***
Tiba-tiba saja hujan turun saat aku sedang berjalan sambil mengenang semua memori lama itu. Hal ini terjadi tepat ketika aku berada di depan gerbang taman kota. Aku langsung berlarian menuju tempat berteduhku yang biasa. Nafasku menjadi tersengal karena berlari. Dadaku terasa sakit dan aku baru teringat bahwa ini adalah jam minum obatku. Di bawah payung jamur raksasa itu, aku duduk di kursi kemudian mengeluarkan obat dan botol air minum dari tasku. Aku meminum obat itu.
Aku mengamati sekitar. Taman ini benar-benar sunyi. Hanya aku sendirian yang sedang berteduh di payung jamur raksasa itu. Mungkin orang-orang yang lain sedang berteduh di halte bus besar yang baru selesai dibangun beberapa hari lalu itu. Jalanan masih tetap saja ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Aku memegang dadaku yang masih agak terasa sakit. Jantung ini adalah pemberian seseorang yang sangat berharga bagiku. Aku harus menjaganya dengan baik.
***
Mataku terbuka. Penglihatanku agak kabur pada awalnya, namun perlahan mulai terlihat jelas. Aku mengenakan pakaian pasien rumah sakit dengan selang infus di lengan kiriku. Sepi sekali. Aku melihat ke jendela kaca. Di luar gerimis turun. Aku bisa langsung mengetahui bahwa hari masih siang karena cahaya mentari yang tampak samar-samar oleh awan kelabu. “Apa yang terjadi padaku?” gumamku. Tiba-tiba seseorang masuk ke kamar itu. Itu adalah Nadia, teman dekat yang juga satu kampus denganku. Kami sudah lama kenal dan sering bertukar cerita satu sama lain. “Ya ampun, Shin. Akhirnya kamu bisa sadar. Beruntung pula kamu bisa selamat dari penyakit jantungmu itu,” kata Nadia dengan wajah yang senang. “Mungkin beberapa hari lagi kamu sudah bisa pulang,” sambungnya lagi.
“Payung... Payung hijau itu dimana?” tanyaku tanpa menanggapi perkataan Nadia tadi. “Tenang. Payung itu aku simpan dengan baik,” jawab Nadia. “Katanya kamu punya janji penting Hari Rabu nanti, ya? Kamu bisa istirahat di rumah setelah pulang nanti, sebelum kamu pergi untuk menepati janji itu,” lanjutnya lagi. Aku tidak menanggapi perkataan Nadia yang pamit undur diri untuk pergi ke kampus. Aku malah memikirkan tentang orang itu. “Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah dia sudah mengetahui kabar tentangku? Apakah dia pernah menjengukku saat aku masih dirawat di rumah sakit ini?” aku bergumam dalam hati.
***
Tibalah siang itu. Masih dalam keadaan yang sama, langit kelabu menunjukkan tanda-tanda akan hujan. Aku menunggu di tempat yang sama. Niatku hanya ingin mengembalikan payung ini kepada pemiliknya, seperti yang dituliskannya dalam pesan singkat kepadaku. Sudah sekitar satu jam aku menunggu, dengan rasa kekhawatiran bahwa ia tidak akan pernah datang.
Kemudian seseorang datang menghampiriku. Anak laki-laki yang menggunakan baju serba hitam. Umurnya kira-kira 15 atau 16 tahunan. “Kak Shintya, ya?” tanya anak itu. “Ya, dek,” jawabku. Aku benar-benar terkejut saat melihat mata anak itu yang sembab. Apalagi setelah memikirkan bahwa wajah anak ini memiliki kemiripan dengan seseorang yang sedang kunanti. “Ini surat dari kakak sebelum ia meninggal,” lanjut anak itu lagi. Anak itu berlalu pergi tanpa sepatah kata pun setelah meletakkan sebuah surat yang tak beramplop di atas meja bulat. Sambil berlalu pergi, aku masih sempat melihat jatuhnya setetes air mata dari pipi kanan anak itu. Aku ingin memanggil anak itu dan meminta penjelasan darinya. Namun, aku malah terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Aku takut akan sebuah prasangka di hati. Perlahan dengan tangan yang agak gemetaran, aku meraih surat itu dari atas meja. Aku membuka surat itu dan membacanya. Saat itu, hujan turun tiba-tiba dengan derasnya. Surat itu menjelaskan semuanya. Menjawab semua prasangka yang selama ini terngiang di benakku.
***
Kepada Shintya Ayudya Amanda