Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Kisah Luar Biasa Ketika Hujan

19 Maret 2017   23:00 Diperbarui: 1 April 2017   08:45 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah Luar Biasa Ketika Hujan

Oleh : Nurul Habiba Septira

Langit berkabut dan cahaya mentari mulai redup. Sendu sekali terasa langit di siang ini. Sesendu peristiwa-peristiwa yang berlalu-lalang dalam kehidupanku. Ketika langit tersenyum demikian, kiranya semua peristiwa itu berbalik dalam ingatanku. Terutama kini aku sedang berjalan kaki di tempat yang sama dengan kejadian bertahun-tahun lalu itu, di tengah keramaian kota metropolitan dan bisingnya deretan kendaraan.

Ya, di sanalah kejadian itu. Ketika hujan turun dengan derasnya, kecelakaan itu terjadi. Ibu yang mengejarku ketika berlari saat menyeberang, ditabrak oleh sebuah mobil. Sebuah tabrak lari dan sebuah keberuntungan bahwa nyawa Ibu masih bisa terselamatkan. Namun, hal itu jugalah yang membuat penyakit yang telah lama diderita Ibu terungkap.

Ibu mengidap kanker otak. Entah sudah berapa lama Ibu memendam penyakit itu sendirian sehingga penyakitnya sudah sangat parah. Tentu saja sebagai seorang gadis kecil yang masih berusia 13 tahun, aku hanya bisa menangis saat mengetahui hal tersebut. Namun, para kerabatku berkata bahwa akulah “sang Pahlawan” karena penyakit Ibu bisa diketahui setelah kecelakaan yang disebabkan olehku. Sesungguhnya, aku tak pernah berhenti menyalahkan diriku. “Mengapa aku bisa disebut sebagai pahlawan?” gumamku dalam hati.

Hingga akhirnya kejadian malam itu. Ketika genangan air belum surut akibat hujan tadi sore. Di atas sebuah ranjang di salah satu kamar di sebuah rumah sakit, tubuh Ibu terbaring lemah. Ibu menyuruhku untuk tidur di sampingnya. “Shintya, maafkan Ibu yang tidak bisa membelikan boneka itu karena ekonomi keluarga kita yang buruk sepeninggal Ayah. Maafkan Ibu yang membuatmu lari dari rumah. Maafkan Ibu juga yang berteriak marah padamu di taman itu hingga kamu menyeberang jalan tanpa melihat-lihat. Besok, mari kita pergi bersama untuk membeli boneka itu,” Ibu berkata lemah, nyaris berbisik. Aku hanya mengangguk  senang dan tertidur pulas di pelukan Ibu malam itu.

Keesokan harinya, ketika hujan turun dan membawa sebuah kabar. Kabar bahwa orang yang kucintai telah pergi meninggalkanku untuk selamanya. Ttitik-titik air jatuh bercucuran dari langit kelam, bersamaan dengan jatuhnya cucuran dendam mataku yang menumpahkan segala kepedihan ini. Hujan benar-benar telah memberitakan rencana Tuhan.

***

Aku masih berjalan di atas trotoar, di tengah-tengah keramaian dan kebisingan dari kendaraan yang berlalu-lalang di sampingku.  Lamunanku buyar saat aku hampir terjatuh karena tersandung batu. Supir metromini yang sedang menepi di dekat trotoar itu kemudian menegurku,”Jangan melamun, nak.” Aku hanya tersenyum pada supir yang rambutnya sudah agak beruban itu. Jangan melamun? Rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu dari seseorang. Aku mencoba mengingatnya. Kepalaku kini kutengadahkan ke langit abu-abu. Langit benar-benar tersenyum sendu dan aku berhasil mengingat kembali memori lama itu.

                                                                                                                                                               ***                                                                                                                                                                                        

Pada suatu siang yang mendung, ketika aku baru saja pulang kuliah. Aku berjalan kaki pulang menuju tempat kos yang jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Melelahkan namun cukup menyenangkan berjalan kaki dari kampus ke rumah kosku,  sebab aku bisa singgah sebentar di taman kota itu. Taman kota yang tidak terlalu luas, namun sangat indah dan dipenuhi dengan bunga-bunga. Rumput hijau menutupi seluruh taman itu, kecuali bagian jalan kecil yang tertutupi oleh semen. Di tengah taman terdapat sebuah kolam ikan. Di sisi kanan dan kirinya terdapat arena permainan anak-anak, seperti ayunan dan papan jungkat-jungkit. Sementara itu di taman tersebut terdapat beberapa tempat duduk berbentuk kursi besi panjang yang muat untuk diduduki oleh sekitar 4 orang dewasa. Hal yang paling kusukai di taman kota ini adalah duduk di salah satu payung berbentuk jamur raksasa yang ada disana. Payung itu terletak tepat di tengah-tengah sebuah meja bulat yang terbuat dari semen. Sementara itu di sekeliling meja itu terdapat tempat duduk yang juga terbuat dari semen.

