Mohon tunggu...
Nurul Fatma
Nurul Fatma Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Script Writer

Tulisan membuat dirimu ADA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pejuang Skripsi Tidak Cuman Ngetik, tapi Ada Proses Mental

20 September 2021   22:58 Diperbarui: 21 September 2021   18:00 1845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswi akhir mengerjakan skripsi | Sumber: Pexels via edukasi.kompas.com/

Siapa yang dulu mengira orang yang ngeluh sama skripsi itu lebay?

Saya...

Sekarang saya paham kenapa dark jokes tentang skripsian masih menjadi bahasan banyak orang. Karena skripsian itu salah satu tantangan terbesar dalam hidup. 

Kalau dalam games, ibaratnya kamu lagi melawan bosnya di level sebagai mahasiswa, barulah kamu bisa naik ke level selanjutnya di jenjang karir.

Let me know, kamu golongan yang mana, yang cepat lulus  atau yang telat lulus?

Siapapun kamu mungkin bisa relate yang namanya lika liku penulisan skripsi.

Cerita dimulai dari saat saya masih menjadi mahasiswa yang tepat waktu mengumpulkan tugas, tugas yang dikumpulkan haruslah sempurna, dan kalau ujian mesti belajar dulu dan tipe menulis yang panjang dalam jawaban esai. Tapi, saat skripsian saya terperangkap selama 11 semester di kampus. 

Jika rata-rata mahasiswa jurusan saya mulai skripsian di semester 7, maka saya telah terperangkap selama 4 semester untuk menuntaskan skripsi tersebut.

Kesalahan pertama saya adalah berpikir bahwa skripsi mahasiswa soshum lebih mudah dilakukan daripada mahasiswa mipa. 

Bahkan dengan santai saya katakan pada orang tua, "Tenang mah, skripsi soshum gampang, bakalan sebentar kok ma." Petir menyambar kutukan datang. 

Saya malah menghadapi situasi yang sebaliknya. Mudah? Untuk lulus dan dapat gelar yang bakalan digandeng seumur hidup ga mungkin mudah, ga mungkin segampang itu. Di situlah yang namanya perjuangan itu diuji.

Ternyata membuat satu paragraf skripsi pun itu sulit bagi saya. Mengapa? Jawaban itu saya sadari ketika prokratinasi atau tunda-menunda sudah mulai menjangkiti saya. 

Jawaban pertama adalah saya sadar setiap kalimat yang saya tulis mengandung pertanggung jawaban. 

Ga sekadar ketik dan mengarang, tapi ada ide pokok yang harus disampaikan. Lalu, kendalanya apalagi yang ingin saya sampaikan, jadilah saya membutuhkan waktu untuk mencari ide pokok dari tulisan yang saya garap.

Jawaban kedua adalah banyak ketakutan akan kesalahan. Ketakutan ini akhirnya menjadi beban tersendiri bagi saya, karena membuat saya menulis lalu menghapus lalu menulis dan begitu seterusnya. 

Kalimat ajaib yang keluar dari teman saya saat saya curhat, "Aalaah tulis aja dulu, nanti bakal direvisi juga."

Benar, tapi saya ingin sekali beri yang terbaik dalam tulisan saya. Lalu dia melanjutkan, "Udahlaah ga usah jadi perfeksionis, bakalan jadi beban."

Benar, ternyata ketakutan itu berasal dari perasaan yang perfeksionis dan takut akan penolakan. Padahal sebagai penulis peneliti kita masih banyak pemakluman dari pihak kampus, tapi saya aja yang ingin sempurna dan terlihat sempurna. Pada akhirnya saya dihukum oleh diri sendiri.

Kedua perasaan yang muncul itu terakumulasi jadi sesuatu yang tidak menyenangkan, dan respon otak kita, "Uh, ga mood ngerjain skripsi, cari mood dulu deh."

Lingkaran prokratinasi pun mulai terbentuk. Kamu sudah tertipu oleh alibi mood. Sebenarnya itu adalah bentuk pertahanan diri kita yang tidak ingin menghadapi sesuatu yang kita anggap tidak menyenangkan dan malah mencari sesuatu yang membuat otak banyak memproduksi dopamin (hormon yang membuat kita merasakan senang). 

Ketika kita kira sudah mood, lalu mulai menulis, ternyata kecemasan itu datang lagi, mood turun lagi, lalu cari alibi untuk bikin mood lagi. Begitulah pertengkaran saya dengan diri saya, seperti lingkaran setan yang tak henti-henti.

Saat kita tau hal itu hanya merugikan tapi kita tetap lakukan dan mengorbankan hal yang lebih penting, itu sama saja mengumpulkan rasa frustrasi. Setiap hari saya menghadapi hal itu. 

Saya ingin mengerjakan skripsi, tapi saya belum sudah berperang dengan diri saya yang entah takut, overthiking dengan tulisan saya, overthiking sama dosen, overthiking sama teman-teman yang pamer di sosmed. The all of overthiking jadi beban mental bagi saya, jadinya perang semakin meluas.

Source: Thumbnail Youtube Rumah Sejuk
Source: Thumbnail Youtube Rumah Sejuk "Ardhi Wardhana - Pejuang Skripsi (Lyrics)

Sungguh berat melawan diri sendiri tapi lebih berat lagi menghadapi tekanan sosial. Mulai dari tuntutan orang tua, temen yang udah duluan, orang basa-basi yang nanyain kapan lulus, semua itu jadi topik sensitif bagi saya, bisa-bisa saya juga marah dan melawan alau ditanya tentang skripsi. 

Mengapa? Saya menyadari diri saya sedang berjuang untuk skripsi tapi respon lingkungan terlihat seperti, "Eh lo ngerjain skripsi ga sih? kok ga lulus-lulus." Pernyataan itu bahkan datang dari orang tua saya. 

Mereka meragukan saya ga ngerjain skripsi padahal untuk ngerjain satu halaman skripsi itu rasanya mind blowing. Pada malam itu, saya jadi bertengkar sama orang tua saya.

Kesalahan ketiga saya adalah menyelingi skripsi dengan kegiatan lain. Sebenarnya ini kesalahan yang tidak saya sesali, karena saya telah berinvestasi dalam kegiatan saya saat ini, yaitu merintis rumah produksi. 

Kesalahan saya itu adalah gagal membagi diri saya sebagai mahasiswa dan anggota komunitas. Sudah tau diri ini tidak akan mampu tapi masih aja dikerjain. Pada akhirnya saya mengorbankan skripsi dan kegiatan komunitas secara bergantian. 

Lanjut bicara tentang overthinking tadi, karena merasa tidak mendapat dukungan saya menjadi orang yang menyalahkan keadaan. Semua keterlambatan yang terjadi pada saya bukan karena saya tapi situasi. 

Dan hal ini menyebabkan pertengkaran dengan orang tua. Di mana rasa hati ini lelah sama skripsi, dan coba untuk menghibur diri beberapa hari malah di gas dan mencap saya main-main, ga mau ngerjain skripsi lah. 

Lalu saya luapkan semuanya dan bilang, "Skripsi ga hanya sekadar ketik ketik trus selesai, ada proses mental di dalamnya, papa ngerti ga sih?" 

Bahkan saya menyalahkan keluarga saya atas beban rumah tangga yang saya tanggung seperti cuci piring dan nyapu rumah, kkarena yang saya butuhkan sebenarnya waktu, fokus, dan dibebas tugaskan untuk melakukan itu. 

Lalu papa bilang, "Yah itu kamu aja yang ga bisa atur waktu."

Saya ga mau kalah dan salah. Akhirnya air mata ini tumpah karena ga diapresiasi sedikit pun oleh keluarga. 

Kadang percuma pamer progres kalau yang dilaporin itu bukan jadwal wisuda. Begitulah kasarnya.

Dan ternyata ketika badai skripsi itu mulai ringan, saya refleksikan diri saya kembali, "Oh my God, what i've done?" 

Ngeluh sana-sini, protes sana-sini, tuduh-tuduhan depan orang tua, padahal saya yang sebenarnya ga bisa menghadapi kesulitan skripsi. 

Tapi saya sampai pada kesadaran dan membuat makna tentang proses pengerjaan skripsi yang saya lewati (duh metode fenomenologi sekali) yang dihadapkan itu bukan hanya sekadar tulisan yang kita buat, tapi ini ujian akhir tentang seseorang yang akan menghadapi dunia lebih dari pada ini. 

Apakah kamu sudah mampu mengatur diri sendiri tanpa deadline? Apakah kamu sudah beradamai dari sifat saling banding membandingkan dengan orang lain? Apakah kamu sudah kuat menghadapi pekerjaan tanpa support dari orang lain? Apakah kamu sudah siap menjadi leader atas dirimu? 

Apakah kamu sudah sadar kepada siapa kamu meminta tolong? Apakah kamu sudah bisa menjadi orang yang bersabar atas konflik dunia? Apakah kamu sudah ikhlas dengan hambatan yang kamu hadapi? Apakah kamu sudah bertanggung jawab atas dirimu dan orang lain? dll. 

Sangat banyak pertanyaan tentang hidup, hubungan antar manusia, hubungan dengan Tuhan, self improvment, apalagi... buanyak. Saya merasa ujian akhir ini segala aspek kehidupan. 

Sehingga lahir lah skripsi setebal 180 halaman dengan gelar yang saya tenteng dan tentunya, pribadi yang lebih baru.

Pejuang skripsi, Yang masih berperang, jika kamu sampai ke tulisan ini untuk cari motivasi, tenanglah kamu tidak sendiri. Saya paham kamu juga dalam kesulitan, tapi orang-orang malah melihatmu tidak melakukan apa-apa. 

Jangan sampai kamu tertekan karena ada yang nanya kapan lulus, orang tua yang cuman paham skripsi kita selesai, tapi lupa kalau prosesnya rumit, biarlah seperti air mengalir. 

Karena bagi kamu yang berjuang, keindahan pasti akan datang. Benar kalau kita akan lulus pada waktunya, tapi waktu yang telah ditentukan haruslah dikejar. 

Ketika hati mulai dongkol mengerjakan skripsi, ingat perjuanganmu sudah sejauh ini. Akan sia-sia berhenti hanya karena alasan mental yang lemah menghadapi. 

Yok telan rasa pahit itu, hadapi badai skripsi dengan gagah sampai mengira skripsi hanya angin lalu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun