"I fell empty," Kataku. Dengan lembut matamu menatapku. Mencoba memahami apa yang aku maksud.
" Apa yang terjadi, something wrong, An?"
" No. I just can't fell anything."
Matahari hampir sepenuhnya menenggelamkan dirinya di balik kaki gunung Merapi. Masanya telah habis hari itu. Aku masih berteman dengan angka-angka memusingkan dan tentu saja komputerku. Rasanya hari itu terasa begitu berat. Bukan hal mudah memang untuk menjalani hidup terlebih bagi mereka yang masih pemula, pekerja baru, mahasiswa baru, bahkan orang tua baru. Mereka harus mengenal lembaran asing dalam hidupnya.Â
"Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, Al. Semua hal rasanya asing bagiku,"
Entah, sudah berapa kali aku merasa demikian. Menjalani hari hanya menunggu siang menjadi malam.Â
---
" Disini yang dibutuhkan bukan orang pintar, tapi orang yang bisa bertahan, An," Afi, orang pertama yang aku temui ketika aku mulai bekerja di perusahaan yang orang bilang bukan perusahaan biasa. Meski ini adalah anak perusahaan yang notabene adalah perusahaan yang cukup terkenal, tapi aku rasa tempatku bekerja ini hanya perusahaan biasa dengan bayang -bayang perusahaan induk. Mungkin memang karena letaknya yang jauh dari istilah kota.Â
Afi memperkenalkanku dengan apa yang harus aku lakukan satu demi satu. Dia adalah orang kedua yang aku tau. Dia memperkenalkanku ke banyak orang yang nantinya berhubungan dengan pekerjaanku. Mengenalkanku banyak nama baru yang bahkan mungkin hanya 30% yang aku ingat, terlebih karena masker yang mereka gunakan. Mungkin hari itu aku bisa mengenalinya tapi hari berikutnya ketika gaya berpakaian atau masker yang mereka gunakan berbeda, 60% aku sudah tak mengenalinya lagi.
"Kenapa kamu mencari orang baru yang lembut, Af? Nanti kalau dia seperti Dini lagi gimana?" Salah satu orang yang diperkenalkan kepadaku bertanya pada Afi.
"Semoga tidak,"