Mohon tunggu...
Nurul Firmansyah
Nurul Firmansyah Mohon Tunggu... Advokat dan Peneliti Socio-Legal -

https://nurulfirmansyah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masyarakat Adat dan Kuasa Eksklusi

29 Oktober 2018   21:55 Diperbarui: 29 Oktober 2018   22:15 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan sebanyak 2.332 komunitas adat di Indonesia yang memiliki identitas sosial khas berdasarkan tradisi. Faktor utama pembentuk identitas sosial masyarakat adat tersebut adalah ketergantungannya dengan sumber daya alam yang dikelola secara komunal. Faktor tersebut membentuk tata nilai, religiositas dan budaya masyarakat adat yang khas.

Selain itu, ruang hidup sebagian besar populasi masyarakat adat adalah pada wilayah-wilayah terpencil yang memperkuat eksklusifitas kelompok ini dalam relasinya dengan kelompok sosial lain.

Kuasa Eksklusi 

Cara hidup yang khas dan terpencil secara geografis mengakibatkan masyarakat adat terisolasi secara sosial. Cara hidup yang khas dan terpencil tersebut melahirkan prasangka negatif berupa stigma-stigma. Misalnya julukan silelek kaulu dengan konotasi udik atau bodoh untuk komunitas adat terpencil yang hidup di hulu-hulu Sungai di Mentawai Sumatera Barat.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa identitas masyarakat adat terkait erat dengan alam, baik itu di kawasan ekosistem hutan, pesisir, pertanian-perladangan dan sebagainya. Ikatan dengan alam ini membentuk pola pengelolaan organis sumber daya alam yang khas pada masing-masing komunitas adat, seperti berburu-meramu, bertani ladang hutan, berladang berpindah, nelayan dan seterusnya.

Dalam dimensi lebih luas tentang ikatan masyarakat adat dengan alam adalah magis-religius. Dimensi ini sering dimaknai sebagai kearifan lokal yaitu tata nilai, pengetahuan dan kebudayaan lokal. Sisi religius kearifan lokal sering juga dimaknai sebagai kepercayaan lokal atau agama adat (leluhur).

Persoalan muncul ketika dimensi magis-religius berinteraksi dengan agama-agama mainstream. kelompok sosial dominan yang masih menganggap agama adat dan kearifannya sebagai suatu "penyimpangan" dari agama mainstream, sehingga seringkali stigma muncul terhadap masyarakat adat sebagai kelompok menyimpang. Situasi ini diperkuat lagi dengan arus konservatisme agama yang makin mengental akhir-akhir ini.  

Demikianlah, perihal eksklusi sosial masyarakat adat adalah situasi penolakan dan ostracism pada kelompok-kelompok masyarakat adat. Penolakan terhadap masyarakat adat, baik secara individu maupun kelompok muncul karena identitas sosialnya tidak diinginkan oleh masyarakat luas. Sedangkan dalam konteks ostracism adalah pengabaian dalam relasi sosial terhadap individu dan kelompok masyarakat adat yang dianggap sebagai suatu penyimpangan budaya dominan.

Akses Hak

Banyak kasus menunjukan bahwa masyarakat adat mengalami keterbatasan akses atas sumber daya dan layanan dasar akibat eksklusi sosial. Keterbatasan ini terkait dengan minimnya akses mereka pada proses politik dan administratif di tingkat lokal. Konsekuensinya, akses mereka terhadap hak minim.

Selaras dengan itu, eksklusi sosial masyarakat adat mengisolasi mereka dari akses atas sumber daya politik dan sosial. Isolasi sosial dan politik ini meminggirkan mereka dari setiap proses politik dan kebijakan di tingkat lokal. Pada sisi lain, kerangka legal kita masih mempersyaratkan pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum oleh otoritas Pemerintah Daerah.

Pengakuan sebagai subjek hukum adalah prasyarat legal bagi masyarakat adat untuk mengakses dan menguasai sumber daya alam. Dengan kata lain, Kerangka legal yang ada masih menutup akses dan kontrol masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya.

Sedangkan pada sisi layanan dasar, hambatan legal tidak serumit seperti halnya pengakuan masyarakat adat di bidang sumber daya alam. Bidang-bidang layanan dasar seperti Pendidikan, kesehatan dan identitas legal tidak mempersyaratkan pengakuan subjek hukum masyarakat adat terlebih dahulu.

Namun, cara hidup dan identitas budaya yang khas acapkali diabaikan dalam pelaksanaan layanan-layanan dasar, misalnya masih banyaknya masyarakat adat yang nomaden tidak terjangkau layanan identitas legal, baik itu akta kelahiran, kartu tanda penduduk dan sebagainya karena perangkat dan mekanisme pencatatan identitas legal bertumpu pada masyarakat menetap.

Demikianlah, persoalan eksklusi sosial masyarakat adat bersifat sosial sekaligus struktural. Sifat struktural tersebut terkait dengan muatan kebijakan dan implementasi beserta prosedur-prosedurnya yang potensial melahirkan deskriminasi, pelanggaran dan pengabaian hak oleh negara. Sedangkan sifatnya yang sosial adalah deskriminasi masyarakat adat memperkuat isolasi sosial dalam relasinya dengan masyarakat luas.

Kewargaan Inklusif

Inklusi sosial adalah kondisi sebaliknya dari eksklusi sosial. Inklusi sosial adalah mengenai perubahan sosial dalam masyarakat atau komunitas dan bagaimana mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang ada di tengah masyarakat dengan menghilangkan semua rintangan bersifat deskriminatif. Inklusi sosial adalah proses untuk memastikan semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak (Tambunan, 2016).

Secara sederhana, inklusi sosial adalah situasi dan proses demokratis dengan partisipasi penuh setiap kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat untuk menghindari eksklusi sosial. Inklusi sosial dalam konteks masyarakat adat adalah bagaimana mendorong proses demokratis yang mampu membuka peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi masyarakat adat, baik pada ranah politik maupun sosial.

Pada ranah politik, kebijakan deskriminatif terhadap masyarakat adat selayaknya dikaji ulang, misalnya kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang membatasi pengakuan hak masyarakat adat. Di sisi lainnya, kebijakan mendukung tindakan affirmatif (affirmative action) negara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus masyarakat adat semestinya dilahirkan, khususnya di bidang layanan dasar maupun perlindungan hak.

Dalam konteks ini, RUU Masyarakat Adat yang sedang digodok Pemerintah dan DPR RI sangat relevan untuk diterbitkan untuk memastikan perangkat hukum perlindungan hak masyarakat adat yang memastikan adanya tindakan affirmatif dan jaminan partisipasi masyarakat adat dalam satu undang-undang payung. 

Sedangkan pada ranah sosial, pemahaman atas keberagaman, toleransi dan inklusi sosial mesti melembaga, baik melalui jalur Pendidikan dan kebudayaan untuk membangun interaksi dan penerimaan sosial antar kelompok masyarakat. Dengan hal ini, maka identitas adat bukan lagi dipandang sebagai pembeda dalam kehidupan bermasyarakat, namun sebagai mozaik kekayaan bangsa dalam politik kewargaan setara semartabat yang dijanjikan oleh konstitusi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun