Mohon tunggu...
Nurul Fahmy
Nurul Fahmy Mohon Tunggu... -

Selalu banyak mimpi...Berdomisili di Jambi. Suka membaca, tapi sedikit menulis...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ayo Bobol Bank dengan Cara Pinjam Kolektif di BPR

22 November 2013   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 1960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modus dalam "membobol" dana bank melalui pinjaman kolektif saat ini tengah menjadi sorotan. Pinjaman yang dilakukan umumnya oleh oknum bendahara di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ini menggunakan nama dan dokumen pribadi para PNS.

Anehnya, dokumen yang dipinjami untuk jaminan di bank kadangkala hanya berupa salinan (fotokopi) SK PNS, SK Gaji Berkala atau bahkan hanya BPKB kendaraan sang PNS termasuk surat-surat yang tidak penting. Kejadian ini berulang dan sedikitnya telah tiga kasus terungkap sepanjang tahun ini di Jamb, dua diantaranya di instansi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Jambi dan di Kabupaten Muaro Jambi.

Kasus terbaru, seperti yang terjadi baru-baru ini dan terungkap pada Kamis (21/11), saat belasan guru di Kota Jambi, mendatangi DPRD setempat guna mengadukan dugaan penipuan oleh Pembantu Bendahara UPTD Dinas Pendidikan, Kecamatan Kota Baru, terkait persoalan pinjaman mereka di sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) setempat.

Adalah seorang guru SDN 42 Kota Jambi, Syukur, mengatakan, pihaknya merasa ditipu oleh Joko Saripudin, Bendahara UPTD, yang meminjam sejumlah uang ke sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan menggunakan nama dan dokumen pribadi milik mereka.

"Dia (Joko) mengatakan sedang memerlukan uang dan berencana meminjam SK PNS saya sebagai jaminan di bank dengan perjanjian akan dipulangkan dalam waktu enam bulan. Namun ternyata, setelah uang di dapat dari bank, pada tagihan ke enam, pihak BPR menghubungi kami untuk membayar cicilan pinjaman," katanya.

Diakui Syukur, yang mewakili puluhan orang rekan lainnya, padahal dalam perjanjian dengan Joko sebelumnya, cicilan akan dibayarkan langsung oleh Joko kepada BPR, sehingga mereka tidak perlu berurusan dengan pihak bank. "Setelah enam bulan, ternyata tagihan bank justru datang kepada kami dengan alasan cicilan pada bulan ke enam itu belum dibayar. Padahal dalam perjanjian kami dengan Joko yang dibuat di atas materai, segala beban dan tagihan bank menjadi tanggungjawab dia," katanya sambil menyodorkan salinan pernjanjian dengan Joko.

Celakanya, lanjut dia, hingga saat ini keberadaan Joko Saripudin, PNS dengan jabatan Pembantu Bendahara UPTD Dinas Pendidikan, Kecamatan Kota Baru, Jambi, tidak diketahui lagi. "Dia sudah menghilang sejak dua bulan lalu. Sudah kami intai dirumahnya, dan di tempat-tempat biasanya dia berada, namun yang bersangkutan tidak ada, telpon dan sms pun jarang dibalasnya. Sementara pihak bank terus mendesak agar kami membayar cicilan," papar dia.

Berdasarkan perhitungan sementara atas berkas yang diajukan oleh para guru diketahui, akumulasi pinjaman para guru tersebut mencapai miliaran rupiah, dengan rincian satu orang guru minimal meminjam Rp50 sampai dengan Rp80 juta.

"Nilai pinjamannya berbeda-beda, ada yang Rp 50, Rp 70 dan Rp 80 juta, dengan demikian angsurannya juga berbeda. Dan setahu kami saat ini ada sekitar 30 orang guru di UPTD Kota Baru yang menjadi korban Joko. Kabarnya di UPTD lain, termasuk pegawai teknis lain juga menjadi korban," kata Syukur.

Dikatakannya, sebenarnya persoalan pinjam-meminjam uang dan berkas ini berangkat dari kepercayaan para guru kepada atasan (Bendahara UPTD), terlebih persoalan pinjaman ini juga diketahui oleh Bendahara Dinas Pendidikan Kota JAmbi, M Yamin dengan bukti tanda tangan yang bersangkutan di atas surat perjanjian. "Kami percaya saja kepada Joko, dia memohon-mohon kepada kami dengan berbagai alasan, selain itu persoalan peminjaman ini juga diketahui oleh Bendahara Disdik Kota Jambi, M Yamin," terang Syukur.

Dikatakan dia, seminggu lalu pihaknya sudah mengadu persoalan ini kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Jambi, Rifai. Mereka berupaya menyelesaikan masalah ini secara internal dan melibatkan BPR. "Namun belum ada penyelesaian, pihak BPR tetap mendesak kami harus membayar cicilan bank yang sudah ditentukan. Jelas kami keberatan, sebab kami juga banyak pinjaman lain yang harus dibayar di bank lain. Jika kami harus membayar cicilan di BPR yang uangnya telah digunakan oleh Joko, maka gaji kami akan habis dan bahkan minus, sebab tagihannya ada yang sampai Rp7 dan 9 juta perbulan dari 4 bank," katanya.

Diketahui, Joko Saripudin tidak saja meminjam uang kepada satu bank, tapi empat bank. Bahkan ada beberapa orang guru yang langsung ke empat bank. Sehingga angsuran pinjaman tersebut melebihi gaji mereka perbulan. BPR yang menjadi sasaran Joko Saripudin itu adalah, BPR Kencana Mandiri, BPR Artha Prima, BPR Mitra dan BPR Pirma serta sebuah koperasi.

Anggota DPRD Kota Jambi, Jefri Bintara Pardede, mengatakan, persoalan ini memang harus diselesaikan, baik oleh internal Diknas maupun oleh pihak yang berkaitan langsung dengan BPR.

"Sebenarnya ini ada indikasi penipuan. Apalagi, jumlah guru yang dimanfaatkan bukan satu dua orang, tapi puluhan. Artinya, yang bersangkutan (Joko) memang memerlukan uang dalam jumlah besar yang akan digunakan entah untuk apa, namun dia menggunakan berkas dan nama sejumlah guru untuk memijam uang tersebut. Namun setelah itu dia dilaporkan menghilang dan tidak membayar kredit ke bank yang dipinjam," katanya.

Dipaparkan oleh Jefri, berdasarkan penuturan para guru, dari awal para guru itu curiga dengan pinjaman Joko Saripudin tersebut, namun para guru mengaku tidak enak dan segan karena yang bersangktan adalah atasan mereka. Bahkan ada indikasi pemaksaan saat proses peminjaman berkas. "Guru merasa tidak enak dengan Joko yang bendahara itu, mereka takut jika akan menjadi masalah, namun sebagian guru mengaku merasa tertekan dengan cara Joko meminjam SK mereka," katanya.

Kecurigaan para guru bermula dari sebagian berkas-berkas yang dipinjam oleh Joko Saripudin. Awalnya, tutur Jefri menjelaskan perkataan para guru, Joko Saripudin meminjam SK PNS, namun karena ada sebagian guru yang SK PNS-nya sudah dijaminkan di bank umum lainnya, maka Joko hanya meminjam salinan SK berkala, dan bahkan ada yang hanya memijamkan BPKB kendaraan bermotor.

"Guru itu bertanya, mengapa BPR bisa meminjamkan uang atas nama mereka, padahal SK PNS hanya foto kopi, dan bahkan ada yang hanya bermodalkan SK berkala dan BPKB. Padahal bank seharusnya punya prosedur baku dalam meminjamkan uang kepada debitur, yakni SK PNS asli atau jaminan lainnya yang berharga. Namun kenyataannya, jaminan seadanya dan dengan proses yang tidak lebih dari dua jam, pinjaman atas nama mereka langsung cair di BPR," katanya.

