Interaksi antara hukum negara dan hukum adat memang tidak bisa dihindari dalam arenanya di ruang politik dan sosial. Kurniawarman (2009) menyebutkan bahwa masyarakat adat telah menjadi entitas semi- autonom (semi-mandiri) akibat interaksinya dengan negara, yang merupakan konsekuensi dari penyatuan sebagai bangsa Indonesia.
Masyarakat adat tetap dihargai sebagai masyarakat semi - autonom dalam konstitusi kita, terutama dalam hal pengakuan hak ulayat atas pengelolaan sumber daya alam sebagai produk politik tertinggi negara. Pengakuan konstitusi tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam rezim peraturan sumber daya alam (Undang-undang Pokok Agraria / UUPA) dan rezim peraturan otonomi daerah.
Pengakuan hak dalam konstitusi tidak sepenuhnya penuh dalam implementasi akibat sektoralisme peraturan sumber daya alam, yaitu sejak berlakunya undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU sumber daya air, UU Pertambangan dan lain-lain. Undang-undang sektoral ini secara serentak memberlakukan pengakuan bersyarat hak ulayat masyarakat adat yang memperlemah eksistensinya.
Kasus Nagari
Nagari adalah kasus unik untuk menjelaskan interaksi hukum adat dan hukum negara tersebut. Kasus nagari menjelaskan interaksi secara terus menerus antara hukum adat dengan hukum negara pada situasi konflik dan juga akomodasi.
Paska Orde Baru, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat berniat mengembalikan adat sebagai basis nagari sebagai unit sosial masyarakat adat sekaligus unit pemerintahan desa melalui Perda Nagari 9/2000. Perda 9/2000 mengembalikan wilayah nagari kebentuk lama sebelum dipecah oleh UU Desa 1979.
Pengembalian nagari ini bukan berarti menyelesaikan konflik antara yang informal adat dengan yang formal negara. Perda 9/2000 menciptakan nagari dalam dualisme kelembagaan dengan mempertahankan KAN sebagai representasi adat dan Pemerintah Nagari sebagai representasi negara yang masing-masing memiliki basis klaim atas penguasaan hak ulayat.
KAN yang dilucuti kekuasaannya oleh Perda 9/2000 menggunakan klaim adat untuk mengklaim penguasaan atas hak ulayat, sedangkan pemerintah nagari menggunakan basis hukum negara untuk mengelola hak ulayat berdasarkan Perda 9/2000.
Situasi ini melahirkan ketegangan antara nagari dengan KAN yang melahirkan konflik dan juga akomodasi. Terlepas dari ketegangan itu, pemahaman yang sama muncul dalam pemahaman masyarakat nagari, bahwa aset nagari, termasuk hak ulayat mesti dikembalikan ke nagari dari penguasaan Pemerintah
Dalam banyak kasus, Pemerintah Nagari dan KAN bekerja sama untuk mengklaim hak ulayat dari penguasaan Pemerintah Pusat/Daerah dengan menggunakan Peraturan Nagari (Peraturan Desa). Peraturan Nagari adalah produk hukum negara yang isinya adalah hukum adat. Peraturan Nagari berisi tentang hak ulayat dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum adat.
Pola pengaturan ulayat nagari melalui Peraturan Nagari misalnya dilaksanakan oleh Nagari Sungai Kamunyang di Kabupaten Lima Puluh Kota. Klaim melalui Peraturan Nagari ini bekerja efektif untuk memperkuat hak ulayat dan otonomi nagari dalam mengurus sumber daya alamnya.