Siang ini taman kota itu terlihat ramai. Banyak pengunjung yang datang sekedar untuk melepas lelahnya. Ada yang sendirian, pasangan muda-mudi ataupun anak-anak kecil dan juga orang tua mereka yang sedang mengawasi. Di samping itu, terdapat beberapa pedagang yang berjualan berbagai macam makanan dan minuman. Ada yang menjual bakso, es dawet, es kelapa muda, gorengan dan sebagainya.

Aku mempercepat langkah kakiku saat teringat bahwa aku lupa membawa payung. Namun, tiba-tiba saja hujan turun saat aku melintasi taman kota dan melihat semua keramaian itu. Aku berlari masuk ke dalam taman menuju salah satu payung besar yang berbentuk jamur untuk berteduh. Keramaian orang yang sedang bersantai di taman tersebut siang ini langsung buyar dan mereka berlarian untuk berteduh di bawah payung-payung raksasa itu, ataupun segera pergi meninggalkan taman. Sementara itu para pedagang terlihat menutupkan terpal pada barang dagangannya.

Untuk kesekian kalinya, aku memilih untuk berteduh di bawah payung raksasa yang terletak di paling ujung belakang taman. Payung itu cukup besar untuk meneduhkan sekitar 5-6 orang dewasa. Namun, untuk kesekian kalinya pula aku berteduh sendirian di tempat ini. Mungkin orang-orang lainnya malas untuk berteduh di tempat ini karena letaknya yang terlalu jauh dari trotoar dibandingkan payung-payung lainnya. Aku memilih untuk berteduh di tempat ini adalah agar aku bisa mengingat semua kejadian lama itu. Kejadian yang merenggut nyawa Ibuku. Memang menyakitkan, namun aku memilih untuk berdamai dengan masa laluku.

“Dek, jangan melamun,” kata seorang laki-laki yang tiba-tiba datang dan mencoba menyentuh bahuku. Aku terkejut. Orang ini memakai pakaian yang rapi layaknya orang kantoran. Atasannya berupa kemeja abu-abu dan juga bawahan celana panjang. Namun, bajunya agak basah karena kehujanan. Orang itu kemudian tersenyum hangat. Senyuman yang menyenangkan. Senyuman itu pulalah yang merubah hari-hariku ke depannya.

***

Setelah teguran dari supir bus metromini tadi, aku kembali melangkahkan kakiku dengan lebih perlahan dan hati-hati. Namun, aku masih saja terus mencoba mengingat masa laluku. Jika diingat kembali, itu adalah pertemuan pertama dengan salah satu orang yang spesial bagiku. Cinta pertamaku. Namanya Septian Andhika Zefrian. Aku memanggilnya Kak Dhika. Ia sekarang bekerja sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan otomotif. Usianya 23 tahun, terpaut tiga tahun dengan usiaku yang masih 20 tahun saat itu.

Maka mulai hari itu aku selalu menyempatkan diri untuk duduk sebentar di bawah payung jamur itu  sepulang kuliah. Entah mengapa pula di setiap hari Rabu sepulang kuliah saat aku ada disana, orang itu datang. Seolah-olah kami sudah membuat janji untuk bertemu. Walaupun sebenarnya aku nantinya mengetahui bahwa semuanya memang diatur dengan sengaja.

Kami mulai mengobrol lebih banyak. Mulai saling mengenal satu sama lain, bertukar nomor ponsel dan selalu berkirim pesan setiap akhir pekan. Tentu saja kami juga selalu bertemu setiap Rabu siang di tempat yang sama, padahal kami tidak pernah janji untuk bertemu. Kami telah menemukan kecocokan satu sama lain dan akhirnya saling jatuh cinta.