Menurut Jefri, seharusnya pihak BPR lebih selektif dalam mencairkan pinjaman secara kolektif seperti itu. "Jangan mentang-mentang calon debiturnya adalah PNS, lantas BPR dengan mudah menggelontorkan dana untuk pinjaman, seharusnya mereka teliti dulu kegunaan dan kesanggupan debitur untuk membayar cicilannya. Harusnya, mereka mempunyai data tentang calon debitur terkait dengan pijaman-pinjaman di bank lain," lanjut dia.

Jefri hanya mengingatkan kepada para guru agar berhati-hati terhadap pijaman bank, walaupun yang akan meminjam itu adalah atasan mereka. "Sebaiknya para guru harus berhati-hati dengan pinjaman, meskipun yang meminjam adalah atasan. Kasus penipuan atau pinjaman kolektif seperti ini sudah pernah terjadi di Satpol PP Kota Jambi dan kasusnya bahkan sudah naik ke persidangan," sebut dia.

Pembantu Bendahara UPTD Disdik Kecamatan Kota Baru, Joko Saripudin yang sedianya dikonfirmasi tidak mengangkat panggilan telepon. Namun, salah seorang guru mengatakan, dia berkomunikasi dengan Joko via SMS satu hari lalu, meskipun yang bersangkutan sering mengganti-ganti nomor telepon.

Belum ada keterangan dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Jambi, Rifai, terkait masalah ini. Namun para guru mengatakan, Rifai berjanji akan menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan dengan Joko Saripudin dan para guru. "Yang penting bagi kami tidak harus membayar tagihan itu, dan nama kami bersih dari catatan bank (BI cheking), dan kami tidak terganggu dalam bekerja dengan persoalan itu. Ini sangat berat, apalagi sebentar lagi anak-anak sekolah akan ujian," kata Syukur.

Ini Kata BPR

Direksi PT Bank Perkreditan Rakyat, Artha Prima, Joni, tidak bersedia memberikan keterangan lebih jauh terkait persoalan tersebut. Menurut dia, BPR mempunyai persatuan (Perbarindo) yang menaungi seluruh BPR, sehingga jika wartawan ingin meminta keterangan maka sebaiknya menghubungi persatuan BPR tersebut.

Namun, secara tidak langsung Joni mengakui persoalan yang sedang terjadi dengan sejumlah debitur yang berstatus guru di Kota Jambi itu. "Kami memang sudah ada pertemuan sebelumnya dengan pihak Dinas Pendidikan dan sejumlah guru itu. Tapi kami belum bisa mengambil keputusan karena persoalan ini sedang bergulir," katanya.

Dia minta agar persoalan ini tidak perlu menjadi konsumsi publik yang diberitakan melalui media massa. "Saya jadi heran, kenapa wartawan yang tiba-tiba datang kemari, bukannya yang bermasalah itu debitur kami," ucapnya.

Terkait besarnya jumlah pinjaman sejumlah guru yang disetujui oleh BPR, sehingga cicilannya ada yang mencapai Rp3 juta dan Rp 4 juta, Joni mengatakan itu adalah pertimbangan BPR yang bersangkutan. "Masing-masing BPR memiliki pertimbangan sendiri terhadap besaran pinjaman para debiturnya," katanya.

Sekali lagi Joni menolak menjelaskan apa pertimbangan BPR terhadap para guru yang sudah memiliki pinjaman di bank lain, namun masih melakukan pinjaman di bank milik mereka, bahkan ada beberapa guru yang meminjam di empat BPR sekaligus sehingga total cicilannya sampai ada yang mencapai Rp9 juta sebulan.

Padahal gaji seorang PNS golongan IV sekalipun perbulan tidak lebih dari Rp 4 juta sebulan. Jika cicilannya mereka sampai Rp 9 Juta sebulan, dari mana uang yang harus mereka setorkan itu? Dana sertifikasi para guru yang diterima 3 bulan sekali dan kemungkinan sang PNS memiliki penghasilan sampingan adalah kemungkinan yang  menjadi pertimbangan BPR untuk mempermudah pinjaman para abdi negara itu.

Bank Indonesia

Asisten Kepala Cabang Pengawasan Bank Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jambi, Farid Falatehan, mengatakan, pihaknya belum menerima laporan terkait persoalan itu. Namun menurut dia, besarnya jumlah pinjaman kepada masing-masing debitur oleh bank ditentukan dan merupakan kebijakan masing-masing bank.

Bank Indonesia tidak memiliki aturan yang mengharuskan bank memberikan pinjaman dengan besaran tertentu kepada debitur. "Semuanya diserahkan dan merupakan kebijakan masing-masing bank. Soal kesanggupan debitur dalam kredit, itu persoalan yan harus dicari tahu sendiri oleh bank yang bersangkutan," katanya.

Dalam kasus ini, sebut dia, BPR adalah korban, dan mereka juga dirugikan oleh kasus kredit macet tersebut. "Jika kredit macet dalam jumlah besar, maka bank akan rugi. Jadi mereka korban, dan sebaiknya berhati-hati dengan pinjaman kolektif seperti ini," sebut dia lagi.

Terkait dugaan pihak BPR sengaja memberikan pinjaman dan kemudahan kepada debitur dalam jumlah besar dan dengan syarat yang dipermudah untuk mendapat dana talangan atau suntikan dana dari bank umum yang besar, Farid enggan berspekulasi tentang itu. "Setahu saya belum ada kasus BPR dengan modus seperti itu. Yang ada, malah pihak bank umum tidak mau memijamkan modal kepada BPR yang sedang dililit masalah kredit macet itu," katanya.

Dipaparkan dia, tidak semua BPR terdata di Bank Indonesia. Hanya BPR-BPR dengan modal di atas Rp200 milyar yang terdata dan memiliki akses untuk mendata nama-nama debitur yang bermasalah di Bank Indonesia. "Jadi BPR yang modalnya dibawah Rp20 milyar, biasanya tidak mengakses data debitur di Bank Indonesia, sehingga bisa saja mereka tidak mengetahui rekam jejak debitur yang bersangkutan," katanya.

Kasus serupa

Sebelumnya di Kota Jambi, kejadian serupa pernah terjadi di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja. Oknum bendahara atas nama Endriyati yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan sedang dalam proses Pengadilan Negri Jambi dalam kasus kredit macet di sejumlah BPR di kota itu.

Dalam kasus pinjaman senilai Rp 2 milyar atas 25 orang debitur Anggoat Pol PP Kota Jambi itu telah  mengakibatkan kerugian Rp 558 juta. Endriyati merupakan bendahara yang menjadi koordinator pembayaran tagihan.

Pembayaran tagihan dalam kerjasama pinjaman kredit secara kolektif antara BPR dengan kantor Satpol PP, dilakukan lewat pemotongan gaji secara langsung. Dalam MoU atau nota kesepahaman, telah disepakati bahwa pembayaran dengan cara pemotongan gaji, yang dikumpulkan dan atas tanggung jawab bendahara Endriyati.

Namun, dalam persidangan ditemukan pemalsuan dokumen. Beberapa orang pegawai Satpol PP dipalsukan tanda tangannya. Mereka tidak mengajukan pinjaman ke BPR, namun ada di pengajuan. Ini diketahui ketika melakukan penagihan yang ternyata tagihan tidak tidak sesuai pencairan. Dalam data, ditemukan juga debitur yang ternyata pegawai tidak tetap (PTT), bukan pegawai negeri sipil (PNS).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun