Mohon tunggu...
Nurul Hanifah
Nurul Hanifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Menulis adalah pelarian. Pelarian yang membuatku terlalu nyaman dengannya dan tak ingin beranjak darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tawa Selepas Hujan Reda

14 Januari 2021   16:26 Diperbarui: 14 Januari 2021   16:38 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Mari Bu, prisakke adek teng nggene Dokter Eka mawon cobi, mbok menawi adek cocok," pinta sang suami. (ayo Bu. Periksa adek di tempatnya Dokter Eka aja coba, siapa tau adek cocok)

 "Nggih Pak, cobi," (iya, Pak. Coba)

 Lihatlah sepasang suami-istri berboncengan dengan sepeda onthel yang sudah tua beserta anak kesayangannya. Orang-orang pasti melihatnya sungguh romantis. Namun siapa sangka, mereka sedang dirundung kecemasan yang sangat. Berharap tak terjadi apa-apa pada anak semata wayangnya. Transportasi kendaraan bermotor masih langka saat itu. Orang-orang lebih menyukai bersepeda. Karena tentu lebih murah.

 Rumah dokter itu layaknya rumah Bidan Sri. Luas. Dan sudah sedikit modern. Berjarak satu desa dari rumah si suami-istri. Anak itu kembali diperiksa. Diukur suhunya dengan thermometer dan dicek detak jantungnya dengan stetoskop. Anak itu masih lemah. Dan kembali diberi beragam pil dan sirup yang tentu hanya dokter yang paham. Sepasang suami-istri itu pulang dengan beragam harapan. Semoga kali ini menyembuhkan.

-000-

 Hei lihatlah anak itu sudah sudah mampu berlarian kesana kemari esok harinya. Mengejar ayam sambil cengingisan. Rambutnya yang selalu pendek ikut naik turun karena gerakannya. Karena rambutnya itulah terkadang orang-orang salah mengira ia laki-laki. Anak itu telah kembali ceria. Wajah lesunya hilang seketika tanpa meninggalkan bekas di wajah mungilnya. Sepasang suami-istri itu nampak tersenyum lega melihat anak semata wayangnya kembali tersenyum. Mereka bahkan lupa kecemasan mereka dua hari lalu hanya dengan melihat tawa dan senyum gadis mungilnya.

-000-

 Terlalu banyak hal yang membuat kita bisa bahagia. Barang itu hanya melihat bunga-bunga mekar di pagi hari. Terlalu banyak hal yang bisa membuat kita tersenyum. Meski hanya melihat kupu-kupu menari di atas bunga kertas warna-warni. Hei terlalu banyak hal yang bisa dinikmati. Sepasang suami-istri itu misalnya. Memang mereka masih belajar apapun. Namun setiap pengorbanan yang mereka lakukan meski tanpa mereka sadari telah membuat mereka bahagia di kemudian hari. Anak itu kembali membawa kehangatan di tengah-tengah mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun