Bahkan saya menyalahkan keluarga saya atas beban rumah tangga yang saya tanggung seperti cuci piring dan nyapu rumah, kkarena yang saya butuhkan sebenarnya waktu, fokus, dan dibebas tugaskan untuk melakukan itu.Â
Lalu papa bilang, "Yah itu kamu aja yang ga bisa atur waktu."
Saya ga mau kalah dan salah. Akhirnya air mata ini tumpah karena ga diapresiasi sedikit pun oleh keluarga.Â
Kadang percuma pamer progres kalau yang dilaporin itu bukan jadwal wisuda. Begitulah kasarnya.
Dan ternyata ketika badai skripsi itu mulai ringan, saya refleksikan diri saya kembali, "Oh my God, what i've done?"Â
Ngeluh sana-sini, protes sana-sini, tuduh-tuduhan depan orang tua, padahal saya yang sebenarnya ga bisa menghadapi kesulitan skripsi.Â
Tapi saya sampai pada kesadaran dan membuat makna tentang proses pengerjaan skripsi yang saya lewati (duh metode fenomenologi sekali) yang dihadapkan itu bukan hanya sekadar tulisan yang kita buat, tapi ini ujian akhir tentang seseorang yang akan menghadapi dunia lebih dari pada ini.Â
Apakah kamu sudah mampu mengatur diri sendiri tanpa deadline? Apakah kamu sudah beradamai dari sifat saling banding membandingkan dengan orang lain? Apakah kamu sudah kuat menghadapi pekerjaan tanpa support dari orang lain? Apakah kamu sudah siap menjadi leader atas dirimu?Â
Apakah kamu sudah sadar kepada siapa kamu meminta tolong? Apakah kamu sudah bisa menjadi orang yang bersabar atas konflik dunia? Apakah kamu sudah ikhlas dengan hambatan yang kamu hadapi? Apakah kamu sudah bertanggung jawab atas dirimu dan orang lain? dll.Â
Sangat banyak pertanyaan tentang hidup, hubungan antar manusia, hubungan dengan Tuhan, self improvment, apalagi... buanyak. Saya merasa ujian akhir ini segala aspek kehidupan.Â
Sehingga lahir lah skripsi setebal 180 halaman dengan gelar yang saya tenteng dan tentunya, pribadi yang lebih baru.