Mohon tunggu...
Nurul Hanifah
Nurul Hanifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Menulis adalah pelarian. Pelarian yang membuatku terlalu nyaman dengannya dan tak ingin beranjak darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tawa Selepas Hujan Reda

14 Januari 2021   16:26 Diperbarui: 14 Januari 2021   16:38 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Ibu yang Sedang Menggendong Anaknya (Sumber: wallpaperlist.com)

Jarum jam sudah menunjuk hampir di pertengahan malam. Di sebuah rumah yang tidak terlalu kecil atau pun besar. Rumah dengan gaya khas perkampungan di Jawa. Seorang wanita 30-an terbangun dari tidur nyenyaknya. Dirabanya kening anak satu-satunya yang terbaring lemas di sampingnya. Panas. Kening anak itu seperti teko yang berisi air mendidih. Tubuhnya lemah. Anak itu masih lelap dalam mimpinya. Tak menghiraukan seberapa tinggi suhu badannya.  

"Nduk...nduk..., wungu. Yuh priksa meng bidan Sri," (Nak, bangun. Ayo periksa ke Bidan Sri). Wanita itu berusaha membangun anaknya yang berusia 5 tahunan.

Wanita itu lekas bergegas menggendong anak itu. Sial. Sang suami sedang tidak ada di rumah. Tugas ronda di kampung menyuruhnya untuk berjaga. Wanita itu lantas membawa anak itu keluar rumah. Berusaha membawanya ke bidan yang tak jauh dari rumahnya. Dia hanya ingin anaknya sembuh. Anak itu tak peduli. Ia hanya ingin terlelap. Kantuknya terlalu besar dibanding panas yang membelai tubuhnya. Ia masih saja memejamkan mata meski di gendongan ibunya.

 Di luar, langit masih meneteskan air matanya. Membuat malam menjadi amat dingin. Halilintar dan petir ikut saja mengisi kalutnya malam minggu yang seharusnya menjadi malam para pasangan apel ke rumah kekasihnya. Jalan raya yang katanya jalan utama pun terlihat lenggang tanpa kendaraan satu pun.

 Wanita itu masih berjalan dengan cemas. Ia tak peduli. Rasa takut akan gelap tak seberapa besar ketimbang rasa cemas pada anaknya. Berbekal payung ukuran sedang dan senter seadanya, wanita itu memecah derasnya hujan. Bahu kirinya yang basah tak ia pedulikan. Biarlah anaknya terlindungi dari air hujan barang hanya satu tetes.

 Berjalan tertatih setengah kilometer tak dirasanya. Wanita itu telah sampai di depan sebuah rumah yang sedikit lebih besar dibandingkan rumah-rumah di samping kiri-kanannya. Rumah bidan Sri. Rumah itu tampak luas dengan halaman depan yang ditanami berbagai buah-buahan yang sayangnya hari itu terlalu gelap untuk dipandang. Hanya ada dua lampu di depan rumahnya. Satu di depan rumah utama dan satunya di depan sebuah ruangan kecil yang berdekatan dengan dengan rumah utama. Rumah itu sudah lebih modern. Lihatlah, sudah ada bel terpasang di sebelah pintu rumah utama dan ruangan kecil yang seringkali disebut klinik. Di depan kliniknya pun sudah ada papan kecil yang bertuliskan 'ADA/TIDAK ADA BIDAN' yang bahkan bisa digeser sesuai dengan keberadaan bidan, apakah sedang ada di rumah atau pun tidak.

 Wanita itu tak sempat memperhatikan papan keberadaan bidan. Ia langsung mencoba membunyikan bel dan juga mengetuk pintu.

 "Assalamu'alaikum, Bu," Wanita itu berusaha memanggil sang bidan sambil beberapa kali mengetuk pintunya.

 Wanita itu tak peduli, mungkin tindakannya itu mengganggu istirahat sang bidan karena ia datang di waktu hampir tengah malam. Ia tak peduli seberapa sakit tangannya karena mengetuk pintu beberapa kali. Ia tak peduli dengan seberapa pegal bahunya karena menggendong anaknya yang masih saja terlelap di dekapannya. Ia tak peduli dengan separuh badannya yang basah karena hujan. Ia hanya tak peduli.

 "Wa'alaikumussalam, sekedap," (Wa'alaikumussalam, sebentar). Terdengar jawaban dari seorang wanita dari dalam rumah. Bidan Sri.

 Rasa cemas wanita dengan anak digendongannya sedikit berkurang. Seorang wanita paruh baya membuka pintu klinik. Entah tadi ia sudah terlelap ataupun belum. Wajahnya tetap saja terlihat tenang dan segar. Wanita itu masih saja terlihat muda untuk ukuran wanita paruh baya pada umumnya. Sang bidan lantas mengambil stetoskop miliknya. Mencoba mendengar detak jantung milik anak sang wanita 30 tahunan itu. Lemah. Ia meraba kening anak itu. Panas. Namun ia ingin memastikannya kembali. Ia pun menempelkan thermometer di ketiak sang anak selama beberapa menit. Tinggi. Suhunya telah melampaui suhu normal.

 "Sekedap nggih, mba," (Sebentar ya, mba).

"Nggih, Bu." (Iya, Bu). Jawab sang wanita 30 tahunan.

Bidan itu meraih toples obatnya lantas mengambil layah dan penghalus obatnya. Nampak sang bidan menghaluskan obat yang tadi diambilnya dengan sangat hati-hati lantas memasukannya ke dalam kertas obat yang terlihat hampir mirip dengan kertas buram yang ada di tempat fotokopian.

 Anak itu sudah kembali dalam gendongan ibunya dan kembali memejamkan mata. Selama pemeriksaan, anak itu sempat membuka mata kecilnya. Sebentar sekali. Ia bahkan tak menatap seberapa khawatirnya sang ibu. Ia tak peduli. Ia hanya ingin tidur. Suasana malam itu terlalu sia-sia jika tak dinikmati, mungkin pikirnya.

 "Niki nggih, mba. Kulo kei obat penurun panas supados bentere mandap kalih obat tidur mawon. Lah ngenjang mbok menawi panasse mboten mandap-mandap, cobo putrine dibeto maring rumah sakit," Kata sang bidan. (ini ya, mba. Saya beri obat penurun panas supaya panasnya turun. Besok, kalo panasnya belum juga turun, coba anaknya dibawa ke rumah sakit)

 "Oh nggih, Bu. Matur suwun." Jawab sang wanita 30 tahunan. (oh iya, Bu. Terima Kasih)

 Selepas berpamitan dan memberi bayaran kepada sang bidan, wanita itu kembali pulang ke rumah bersama anaknya yang telah terlelap sedari tadi. Wanita itu sedikit lega namun masih saja ada kecemasan tersendiri yang masih membekas. Semoga panasnya cepat turun.

 Hujan di luar sudah sedikit mereda. Hanya meninggalkan gerimis-gerimis kecil. Malam sudah memasuki tengah malam. Beberapa ayam jago berkokok menandakan dini hari telah tiba. Wanita itu berjalan menyibak malam. Langkahnya sedikit lebih tenang meski wajahnya tak bisa berbohong jika ia tidak tenang.

 Di sampainya di rumah, sang suami nampaknya telah pulang. Shift ronda ternyata telah digantikan olah shift berikutnya. Namun melihat kamar sang istri dan anaknya yang kosong, ia benar-benar cemas. Terlebih di luar sedang turun hujan.

 "Assalamua'alaikum," sang wanita telah sampai di rumahnya dan membuka pintu depan. Sang suami yang sedang di belakang buru-buru menyambutnya dengan rasa cemas dan bingung.

 "Saking pundi, Bu? Tengah malem kados niki," tanya sang suami. (Darimana, Bu? Tengah malam seperti ini?)

 "Niki loh Pak, si Nia panas sanget awake. Nembe takbeto maring nggene Bu Bidan," jawab si wanita sambil menidurkan kembali sang anak ke ranjang tempat tidur. (Ini loh Pak, si Nia badannya panas banget. Barusan takbawa ke tempatnya Bu Bidan)

 "Owalah lah pripun turene Bu Bidan, Bu? Lah kok mboten manggil bapak mawon," tanya sang suami. (owalah, lalu bagaimana kata bu bidan, Bu? Lah kok tidak manggil bapak saja).

 "Niki sampun diparingi obat, Pak. Kulo mboten ngertos bapak teng pos pinten, lah melas Nia, awake sampun panas sanget, njuk kula beto mawon teng nggene Bu Bidan," jawab sang wanita. (ini sudah diberi obat. Saya tidak tau bapak sedanga di pos berapa, kasihan Nia, badannya panas banget, lalu saya bawa ke tempatnya Bu Bidan).

 "Ngenjang turene nek menawi panasse mboten mandap-mandap, ken mbeto teng rumah sakit, Pak," lanjut sang wanita. (Besok katanya kalo panasnya tidak turun-turun, disuruh membawa ke rumah sakit, Pak)

 "Ya Allah, Bu. Mpun Ibu istirahat. Sampun ndalu," kata sang suami. (Ya Allah, Bu. Sudah ibu istirahat. Sudah malam)

 "Nggih, Pak," jawab sang wanita. (iya, Pak)

 Malam kembali berlanjut. Hujan di luar udah reda. Petir dan halilintar nampaknya juga telah berdamai dengan lain. Ikutan pergi. Orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya. Si anak entah sudah bermimpi sampai mana. Terlalu jauh. Sang ibu masih sedikit cemas. Berharap panas anaknya segera hilang. Sang bapak juga cemas, cemas akan demam sang anak dan cemas akan kemungkinan lainnya.

 "Pak, niki panasse adek kok dereng mandap nggih. Pripun niki, Pak? Sang ibu berusaha membangun sang suami. (Pak, ini panasnya adek kok belum turun ya, Pak?)

 "Aduh, pripun nggih, Bu. Adek Nia dibeto nggene Dokter Eka nopo?" saran Sang suami. (Aduh gimana ya, Bu. Adek dibawa ke tempat Dokter Eka gimana?)

 Sepasang orang tua baru itu cemas dan juga bingung. Rumah sakit terlalu jauh untuk dijangkau dari kampung mereka. Transportasi mana ada di pagi buta ini. Harus berangkat ke kecamatan dulu untuk mendapatkan bus. Baru bisa sampai rumah sakit di kabupaten. Belum lagi masalah biaya yang dikeluarkan yang barang tentu tidak murah bagi mereka. Untunglah anak mereka tidaklah begitu rewel. Hanya sesekali mengigau saat tidur karena panas yang tinggi.

 "Mari Bu, prisakke adek teng nggene Dokter Eka mawon cobi, mbok menawi adek cocok," pinta sang suami. (ayo Bu. Periksa adek di tempatnya Dokter Eka aja coba, siapa tau adek cocok)

 "Nggih Pak, cobi," (iya, Pak. Coba)

 Lihatlah sepasang suami-istri berboncengan dengan sepeda onthel yang sudah tua beserta anak kesayangannya. Orang-orang pasti melihatnya sungguh romantis. Namun siapa sangka, mereka sedang dirundung kecemasan yang sangat. Berharap tak terjadi apa-apa pada anak semata wayangnya. Transportasi kendaraan bermotor masih langka saat itu. Orang-orang lebih menyukai bersepeda. Karena tentu lebih murah.

 Rumah dokter itu layaknya rumah Bidan Sri. Luas. Dan sudah sedikit modern. Berjarak satu desa dari rumah si suami-istri. Anak itu kembali diperiksa. Diukur suhunya dengan thermometer dan dicek detak jantungnya dengan stetoskop. Anak itu masih lemah. Dan kembali diberi beragam pil dan sirup yang tentu hanya dokter yang paham. Sepasang suami-istri itu pulang dengan beragam harapan. Semoga kali ini menyembuhkan.

-000-

 Hei lihatlah anak itu sudah sudah mampu berlarian kesana kemari esok harinya. Mengejar ayam sambil cengingisan. Rambutnya yang selalu pendek ikut naik turun karena gerakannya. Karena rambutnya itulah terkadang orang-orang salah mengira ia laki-laki. Anak itu telah kembali ceria. Wajah lesunya hilang seketika tanpa meninggalkan bekas di wajah mungilnya. Sepasang suami-istri itu nampak tersenyum lega melihat anak semata wayangnya kembali tersenyum. Mereka bahkan lupa kecemasan mereka dua hari lalu hanya dengan melihat tawa dan senyum gadis mungilnya.

-000-

 Terlalu banyak hal yang membuat kita bisa bahagia. Barang itu hanya melihat bunga-bunga mekar di pagi hari. Terlalu banyak hal yang bisa membuat kita tersenyum. Meski hanya melihat kupu-kupu menari di atas bunga kertas warna-warni. Hei terlalu banyak hal yang bisa dinikmati. Sepasang suami-istri itu misalnya. Memang mereka masih belajar apapun. Namun setiap pengorbanan yang mereka lakukan meski tanpa mereka sadari telah membuat mereka bahagia di kemudian hari. Anak itu kembali membawa kehangatan di tengah-tengah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun