Sama seperti daerah-daerah lain di Indonesia, banjir di Jambi akhir Desember 2012 hingga pertengahan Januari 2013 kemarin juga merupakan peristiwa yang terus berulang dalam siklus 10 tahunan atau lebih. Banjir besar pertama yang terekam dalam memori kolektif masyarakat Jambi terjadi pada 1955.
Banjir besar itu menenggelamkan bantaran sungai hingga meluber ke jalan-jalan dan pusat pertokoan dalam Kota Jambi. Banjir besar di Jambi tahun itu yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah Jambi.
Dalam foto-foto klasik yang beredar di masyarakat bertahun 1955, dijumpai gambar air sudah meluap hingga ke kawasan Bioskop Duta--kini sudah menjadi Hotel Duta, Pasar Loos, Simpang Bata dan areal di sekitarnya. Namun kerugian tidak dapat ditaksir. Banjir kemudian berulang lagi pada 1967, 1991/1992 dan 2003. Kerugian paling besar yang tercatat terjadi pada banjir 2003 ini yang diperkirakan mencapai Rp 450 milyar.
Aktivis lingkungan menuding penyebab banjir akibat kerusakan lingkungan dan pengundulan hutan di bagian hulu karena aktivitas penebangan liar (illegal Logging) oleh berbagai kegiatan baik perorangan, kelompok maupun korporasi. Â Kesimpulan ini bisa jadi sangat mungkin. Sebab, hutan sebagai kawasan resapan air di Uluan Jambi sudah rusak.
Luas hutan di Jambi terus berkurang selama 20 tahun terakhir. Saat ini, hutan Jambi hanya tersisa 1,3 juta hektare. Padahal pada 1990-an, luas hutan di daerah ini masih mencapai 2,4 juta hektare. Dari tahun 2011 hingga tahun 2012 ini saja, kerusakan hutan di Jambi setidaknya telah mencapai 20 ribu hektare.  Tahun 2012/2013 ini, hampir seluruh wilayah Ulu Batanghari (Jambi wilayah Barat), yang terdiri dari lima kabupaten mengalami banjir.
Sementara banjir di wilayah Ilir Batanghari, Kota Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, termasuk sebagian Muaro Jambi dan Batanghari merupakan banjir kiriman dari wilayah Ulu dan sebagian adalah banjir rob.
Sungai dangkal
Namun pengundulan hutan Jambi bukan satu-satunya penyebab banjir. Berdasarkan catatan-catatan kolonial, Daerah Aliran Sungai Batanghari sejak abad ke 17 memang dangkal dan mudah banjir. Di daerah Tembesi, Kabupaten Batanghari, di salah satu pertemuan Batang Tembesi dan Sungai Batanghari, ketinggian air sungai kadang-kadang hanya sampai 1 meter pada musim kemarau antara April dan Oktober.
Dalam kurun itu, debit air rendah juga memutus jalur antara Jambi Ulu dan Ilir. Dalam pada itu, dasar sungai kadang ditanami oleh warga dengan tumbuhan muda, seperti jagung, cabai dan sebagainya hingga masuk musim penghujan. Selain ditanami, dasar sungai yang menjadi padang pasir itu acap pula dijadikan lapangan sepak bola atau voli oleh warga sekitar. Namun sebaliknya pada musim hujan, genangan air sungai yang meluap mencapai beberapa kilometer meluar ke perkampungan warga.
Dalam memorandum penyerahan jabatan dari Residen J.R.F Verschoor van Nisse tahun 1931 disebutkan, bahkan ketika kapal-kapal bisa melayari sungai, mereka harus melaju sangat pelan. Sebuah kapal kincir pada tahun 1920 bahkan membutuhkan waktu sampai empat puluh delapan jam untuk menempuh jarak sekitar seratus kilometer dari Kota Jambi ke Muara Tembesi.
Selain dangkal, kondisi DAS Batanghari di wilayah hilir pada dasarnya memang rawan longsor, karena kondisi tanah masih tahap stadium muda. Longsor yang acap terjadi inilah yang menyebabkan pendangkalan-pendangkalan sungai, karena material longsor langsung mengendap di dasar sungai.
Wilayah rawan longsor itu membentang sepanjang 100 kilometer mulai dari Kabupaten Muarojambi hingga Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Kondisi tanah ini berbeda dengan kawasan Sungai Batanghari ke Ulu. Bencana sungai di daerah itu lebih disebabkan karena banyaknya konsesi dan alihfungsi lahan di sepanjang daerah aliran sungai.
Urat nadi kehidupan
Sungai Batanghari yang membentang sepanjang 800 kilometer mulai dari Ilir di kawasan Tanjung Jabung Timur hingga ke Ulu di wilayah Tebo, Bungo, sampai ke Dharmasraya dan Kerinci, sejak zaman dahulu merupakan urat nadi kehidupan warga. Sungai Batanghari dengan berbagai kondisinya adalah sumber mata pencarian, jalur transportasi dan pusat kegiatan warga.
Pada zaman dulu di musim kemarau, warga menyadap karet dan menumpuknya di tepi parit kecil. Jika musim penghujan dan parit meluap, maka getah-getah itu akan dihanyutkan masuk ke Sungai Batanghari dan dibawa ke hilir bersama batangan-batangan kayu atau bambu untuk dijual. Setelah getah terjual, mereka biasanya juga akan menjual batangan kayu dan bambu itu.
Meski satu jalur, namun wilayah Ulu dan Ilir Sungai Batanghari ini memiliki karakteristik yang bereda dalam banyak hal, termasuk dalam bidang kehidupan bermasyarakat, adat istiadat, sosial, bahasa, lingkungan, budaya termasuk sumber daya alam, termasuk karakter masyarakat itu sendiri.
Jambi terbagi dalam dua wilayah yang berbeda, yakni Ulu dan Ilir. Perbedaan yang dimiliki oleh dua entitas ini sangat mendasar dan sangat menyolok. Wilayah Ulu sejak zaman dahulu terkenal dengan kekayaan alam dan tanah yang subur. Hasil bumi yang ditemukan di wilayah ini mulai dari rempah-rempah, hasil hutan, emas, dan kandungan alam lainnya melimpah ruah.
Sebaliknya, Jambi wilayah Ilir pada masa dulu tidak memiliki banyak kekayan alam, termasuk hasil hutan atau pertambangan. Namun masysrakat wilayah ini berlaku sebagai penghubung ke dunia luar, khususnya memalui jalur pedagangan.
Maka demikian, hubungan antara Ulu dan Ilir adalah hubungan saling membutuhkan. Masyarakat di Ulu menyediakan barang-barang yang mereka miliki untuk kebutuhan masyarakat di Ilir, dan sebagain mereka jual. Dari hasil perdagangan itu, masyarakat Ulu mendapatkan barang-barang yang tidak dapat mereka produksi, seperti kain dan macam-macam barang perhiasan.
Nikmat Tuhan di balik banjir
Dua pekan pascabanjir besar yang menerjang pemukiman di sepanjang bantaran Sungai Batanghari, Jambi, ada kesibukan baru yang dilakukan oleh warga desa di Kecamatan Berbak, Tanjung Jabung Timur; memancing, menangkul dan mengumpulkan kayu-kayu.
Tidak ada wajah murung, nestapa dan berduka. Mereka larut dalam kebiasaan yang sangat biasa; rutinitas kerja, bertani dan berladang. Meski jelas ada kesibukan baru yang menggembirakan akhir-akhir ini.  "Banjir besar ini sudah biasa terjadi. Sebenarnya ini bukan banjir, tapi air sungai yang meluap. Ini sudah sejak bertahun lalu selalu terjadi," kata Abdulah, warga Desa Sungai Rambut, Kelurahan Simpang, Kecamatan Berbak, di sela-sela kunjungan Wakil Gubernur Jambi, Fachrori Umar, meninjau korban, Kamis dua pekan lalu.
Abdulah mengatakan, meluapnya air Sungai Batanghari bagi mereka justru merupakan rahmat dari Tuhan kepada umatnya yang patut disyukuri. Pasti ada hikmah dari Tuhan atas peristiwa alam itu bagi mereka.
Lurah Simpang, Kecamatan Berbak, Endi, membenarkan kondisi tersebut. Menurut dia, meski banjir telah merendam halaman dan air masuk ke sebagian rumah-rumah warga, namun sejauh ini tidak ada warga yang menjadi korban atau mengeluh atas peristiwa itu. Â "Mereka sudah biasa berhadapan dengan banjir. Menghadang banjir, bekerja dan bermain di tengah banjir. Namun sebagai pihak pemerintah, kami wajib membuat laporan dan menyelenggarakan bantuan kepada warga sekitar," kata Endi.
Banjir bagi warga adalah peristiwa biasa yang datang dalam siklus tertentu. Bisa dalam sepuluh tahun, atau lebih. Â Sejauh ini, tidak ada persiapan apapun dari warga dalam menghadapi banjir. Namun mereka mempunyai cara sendiri dalam menghindari luapan air. Cara yang sudah dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Salah satunya dengan mendirikan rumah berbentuk panggung, terutama bagi warga asli. Sehinga waktu banjir, yang terendam adalah halaman dan tiang-tiang rumah saja. Meski bukan nelayan, mereka umumnya juga memiliki perahu atau sampan kecil sebagai alat transportasi dikala banjir.
Menurut dia, yang justru kelabakan dan mengalami stres dalam kondisi ini adalah warga pendatang yang kebanyakan warga eks transmigrasi dari Jawa. Tapi kini, sebagian warga eks transmigrasi itu sudah pula terbiasa dan dapat menikmati pola dari siklus sepuluh tahunan itu dan menyikapi kondisi alam dengan akal dan kearifan lokal.
"Konsep rumah panggung adalah ciri khas masyarakat pesisir sungai. Kearifan lokal itu sudah diturunkan sejak beratus-ratus tahun lalu di sini. Jadi jika ada rumah warga terendam, sudah dipastikan mereka tidak memahami kondisi alam dan wujud kearifan lokal nenek moyang dahulu," katanya.
Dikatakan Endi, masyarakat pendatang sebaiknya memahami alam dan meniru kearifan lokal masyarakat setempat, seperti mendirikan bangunan/rumah berbentuk panggung. Sehingga ketika air Sungai Batanghari meluap, mereka terhindar dari banjir.
Panen ikan
Pascabanjir, berbagai jenis ikan; Betok, Sepat, Lambak, Gabus, Baung, Seruang, Selincah dan lainnya dari Sungai Batanghari mudah ditemukan oleh warga. Ikan-ikan ini terperangkap di rawa-rawa, parit dan cekungan padang di sepanjang kawasan Berbak, Tanjung Jabung Timur dan desa-desa sekitarnya, saat air mulai surut.
Menurut Leman, warga Desa Suak Kandis, Kabupaten Muaro Jambi, yang menjadi agen tangkapan ikan para warga, hasil tangkapan ikan pascabanjir ini jauh lebih besar dari hari-hari biasa. Berpuluh-puluh boks ikan hasil tangkapan warga yang dijual ke tempat dia, didistribusikan ke Kota Jambi dan sekitarnya setiap hari. Padahal ikan air tawar jenis itu kini biasanya sudah semakin sulit dicari.
Dikatakan dia, warga secara umum menangkap ikan dengan cara tradisional; dipancing, jala dan ditangkul. Alat terakhir ini adalah jenis penangkap ikan yang jamak ditemukan di setiap genangan, rawa, parit dan sungai-sungai kecil di daerah itu.
Setiap rumah, biasanya terdapat satu tangkul yang terpasang di belakang rumah. Tangkul ini mampu menjaring sampai satu kilo ikan jenis Betok dan Sepat sekali angkat. Tergantung besar kecilnya ukuran tangkul yang  terbuat dari jaring dan bambu ini, dan kedalaman air.
Sebagian warga juga menjadi suka memancing. Para ibu, nenek-nenek dan anak-anak biasanya memancing ikan dengan alat sederhana.  Menangkap ikan dengan cara memancing bagi mereka adalah satu-satunya cara untuk tidak menghabiskan sumber daya yang tersedia. Dengan memancing, secara otomatis hasil tangkapan akan terseleksi dengan sendirinya antara ikan yang besar dan yang kecil.
Panen ikan ini juga dimanfaatkan sebagian warga membuat kemplang atau sejenis kerupuk dari campuran tepung dan ikan. Hasil olahan ini bisa tahan lama dan awet serta bisa digunakan sebagai lauk makanan. Mereka juga memproduksi ikan asin dari hasil tangkapan itu.
Pasir dan Kayu
Sukardi, penambang pasir di kawasan Ancol Jambi yang masih termasuk wilayah Hilir Sungai Batanghari mengatakan, produksi pasir pascabanjir ini juga diprediksi meningkat dari hari-hari biasa. Â Â "Pasir dibawa hanyut dari Uluan dan mengendap di sini," katanya. Namun mereka biasanya harus menunggu sampai debit air benar-benar berkurang.
Namun, sambil menunggu air benar-benar surut di Sungai Batanghari, sebagain warga biasanya mulai turun untuk mengupulkan potongan-potongan kayu yang terbawa hanyut dari Ulu. "Kayu-kayu itu bisa jadi sisa hasil penebangan liar para penjarah hutan di wilyah Ulu," ucapnya.
Dengan banyaknya material yang terbawa, termasuk berbagai macam ikan dan udang selama banjir di Batanghari ini, merupakan wujud keadilan dan hubungan saling ketergantungan antara Ulu dan Ilir. "Banjir yang dikirim dari Ulu ke Ilir, pada dasarnya adalah bentuk lain hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan itu. Banjir yang datang dari Ulu membawa banyak faedah dan manfaat bagi masyarakat di Ilir," ucapnya.
Demikianlah alam menunjukkan kearifannya melalui air dan sungai bagi kesejahteraan kehidupan umat manusia di atas bumi ini.
Nurul Fahmy
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI