"Payah!"
Entah sudah berapa umpatan yang kau layangkan padanya. Dia hanya diam. Dia hanya menunduk. Lihatlah air matanya bahkan mulai menetes satu per satu. Dia menangis sambil tertunduk pasrah.
Kau menyalahkannya, tentang betapa lemahnya dia, hingga kau pun merasa puas. Kau tak pernah menyadari, bahkan untuk sedetik saja, tentang apa yang telah kau perbuat padanya. Kau hanya ingin mencari kambing hitam atas semua yang kau alami. Kau hanya ingin mencari sosok yang bisa kau jadikan tempat pelampiasan emosimu itu.
Kau hanya tak mau meyakini bahwa kau tak sempurna. Kau hanya mau meyakini bahwa kau sempurna. Bahwa kau hebat. Bahwa kau luar biasa.
Dia perlahan tertunduk. Dia sudah tak tahan membendung air matanya. Dia menangis.
"Pengecut!" katanya.
Dia mengumpat dalam tenang tangisnya. Lirih. Namun jelas terdengar. Kau tak menyangka akan mendengar umpatan itu dari dirinya. Mungkin pertama kalinya. Entah. Kau lupa apakah itu untuk pertama kalinya kau mendengarnya. Memorinya penuh terisi oleh berapa banyak umpatan yang kau pernah katakan padanya bukan yang kau terima.
Kau masih tak menyangka tentang apa yang baru saja dia sampaikan melalui angin yang berhembus pelan melewatimu.
"Mungkinkah aku bermimpi?" tanyamu.
"Atau aku hanya sedang menonton film tentang betapa buruknya tokoh utama antagonis yang selalu saja menyalahkan dan menyakiti tokoh utama lainnya?"
Dia perlahan mulai mengubah posisinya. Seolah ini adalah pemandangan baru untukmu. Ingatan tentang dia yang selalu statis terdiam setiap kali kau mengumpat berkelebatan di otakmu. Tentang kau yang marah dan mengatainya lemah saja dia hanya terdiam dan tentu hanya menunduk. Tentang beberapa saat lalu ketika kau sangat kesal dan mengatainya 'tak berguna'. Dan tentu dia hanya diam menunduk. Â