Pernah suatu ketika setelah tiga bulan berkenalan dengannya, selama sebulan penuh orang ini mengabaikan pesanku dan tidak datang ke tempat kami biasa bertemu pada hari Rabu. Aku benar-benar putus asa dan merasa bahwa orang ini hanya ingin mempermainkanku. Rabu itu aku pulang dengan berhujan-hujan. Aku tidak ingin berteduh di tempat biasa karena aku merasa bahwa tidak ada gunanya berteduh disana sebab orang itu tidak akan datang.

Di tengah hujan itu, ada mobil yang menepi di dekat trotoar tempatku berjalan. Seseorang yang mengenakan pakaian kantoran keluar dari mobil dengan membawa payung dan mendekatiku. “Dek, kamu jangan berhujan-hujanan. Nanti kamu bisa sakit,” kata orang itu sambil memayungi tubuhku yang sudah setengah basah. Aku membalikkan badan. Ternyata orang itulah yang sedang berdiri di hadapanku. Ia tersenyum dengan hangat, sehangat pertemuan pertamaku dengannya dulu. Aku menitikkan air mata. “Kakak dari mana saja?” kataku sambil menahan suaraku yang agak bergetar karena tangis. “Maafkan aku. Ada hal yang harus aku luruskan dan kini aku telah menemukan titik terangnya. Mari kita kembali lagi seperti semula,” jawabnya. “Maaf, aku harus pergi sekarang,” lanjutnya sambil menarik lenganku agar aku memegangi payung yang sedang ia pegang. Aku merasa sangat senang dan menghapus air mata yang mengalir di pipiku.

Namun tiba-tiba saat mobil yang dinaiki orang itu telah melesat jauh, dadaku yang sebelah kiri terasa sakit. Napasku menjadi sesak. Aku ingin berteriak minta tolong namun suaraku tertahan. Payung hijau yang kugenggam terlepas. Orang-orang sekitar yang tadinya sedang berteduh kemudian berlarian mendekatiku. Setelah itu, aku sudah tidak sadarkan diri lagi.

***

Tiba-tiba saja hujan turun saat aku sedang berjalan sambil mengenang semua memori lama itu. Hal ini terjadi tepat ketika aku berada di depan gerbang taman kota. Aku langsung berlarian menuju tempat berteduhku yang biasa. Nafasku menjadi tersengal karena berlari. Dadaku terasa sakit dan aku baru teringat bahwa ini adalah jam minum obatku. Di bawah payung jamur raksasa itu,  aku duduk di kursi kemudian mengeluarkan obat dan botol air minum dari tasku. Aku meminum obat itu.

Aku mengamati sekitar. Taman ini benar-benar sunyi. Hanya aku sendirian yang sedang berteduh di payung jamur raksasa itu. Mungkin orang-orang yang lain sedang berteduh di halte bus besar yang baru selesai dibangun beberapa hari lalu itu. Jalanan masih tetap saja ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Aku memegang dadaku yang masih agak terasa sakit. Jantung ini adalah pemberian seseorang yang sangat berharga bagiku. Aku harus menjaganya dengan baik.

***

Mataku terbuka. Penglihatanku agak kabur pada awalnya, namun perlahan mulai terlihat jelas. Aku mengenakan pakaian pasien rumah sakit dengan selang infus di lengan kiriku. Sepi sekali. Aku melihat ke jendela kaca. Di luar gerimis turun. Aku bisa langsung mengetahui bahwa hari masih siang karena cahaya mentari yang tampak samar-samar oleh awan kelabu. “Apa yang terjadi padaku?” gumamku. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamar itu. Itu adalah Nadia, teman dekat yang juga satu kampus denganku. Kami sudah lama kenal dan sering bertukar cerita satu sama lain. “Ya ampun, Shin. Akhirnya kamu bisa sadar. Beruntung pula kamu bisa selamat dari penyakit jantungmu itu,” kata Nadia dengan wajah yang senang.  “Mungkin beberapa hari lagi kamu sudah bisa pulang,” sambungnya lagi.

“Payung... Payung hijau itu dimana?” tanyaku tanpa menanggapi perkataan Nadia tadi.  “Tenang. Payung itu aku simpan dengan baik,” jawab Nadia. “Katanya kamu punya janji penting Hari Rabu  nanti, ya? Kamu bisa istirahat di rumah setelah pulang nanti, sebelum kamu pergi untuk menepati janji itu,” lanjutnya lagi.  Aku tidak menanggapi perkataan Nadia yang pamit undur diri untuk pergi ke kampus. Aku malah memikirkan tentang orang itu. “Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah dia sudah mengetahui kabar tentangku? Apakah dia pernah menjengukku saat aku masih dirawat di rumah sakit ini?” aku bergumam dalam hati.

***

Tibalah siang itu. Masih dalam keadaan yang sama, langit kelabu menunjukkan tanda-tanda akan hujan. Aku menunggu di tempat yang sama. Niatku hanya ingin mengembalikan payung ini kepada pemiliknya, seperti yang dituliskannya dalam pesan singkat kepadaku.  Sudah sekitar satu jam aku menunggu, dengan rasa kekhawatiran bahwa ia tidak akan pernah datang.

Kemudian seseorang  datang menghampiriku. Anak laki-laki yang menggunakan baju serba hitam. Umurnya kira-kira 15 atau 16 tahunan. “Kak Shintya, ya?” tanya anak itu. “Ya, dek,” jawabku. Aku benar-benar terkejut saat melihat mata anak itu yang sembab. Apalagi setelah memikirkan bahwa wajah anak ini memiliki kemiripan dengan seseorang yang sedang kunanti. “Ini surat dari kakak sebelum ia meninggal,” lanjut anak itu lagi. Anak itu berlalu pergi tanpa sepatah kata pun setelah meletakkan sebuah surat yang tak beramplop di atas meja bulat. Sambil berlalu pergi, aku masih sempat melihat jatuhnya setetes air mata dari pipi kanan anak itu. Aku ingin memanggil anak itu dan meminta penjelasan darinya. Namun, aku malah terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Aku takut akan sebuah prasangka di hati. Perlahan dengan tangan yang agak gemetaran, aku meraih surat itu dari atas meja. Aku membuka surat itu dan membacanya. Saat itu, hujan turun tiba-tiba dengan derasnya.  Surat itu menjelaskan semuanya. Menjawab semua prasangka yang selama ini terngiang di benakku.

***

Kepada Shintya Ayudya Amanda

Bagaimana kabarmu saat ini? Semoga bersamaan dengan dibacanya surat ini, kau dalam keadaan sehat dan selalu berada di bawah lindungan-Nya. Amiin.

Dalam surat ini, aku ingin menyampaikan suatu hal yang sangat penting. Hal yang selama ini kututupi darimu karena aku sungguh tidak sanggup untuk mengatakannya secara langsung. Hal ini berkaitan dengan dosaku di masa lalu terhadapmu. Karena itu, aku ingin mengucapkan beribu-ribu kata maaf kepadamu. Tidak mengapa bagiku jika kau tidak memaafkanku dan membenciku. Namun kau harus mengetahui semua kebenaran ini.

Kau mungkin tidak tahu siapa aku sebenarnya. Karena akulah pelakunya, pelaku dari tabrak lari Ibumu tujuh tahun yang lalu. Saat hujan itu, aku yang masih berumur 16 tahun mengendarai mobil Ayahku menuju ke rumah sakit. Meski waktu itu aku belum cukup umur untuk mengendarainya, namun keadaan mengharuskan berbuat demikian karena aku sedang membawa Ibuku yang saat itu sedang sekarat.

Di tengah-tengah perjalanan, aku melihat seorang anak perempuan yang menyeberang, kemudian disusul oleh seorang wanita yang mungkin adalah Ibu dari anak ini. Aku yang benar-benar panik saat itu tak sempat memijak pedal rem, sehingga aku menabrak wanita itu. Namun, aku langsung pergi untuk membawa Ibuku ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian, aku mendengar bahwa wanita yang kutabrak meninggal.

Aku sangat menyesal. Benar-benar menyesal. Aku mulai mencari tahu tentang korban dan akhirnya tujuh tahun kemudian barulah aku mengetahui ternyata korban mempunyai seorang anak perempuan. Karena perasaan bersalahku, aku mulai mendekatimu yang merupakan anak dari korban. Aku bahkan selalu datang setiap hari Rabu siang di payung itu untuk menemuimu, meski diriku tak pernah sanggup untuk menjelaskan semuanya padamu.  Kemudian, rasa penyesalanku padamu semakin mendalam karena aku telah jatuh cinta padamu. Itulah yang menjadi alasan mengapa aku pernah menghindarimu selama sebulan.

Pada hari itu, setelah aku memayungimu di tengah-tengah hujan, aku pergi bertugas ke luar kota. Keesokan harinya barulah aku mengetahui kabar tentangmu dari Nadia. Aku langsung bergegas untuk pergi ke rumah sakit tempatmu dirawat. Ketika itu hujan turun sangat deras yang disertai angin kencang dan juga petir. Jalanan yang kulalui sangatlah licin. Nasib yang malang menimpaku karena sebuah pohon  besar tumbang dan menghimpit mobilku. Lebih malangnya lagi, kecelakaan ini baru diketahui beberapa jam kemudian.

Aku dilarikan ke rumah sakit, tetapi semua sudah sangat terlambat. Hari ini di rumah sakit yang sama, kita sama-sama sedang berusaha untuk mempertahankan hidup. Namun, nasibmu jauh lebih beruntung dariku. Engkau divonis dokter mengalami penyakit kelainan jantung bawaan. Nyawamu sedang terancam, karena kau bisa meninggal jika tidak segera menemukan donor untuk jantungmu. Sementara itu, kedua kakiku diamputasi setelah kecelakaan. Dokter juga telah memvonis bahwa nyawaku tak akan bisa bertahan lebih lama lagi.

Kemudian, aku membuat sebuah keputusan. Aku memutuskan untuk memberikan sisa hidupku kepadamu, mendonorkan jantungku padamu setelah aku meninggal. Hal ini kulakukan demi menyelamatkan nyawa orang yang kucintai, sekaligus membayar hutang masa laluku. Kini, aku bisa meninggalkan dunia dengan tenang.

Sekali lagi, aku ingin mengucapkan ribuan kata maaf kepadamu. Maaf jika aku telah membuatmu kehilangan Ibumu. Maaf jika aku menyembunyikan semua masa lalu kelam ini darimu. Maaf pula jika orang sepertiku mencintaimu. Terima kasih telah hadir dalam hidupku yang singkat…

Septian Andika Zefrian

***

Aku jatuh tersungkur setelah membaca surat itu. Bukan di bawah payung itu, namun di tengah-tengah hujan. Di taman itu hanya ada aku sendirian. Aku menangis, namun tangisanku tak terlihat karena hujan yang turun dengan deras. Aku menjerit, namun jeritanku kalah oleh suara hujan dan guntur. Aku ingin marah, namun amukan hujan lebih dahsyat dari yang kukira. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.

***

Hari ini tepat setahun setelah semua kejadian yang kualami itu. Setelah sekitar dua jam mengenang semua kejadian itu sambil menunggu hujan yang reda di bawah payung yang sama, akhirnya langit mulai memperlihatkan senyuman indahnya. Di ujung jalan raya itu, terlihat pelangi yang mulai muncul, dan juga panas mentari yang mulai menunjukkan diri. Bagiku, pelangi yang terlihat indah di langit itu merupakan secercah harapanku untuk meneruskan hidup, menjaga amanat yang telah diberikan oleh Tuhan. Aku menarik napas lega karena akhirnya hujan reda. Aku mulai melangkahkan kakiku untuk pulang menuju tempat kos.

Mengenang semua itu membuatku tersenyum. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyesali segala sesuatu yang pernah terjadi. Sebab, aku yakin bahwa Tuhan telah memiliki rencana yang luar biasa dalam menakdirkan jalan hidup seseorang. Karena itu, aku benar-benar bersyukur masih diberi kesempatan hidup sekali lagi.

Begitulah kisahku tentang hujan. Orang-orang datang dan juga pergi ketika hujan. Peristiwa-peristiwa dahsyat yang ada dalam hidupku terjadi ketika hujan. Seolah-olah hujan merupakan ritme indah yang menyampaikan rencana Tuhan kepadaku. Hujan mengajarkanku tentang pahitnya kehilangan dan kepergian. Di samping itu, hujan juga mengajarkanku tentang kesabaran dan keikhlasan dalam menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku. Hujan adalah rahmat bagi alam semesta, dan juga merupakan anugerah terindah dalam hidupku.  Sebab, Yang Kuasa telah melukiskan semua kisah yang luar biasa ini ketika hujan. Kini, semua kenangan itu terlukis indah dalam nyanyian merdu ketika hujan.

***

                                           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun