala sesuatu yang telah terwujud di masa lalu, di masa kini, maupun di masa yang akan datang, semuanya telah ditetapkan kewujudannya oleh Allah Swt. berdasarkan pada ilmu dan kehendak-Nya. Atau, dengan bahasa yang lebih urai dapat dikatakan, bahwa segala sesuatu yang pernah ada atau akan ada di masa mendatang telah ditetapkan oleh Allah Swt. berdasarkan ilmu dan kehendak-Nya.
Kemudian muncul pertanyaan yang selalu bergejolak dalam benak kita, bagaimana keterkaitan antara takdir Allah Swt. dan kehendak manusia? Apakah semua kehendak dan perbuatan manusia berasal dari kehendak sendiri ataukah justru berasal dari kehendak Allah Swt. semata? Dalam tulisan ini kita akan mencoba menguraikan bagaimana cara manusia membentuk dan mengatur impiannya. Kita juga akan mencoba menjabarkan tentang realita yang terjadi dalam kehidupan. Apakah impian kita berjalan beriringan dengan realita ataukah realita yang terjadi bertolak belakang dengan apa yang kita impikan? Lantas bagaimana cara kita memanajemen hati untuk dapat menerima segala realita yang ada? Disini akan disuguhkan sebuah jembatan penghubung antara impian dan realita, yaitu berupa berbaik sangka.
Ada beberapa hadits yang membahas tentang keterkaitan antara takdir Allah Swt. dan amalan manusia. Di sini kami paparkan dua dari sekian banyak hadits yang ada. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, mengapa seseorang harus beramal? Padahal semua telah ditetapkan oleh Allah Swt. menurut takdir masing-masing?” Beliau Saw. menjawab, “Setiap orang telah ditetapkan amalannya masing-masing oleh Allah. Seorang calon penghuni surga akan memperbanyak amalan ahli surga. Demikian pula seorang calon penghuni neraka akan memperbanyak amalan ahli neraka.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar Ibnul Khaththab ra. pernah mengajukan pertanyaan, “Ya Rasulullah, menurut pendapatmu apakah amal-amal kita ini termasuk usaha kita, ataukah termasuk sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah? Beliau menjawab, ‘Semua amal kalian telah ditetapkan oleh Allah.’ Lanjut ‘Umar, ‘Kalau begitu, kami akan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya.”
Sebagaimana amalan yang kita lakukan berjalan beriringan dengan takdir-Nya, begitu juga dengan impian dan harapan kita akan berjalan beriringan dengan takdir-Nya. Ada kalanya realita yang terjadi lebih indah dari impian kita dan terkadang ia tidak sesuai dengan harapan kita. Namun, perlu kita pahami bersama bahwa keduanya adalah takdir Allah Swt. yang telah didesain dengan sebaik mungkin untuk hamba-Nya.
Setiap manusia pasti memiliki impian dan harapan dalam hidupnya. Bagaimana cara yang tepat untuk menentukan impian dan harapan itu? Mari kita mengenal SMART Goals, yaitu cara yang tepat untuk menentukan target yang ingin kita capai. Metode ini dikembangkan oleh seorang praktisi bernama Petter Ducker dalam bukunya yang berjudul The Practice of Management. SMART merupakan sebuah akronim dari: 1) Specific, yaitu mendefinisikan dengan tepat apa yang dituju?; 2) Measurable, terukur atau ada angka yang bisa diukur; 3) Attainable or Achievable, sesuatu hal yang dapat dicapai; 4) Realistic; dan 5) Timely, tepat waktu dan dapat diselesaikan dalam waktu yang wajar (Williams dalam Lawlor, 2012).
Berikut uraian SMART Goals Setting secara rinci:
Specific
Saat menetapkan tujuan, tentukan tujuan secara spesifik mengenai misi dan tujuan kita. Coba kita pikirkan beberapa pertanyaan berikut:
Siapa yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan?
Dalam merancang sebuah impian kita perlu melibatkan orang lain yang memiliki visi dan misi sama dengan kita. Keberadaan orang lain ini akan menjadi support system bagi kita, meringankan beban kita, dan menjadi teman yang senantiasa mengingatkan dan menasehati kita.